jpnn.com - JAKARTA - Jelang pemilu 2014, para lembaga survei ramai-ramai merilis hasil opini publik dengan alat ukur dan metodologi yang beragam. Hanya saja, tak sedikit lembaga survei yang berupaya melakukan penggiringan opini publik.
"Ada semacam hegemoni opini, bahwa figur tertentu adalah layak dan pasti menang, dan figur lainnya tidak layak dan pasti kalah," kata pengamat politik Universitas Jayabaya, Igor Dirgantara dalam keterangan persnya di Jakarta, Selasa (24/12).
BACA JUGA: RUU Pemekaran Inisiatif DPR Bertambah, Total 87
Apalagi, sambung Igor, para lembaga survei tersebut tidak mengungkapkan asal dana untuk membiayai penelitian yang mereka lakukan. Kurangnya tranparansi ini dinilai mempengaruhi independensi hasil survei.
"Mereka biasanya berlindung di balik prinsip anonimitas, dimana lembaga survei tidak bisa memberitahu kepada publik jika sang pemberi dana tidak mau disebutkan namanya. Hal ini mirip dengan profesi kedokteran yang melindungi kerahasiaan pasiennya," papar Igor.
BACA JUGA: Manfaatkan Masa Reses untuk Sosialisasikan UU Desa
Penggiringan opini publik terkait hasil survei bisa dilakukan mengingat adanya bandwagon effect, yakni dukungan publik akan mengarah kepada figur-figur tertentu yang selalu menempati posisi nomor satu dari hasil-hasil survei terakhir. Figur tersebut sampai disebut ‘manusia setengah dewa’ , ‘ratu adil’ atau bahkan ‘nabi’.
Meski begitu, menurut Igor, hasil survei belum tentu menentukan kemenangan kandidat presiden tertentu pada pemilu 2014. Manuver, strategi, dan pilihan elit parpol lebih menentukan pascapemilu legislatif atau jelang pemilu presiden.
BACA JUGA: Tidak Laporkan Dana Kampanye, Parpol Dicoret
"Para elit partai sangat mungkin meluaskan dukungannya lewat praktek money politic, misalnya. Biasanya manuver elit politik ini sangat fleksibel, terbuka, dan variatif tergantung kebutuhan dan kepentingannnya," tandasnya. (dil/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Ical Menang
Redaktur : Tim Redaksi