JAKARTA - Kalangan dunia usaha telekomunikasi menilai vonis majelis hakim Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang mejatuhkan hukuman 4 tahun penjara dan denda sebesar Rp1,3 triliun kepada Mantan Dirut PT Indosat Mega Media (IM2), Indar Atmanto, sebagai hukum yang sesat.
“Menkominfo adalah pelaksana amanat UU 36, mestinya jaksa dan hakim menghormati keterangan menkominfo jika PKS tidak bermasalah. Tetapi itu justru diabaikan oleh hakim,” kata Nonot Harsono dari Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) usai mendengarkan pembacaan vonis di PN Tipikor, Jakarta, Senin (8/7).
“Hakim sepertinya serius, yang dibaca hanya isi PKS, bukan soal apakah PKS itu sah atau tidak. Hakim tidak menyinggung PP 52 yang merupakan pasangan UU 36. Padahal UU 52 itu keterangan tentang kerangka kerjasama antara peyelenggara jasa dan pemilik jaringan. Dengan keputusan ini, berarti semua peyelenggara jasa internet dan pemilik jaringan salah dan melanggar hukum. Ini keputusan fatal,” tambahnya.
Sedangkan Ketua Umum Masyarakat Telekomunikasi (Mastel), Setyanto P Santosa menganggap keputusan hakim ini menyedihkan karena tidak masuk akal. “Coba pikir, IM2 asetnya cuman Rp 800 miliar disuruh nutup Rp 1,3 triliun. Harusnya logikanya dipakai dong!”
Karena itu, kata Setyanto, Mastel akan mendorong agar Indosat mengajukan kasus ini ke ke abitrase internasional, karena keputusan ini sangat merugikan. "Ini tidak adil. Pihak Indosat yang dimiliki oleh QTEL seharusnya membawa hal ini ke arbitrase internasional, karena sebagai investor mereka diperlakukan tidak adil, dan dampaknya sangat negatif bagi industri telekomunikasi Indonesia," tegas Setyanto.
Seperti diketahui Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi akhirnya memutuskan bersalah Indar Atmanto dan Indosat. Indosat harus membayar ganti rugi Rp 1,4 Triliun dan menghukum Indar dengan 4 tahun kurungan dan denda Rp 200 juta. Majelis hakim berpendapat bahka Perjanjian Kerjasama (PKS) antara Indosat dan IM2 itu cacat hukum dan IM2 dianggap menghindari pembayaran BHP frekwensi dengan cara berlindung di bawah PKS itu.
Mendengar putusan itu, kuasa hukum Indar Atmanto dan Indosat, Luhut Pangaribuan menyatakan langsung banding. “Kami akan banding, karena keterangan ini jelas tidak mencerminkan keterangan saksi-saksi, dan fakta di persidangan. Majelis hakim pasti tertidur dan tidak menyimak keterangan mereka,” kata Luhut.
Lebih lajut ia mengatakan, “Dakwaan pokok mengenai ada atau tidaknya penggunaan bersama yang kemudian beralih menjadi penggunaan frekuensi telah secara jelas tidak terbukti berdasarkan keterangan saksi – saksi dan ahli baik yang diajukan oleh JPU maupun yang diajukan oleh Terdakwa sendiri,” kata Luhut.
Ia juga menggaris bawahi jika saksi-saksi dari Menkominfo yang berjumlah lima orang, dan bahkan Menkominfo melalui dua suratnya telah menyatakan tidak ada penggunaan bersama dan apalagi penggunaan frekuensi adalah Menkominfo.
Indar sendiri merasa bahwa putusan hakim adalah pendhaliman yang luar biasa, “ hak-hak saya sebagai manusia sudah diabaikan, perubahan dakwaan, tuntutan yang berbeda dengan dengan dakwaan tidak dilihat oleh hakim,” kata Indar. Ia juga menyatakan bahwa apa yang dilakukannya adalah keputusan perusahaan.
Sementara itu, Alexander Rusli, President Director & CEO PT Indosat Tbk dengan kecewa mengatakan bahwa keputusan itu tidak bisa diterima mengingat berbagai pihak yang berwenang dan tokoh yang berkompeten telah membantu menjelaskan di berbagai forum dan kesempatan bahwa dakwaan adalah tidak benar.
