Jelang Diambil Alih RI, Laba Inalum Anjlok

Siap Pasok Kebutuhan Aluminium Domestik

Kamis, 21 Februari 2013 – 09:20 WIB
JAKARTA - Proses pengambilalihan saham PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) yang dikuasai Jepang terus menjadi isu panas. Tapi ternyata, kinerja laba produsen aluminium yang berlokasi di Sumatera Utara tersebut merosot dalam beberapa tahun terakhir.

Ketua Otorita Asahan Effendi Sirait mengatakan, kinerja keuangan Inalum memang terpukul oleh turunnya harga aluminium di pasar internasional akibat krisis finansial global. "Sejak 2009, trennya turun," ujarnya saat ditemui di DPR kemarin (20/2).

Berdasar data Inalum, laba perusahaan memang menunjukkan tren penurunan. Setelah turun tajam pada 2008, laba perusahaan sempat naik pada 2009, tapi kembali turun mulai 2010. Pada 2012, laba bersih sempat naik, namun masih di bawah level realisasi laba 2008.

Effendi menyebut, harga logam aluminium di pasar internasional yang mengacu pada London Metal Exchange (LME) memang terus turun. Misalnya, sepanjang semester I 2012 lalu, harganya rata-rata sebesar USD 1.949 per ton, turun 22 persen dibandingkan harga periode semester I 2011 yang sebesar USD 2.501 per ton.

Sebagaimana diketahui, kepemilikan Inalum saat ini terbagi antara pemerintah Indonesia (41,12 persen) dengan konsorsium swasta-pemerintah Jepang yang tergabung dalam Nippon Asahan Alumunium (58,88 persen). Berdasarkan kontrak yang ditandatangani pada 7 Juli 1975 di Tokyo, pengaturan kerja sama tersebut akan berakhir pada 31 Oktober 2013.

Selama ini pemerintah Jepang terus menyatakan keinginannya untuk tetap dilibatkan dalam pengelolaan Inalum. Bagi Jepang, Inalum memang sangat strategis. Saat ini, dari total produksi aluminium sebanyak 250.000 ton per tahun, 150.000 ton diantaranya diekspor ke Jepang untuk memenuhi kebutuhan industri elektronik dan otomotif di Negeri Matahari Terbit tersebut.

Sementara itu, 100.000 ton lainnya dialokasikan untuk kebutuhan industri Indonesia. Padahal, saat ini kebutuhan aluminium untuk industri di Indonesia mencapai 300.000 ton dan terus naik seiring dengan pertumbuhan ekonomi. Akibatnya, setiap tahun Indonesia harus mengimpor sekitar 200.000 ton aluminium.

Pembeli produk Inalum dalam negeri sebanyak 60-100 perusahaan yang bergerak dalam produksi aluminium alloy, ekstrusi, sheet, foil, kawat listrik, alat-alat rumah tangga yang tersebar di DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Sumatera Utara.

Effendi mengakui, jika nanti Inalum sudah diambil alih Indonesia, maka produksi aluminium bisa dipiroritaskan untuk memasok kebutuhan domestik. Dia menyebut, harga alunumium produk Inalum sekitar USD 5 - 10 lebih murah dibandingkan aluminium produksi Tiongkok yang saat ini banyak beredar di Indonesia. "Jadi, dari sisi pemasaran tidak ada masalah. Dengan harga yang lebih murah dan kualitas lebih bagus, produk Inalum sangat kompetitif," jelasnya.

Wakil Ketua Komisi VI DPR Aria Bima mengatakan, saat ini DPR tengah mengumpulkan berbagai data untuk mengambil sikap terkait rencana pemerintah mengambil alih Inalum. "Kinerja keuangan penting, tapi mendukung pasokan aluminium untuk industri domestik juga penting. Semua akan jadi bahan pertimbangan," ujarnya.

Sebelumnya, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Dahlan Iskan mengatakan, jika nanti sudah diambil alih dan menjadi aset milik negara, dirinya berharap agar pengelolaan Inalum bisa dilakukan oleh BUMN yang merupakan representasi negara, apalagi Inalum juga memiliki Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) berkapasitas 426 megawatt. "Karena itu, sebaiknya (pengelolaan Inalum) diserahkan ke BUMN," katanya. (owi)

Laba Bersih Inalum

Tahun   Juta USD

2006    136
2007    124
2008    70
2009    101
2010    92
2011    58
2012    61


Sumber : Otorita Asahan

BACA ARTIKEL LAINNYA... Mei, SCTV Dan Indosiar Gabung

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler