jpnn.com - JAKARTA – Polemik seputar rekaman percakapan Ketua DPR Setya Novanto dengan petinggi PT Freeport Indonesia yang diduga mencatut nama Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla, menjadi salah satu isu politik terhangat saat ini.
Pengamat politik dari Universitas Indonesia (UI), Muhammad Budyatna menduga langkah Menteri ESDM Sudirman Said untuk membuka rekaman percakapan Ketua DPR Setya Novanto (Setnov) dengan petinggi PT Freeport Indonesia, tidak lepas dari usaha kelompok yang diwakili Setya Novanto dan Sudirman Said untuk dapat porsi saham PT Freeport Indonesia.
BACA JUGA: Hiiii... Menteri Sudirman Kok Misterius Banget
“Saya duga Setya Novanto dan Sudirman Said mewakili kelompok tertentu yang ingin mendapatkan saham Freeport. Sudirman Said mati-matian memperpanjang kontrak Freeport mungkin merasa kalah kuat dengan langkah loby Setya Novanto yang memang ulung. Makanya, karena terdesak, dia pun mengeluarkan jurus jitu rekaman loby itu,” kata Budyatna di Jakarta, Minggu (29/11).
Novanto sendiri, menurut Budiyatna, belajar dari pengalaman seniornya yang juga Ketua Umum Partai Golkar, Aburizal Bakrie (Ical) yang lebih dulu menikmati lezatnya saham PT Freeport pada era Orde Baru karena pemerintah melepas jatah divestasi saham Freeport kepada swasta saat itu.
BACA JUGA: Soal Capim KPK, DPR Disarankan Minta Penjelasan Mensesneg
“Saat itu banyak yang menikmati Freeport termasuk Menteri Pertambangan dan Energi saat itu, Ginandjar Kartasasmita yang memperpanjang kontrak Freeport jauh sebelum habis kontraknya. Ical pun menikmati kebijakan Orde Baru yang mewajibkan Freeport melepas sahamnya sebesar 10 persen,” tambahnya.
Saat itu, Freeport melepas sahamnya sebesar 10 persen dan pemerintah melalui Menteri Keuangan saat itu JB Sumarlin mengatakan bahwa pemerintah tidak memiliki uang untuk membeli saham Freeport.
BACA JUGA: Berharap Presiden dan Wapres Hadir pada Sidang MKD
“Itu alasan saja bahwa pemerintah tidak punya uang. Itu permainan agar saham Freeport jatuh ke kelompok penguasa saat itu yang kebetulan diwakili oleh Ical. Ical dan Ginandjar-lah, saya kira yang paling menikmati saat itu,” ungkapnya.
Karena itu, Budyatna yakin bahwa jika Novanto mendapatkan jatah saham sebesar 20 persen dari penjualan saham Freeport dan bukan diberikan begitu saja. Karena hal itu tidak mungkin bisa dilakukan, maka ada peran pemerintah di sini.
“Nanti, seperti Era Orde Baru. Pemerintah memutuskan apakah akan membeli saham 20 persen itu atau melepaskannya kepada swasta lagi. Kalau dilepas ke swasta lagi, maka permainan Era Orde Baru terulang dan pengusaha yang akan untung luar biasa besar, sementara Indonesia dan rakyatnya harus kembali gigit jari,” tegasnya lagi.
Dengan kondisi seperti ini, ujar Budyatna, tidak heran, Menko Polhukam Luhut Panjaitan buru-buru memita agar polemik ini tidak diperpanjang dan Setya Novanto mengatakan laporan yang dilakukan Sudirman Said karena Sudirman Said khilaf.
“Makanya Novanto mengatakan bahwa Sudirman Said khilaf, karena kalau semua terbuka, maka hal ini akan terbaca di masyarakat dan korbannya bukan hanya Novanto, tapi juga Sudirman Said sendiri termasuk pejabat-pejabat lainnya yang mungkin saja sampai kepada presiden dan wakil presiden,” katanya.
Terpisah, Kader Muda Partai Amanat Nasional, Elias Sumardi Dabur mengatakan jika terbukti Setya Novanto mencatut nama Presiden dan wapres dalam proses perpanjangan kontrak karya PT Freeport Indonesia maka masuk dalam kategori korupsi karena memanfaatkan kedudukan untuk kepentingan diri sendiri atau kelompok. Karena itu, selain proses politik di Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), langkah hukum juga harus dilakukan pasca proses persidangan di MKD.
“Kita tuntut MKD bekerja jujur, serius dan independen. Ini salah satu syarat untuk menertibkan saudagar dalam pusaran kekuasaan” tegas Elias.(fas/fri/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Perlu Kursi Tetap Perwakilan Gubernur Dalam Setiap Rapat Kabinet
Redaktur : Tim Redaksi