"Kami tetap akan melakukan perlawanan hukum. Kami taat regulasi justru dinyatakan bersalah, ini sungguh aneh. Dan ini menghancurkan industri telekomunikasi," kata Alex. (fuz/jpnn)
“Menkominfo adalah pelaksana amanat UU 36, mestinya jaksa dan hakim menghormati keterangan menkominfo jika PKS tidak bermasalah. Tetapi itu justru diabaikan oleh hakim,” kata Nonot Harsono dari Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) usai mendengarkan pembacaan vonis di PN Tipikor, Jakarta, Senin (8/7).
“Hakim sepertinya serius, yang dibaca hanya isi PKS, bukan soal apakah PKS itu sah atau tidak. Hakim tidak menyinggung PP 52 yang merupakan pasangan UU 36. Padahal UU 52 itu keterangan tentang kerangka kerjasama antara peyelenggara jasa dan pemilik jaringan. Dengan keputusan ini, berarti semua peyelenggara jasa internet dan pemilik jaringan salah dan melanggar hukum. Ini keputusan fatal,” tambahnya.
Sedangkan Ketua Umum Masyarakat Telekomunikasi (Mastel), Setyanto P Santosa menganggap keputusan hakim ini menyedihkan karena tidak masuk akal. “Coba pikir, IM2 asetnya cuman Rp 800 miliar disuruh nutup Rp 1,3 triliun. Harusnya logikanya dipakai dong!”
Karena itu, kata Setyanto, Mastel akan mendorong agar Indosat mengajukan kasus ini ke ke abitrase internasional, karena keputusan ini sangat merugikan. "Ini tidak adil. Pihak Indosat yang dimiliki oleh QTEL seharusnya membawa hal ini ke arbitrase internasional, karena sebagai investor mereka diperlakukan tidak adil, dan dampaknya sangat negatif bagi industri telekomunikasi Indonesia," tegas Setyanto.
Seperti diketahui Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi akhirnya memutuskan bersalah Indar Atmanto dan Indosat. Indosat harus membayar ganti rugi Rp 1,4 Triliun dan menghukum Indar dengan 4 tahun kurungan dan denda Rp 200 juta. Majelis hakim berpendapat bahka Perjanjian Kerjasama (PKS) antara Indosat dan IM2 itu cacat hukum dan IM2 dianggap menghindari pembayaran BHP frekwensi dengan cara berlindung di bawah PKS itu.
Mendengar putusan itu, kuasa hukum Indar Atmanto dan Indosat, Luhut Pangaribuan menyatakan langsung banding. “Kami akan banding, karena keterangan ini jelas tidak mencerminkan keterangan saksi-saksi, dan fakta di persidangan. Majelis hakim pasti tertidur dan tidak menyimak keterangan mereka,” kata Luhut.
Lebih lajut ia mengatakan, “Dakwaan pokok mengenai ada atau tidaknya penggunaan bersama yang kemudian beralih menjadi penggunaan frekuensi telah secara jelas tidak terbukti berdasarkan keterangan saksi – saksi dan ahli baik yang diajukan oleh JPU maupun yang diajukan oleh Terdakwa sendiri,” kata Luhut.
Ia juga menggaris bawahi jika saksi-saksi dari Menkominfo yang berjumlah lima orang, dan bahkan Menkominfo melalui dua suratnya telah menyatakan tidak ada penggunaan bersama dan apalagi penggunaan frekuensi adalah Menkominfo.
Indar sendiri merasa bahwa putusan hakim adalah pendhaliman yang luar biasa, “ hak-hak saya sebagai manusia sudah diabaikan, perubahan dakwaan, tuntutan yang berbeda dengan dengan dakwaan tidak dilihat oleh hakim,” kata Indar. Ia juga menyatakan bahwa apa yang dilakukannya adalah keputusan perusahaan.
Sementara itu, Alexander Rusli, President Director & CEO PT Indosat Tbk dengan kecewa mengatakan bahwa keputusan itu tidak bisa diterima mengingat berbagai pihak yang berwenang dan tokoh yang berkompeten telah membantu menjelaskan di berbagai forum dan kesempatan bahwa dakwaan adalah tidak benar.
"Kami tetap akan melakukan perlawanan hukum. Kami taat regulasi justru dinyatakan bersalah, ini sungguh aneh. Dan ini menghancurkan industri telekomunikasi," kata Alex. (fuz/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... E-KTP Seumur Hidup Hemat Rp3,2 Triliun
Redaktur : Tim Redaksi