jpnn.com, JAKARTA - Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mulyanto merasa geram setelah muncul temuan Indonesia Corruption Watch (ICW) yang menyebut pemerintah menghabiskan dana Rp 90,45 miliar untuk aktivitas digital melibatkan jasa influencer atau tokoh berpengaruh.
Pasalnya, kata dia, dana sosialisasi itu lebih besar daripada anggaran untuk tahap awal riset vaksin Covid-19 di Kemenristek, yakni sebesar Rp 5 miliar.
BACA JUGA: Begini Cara Para Influencer Menghadapi Dampak Ekonomi Covid-19
"Pemerintah terkesan lebih mementingkan citra daripada kesehatan dan keselamatan rakyat. Ketimpangan alokasi anggaran ini sangat tidak wajar dari segi kepentingannya," ucap Mulyanto dalam keterangan resminya kepada awak media, Jumat (21/8).
Menurut dia, seharusnya anggaran untuk riset lebih diperbesar daripada sosialisasi ke influencer.
BACA JUGA: 3.040 Dokter Menolak Memakai Vaksin Covid-19, Sputnik V
Sebab, urusan vaksin Covid-19 lebih dibutuhkan rakyat agar keluar dari pandemi.
"Saat ini orang lebih butuh vaksin hasil riset para peneliti daripada celoteh para influencer," ungkap anggota Komisi VII DPR RI fraksi PKS itu.
BACA JUGA: Wawan Tertangkap, si Perempuan Belia Sudah Hamil
Mulyanto pun mendesak pemerintah lebih serius mendorong riset vaksin COVID-19.
Utamanya, yang kini dikembangkan Konsorsium Riset Covid-19 Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek).
Konsorsium yang dimotori oleh LBM Eijkman dengan lembaga litbang nasional lainnya, termasuk pihak industri BUMN Kimia Farma, sedang berupaya menemukan formula vaksin yang tepat untuk melawan Covid 19.
"Anggaran yang besar itu lebih baik dialokasikan untuk kepentingan riset vaksin. Nanti, ketika vaksin sudah diproduksi, pemerintah dapat menghemat anggaran triliunan rupiah yang sebelumnya dialokasikan untuk keperluan impor vaksin," ucap dia.
Mulyanto prihatin dengan tantangan yang dihadapi para peneliti untuk menemukan vaksin.
Di satu sisi, peneliti diminta bekerja cepat menemukan vaksin Covid 19. Namun, di sisi lain pemerintah tidak menyediakan anggaram yang cukup.
Mulyanto menceritakan, dalam salah satu kesempatan rapat dengar pendapat, Kepala LBM Eijkmen menyebut bahwa anggaran penelitian yang dialokasikan sangat kecil.
“Ini perlu mendapat perhatian Presiden Jokowi, agar bangsa tidak sekadar menjadi negara pengguna dan pembeli, tetapi mari dorong Indonesia menjadi negara pembuat," tegas Mulyanto.
Sebelumnya, peneliti ICW Egi Primayogha mengatakan pemerintah pusat telah menggelontorkan dana mencapai Rp 90,45 miliar hanya untuk influencer sejak 2014. Data ini diambil ICW dari Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE).
Namun, total anggaran belanja pemerintah pusat terkait aktivitas digital adalah Rp 1,29 triliun sejak 2014. Kenaikan signifikan terjadi dari 2016 ke 2017.
Pada 2016, anggaran untuk aktivitas digital hanya Rp 606 juta untuk 1 paket pengadaan saja. Namun pada 2017, angka paketnya melonjak menjadi 24 dengan total anggaran Rp 535,9 miliar.
"Karena kami tak lihat dokumen anggaran, dan LPSE itu terbatas, maka tak menutup kemungkinan ini secara jumlah sebenarnya lebih besar. Bisa jadi lebih besar dari Rp 1,29 triliun, apalagi jika ditambah pemerintah daerah," kata Egi.
Egi mengatakan, instansi yang paling banyak melakukan aktivitas digital adalah Kementerian Pariwisata dengan pengadaan 44 paket, disusul oleh Kementerian Keuangan dengan 17 paket, lalu Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan 14 paket.
Anggaran terbesar untuk aktivitas digital justru adalah Kepolisian RI. Memang jumlah paket pengadaannya lebih sedikit dibanding Kementerian Pariwisata, tetapi nilai pengadaan mencapai Rp 937 miliar. (ast/jpnn)
Jangan Sampai Ketinggalan Video Pilihan Redaksi ini:
Redaktur & Reporter : Aristo Setiawan