jpnn.com - JAKARTA - Gejolak harga daging sapi tidak hanya terjadi tahun ini. Bahkan menurut Ketua Komite Daging Sapi Jakarta Raya Sarman Simanjorang, sudah terjadi sejak 2011 lalu.
Ketika itu, lonjakan harga terjadi setelah pemerintah mengambil kebijakan mengurangi kuota impor daging sapi hampir 60 persen. Dengan asumsi daging lokal akan mampu memenuhi kebutuhan pasar.
BACA JUGA: Geliat Harga Daging Sejak Januari, Pemerintah Lamban Bereaksi
"Kebijakan ini diambil berdasarkan sensus sapi yang dilaksanakan BPS bahwa populasi sapi Indonesia mencapai 14.8 juta ekor. Dengan dasar angka tersebut Indonesia sudah layak swasembada daging," ujar Sarman, Jumat (10/6).
Namun yang terjadi sebaliknya, setiap tahun terjadi gejolak harga daging sapi, apalagi menjelang Ramadan dan Idul Fitri. Kondisi tersebut kata Sarman, terjadi karena Kementerian Pertanian sangat memaksakan diri bahwa Indonesia mampu swasembada daging.
BACA JUGA: Jelang Lebaran, Impor Bahan Pangan Melonjak
"Sebagai anak bangsa tentu kami mendukung dan bangga jika Indonesia dapat mandiri di bidang pangan termasuk swasembada daging," ujar Sarman.
Namun jika ditinjau dari berbagai aspek, kata Sarman, jumlah kebutuhan belum sebanding dengan jumlah sapi lokal yang ada. Misalnya, kebutuhan industri dan UKM yang naik setiap tahun, jumlah kelas menengah baru yang mencapai 50juta orang, kebutuhan warga negara asing yang ada di Indonesia dan 12 juta wisatawan luar negeri, serta konsumsi per kapita yang naik setiap tahun.
BACA JUGA: Bangun Pabrik Rp 9,7 T, Wuling Siap Gebrak Pasar
"Jangan karena ego sektoral Kementerian Pertanian dengan mengedepankan pencitraan seolah olah kita sudah layak swasembada yang dipaksakan, malah mengorbankan kepentingan masyarakat banyak. Jika kondisi ini masih tetap dipaksakan maka gejolak harga daging setiap tahun akan dipastikan akan terulang," ujar Sarman.(gir/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Persyaratan Sulit, Pengembang Abaikan PSU
Redaktur : Tim Redaksi