Jelang Putusan Sistem Pemilu, Ustaz Hidayat Nur Wahid Sampaikan Pesan Begini ke MK

Rabu, 14 Juni 2023 – 11:03 WIB
Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid menyampaikan sejumlah pesan jelang MK membacakan putusan terkait sistem Pemilu 2024. Foto: Dokumentasi Humas MPR RI

jpnn.com, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) telah menjadwalkan akan membacakan putusan terkait sistem pemilihan umum (pemilu) pada Kamis (15/6) besok.

Putusan MK tersebut akan menentukan Pemilu 2024 apakah tetap memakai sistem proporsional terbuka, tertutup atau ada alternatif lain.

BACA JUGA: Dialog Dahlan Iskan dengan Denny Indrayana soal Informan Putusan MK tentang Sistem Pemilu

Terkait hal itu, Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid mengingatkan MK agar menjadi teladan dalam konsistensi menegakkan konstitusi.

Dia pun berharap MK tidak mencederai kedaulatan yang oleh konstitusi diberikan kepada rakyat sebagaimana dijamin dalam Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 dengan memutus mengubah sistem pemilu dari terbuka menjadi tertutup.

BACA JUGA: Soal Kasus Pembocoran Putusan MK, Komjen Agus Bilang Begini, Denny Indrayana Tunggu Saja

"MK hendaknya tetap konsisten dengan keputusannya sendiri yang diputuskan pada tahun 2008 yang justru mengubah sistem pemilu dari tertutup menjadi proporsional terbuka," kata Ustaz Hidayat Nur Wahid saat menerima aspirasi dari belasan ustazah dari Forum Silaturahim Majelis Taklim (Forsitma) Pesanggrahan Jakarta Selatan di Gedung MPR, Selasa (13/7).

HNW yang akrab disapa itu menegaskan pentingnya Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 sebagai acuan dalam menentukan Pemilu dengan sistem terbuka sejatinya merupakan argumen dasar MK saat membuat keputusan pada 2008 lalu.

“Jadi, akan menjadi sangat tidak rasional dan tidak konsisten, apabila dalam perkara yang sekarang MK justru memutus sebaliknya, tanpa adanya pelanggaran konstitusi yang terjadi akibat diberlakukannya sistem terbuka,” ujar HNW.

Apalagi, lanjut politikus senior Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu, sesuai Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 dinyatakan bahwa putusan MK tersebut – termasuk putusan pada 2008 itu – final dan mengikat.

"Sehingga diberlakukan secara konstitusional pada Pemilu 2009, 2014 dan 2019,” imbuhnya.

Menurut HNW, kedaulatan rakyat sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 juga lebih sesuai pemberlakuannya dengan sistem pemilu terbuka bukan dengan sistem tertutup.

Hal ini juga sebagaimana dengan tegas disebutkan dalam pasal lainnya dalam UUD 1945, yakni Pasal 22E Ayat (2).

Ketentuan ini berbunyi: ‘Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan wakil presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.'

“Jadi, Pasal 22E ayat (2) UUD 1945 itu sudah sangat tegas bahwa yang dipilih oleh rakyat pemilik kedaulatan adalah kandidat atau calon anggota DPR, DPRD dan lain-lain, bukan mencoblos tanda gambar partai saja sebagaimana berlaku pada masa Orde Baru," tegas HNW.

MK seharusnya juga mendengarkan suara mayoritas masyarakat Indonesia, baik masyarakat umum maupun para tokoh, termasuk delegasi Forsitma yang tadi secara langsung sampaikan aspirasi menolak sistem tertutup dan mendukung sistem terbuka.

“Bahkan, puluhan tokoh nasional juga telah mengirimkan pendapat sebagai amicus curiae (sahabat pengadilan) ke MK, agar MK konsisten dalam keputusannya yang konstitusional bahwa pemilu tetap dengan sistem proporsional terbuka. Ini juga harus dipertimbangkan oleh MK dalam putusannya nanti,” terangnya.

HNW mengatakan sikap mayoritas rakyat Indonesia yang memilih Pemilu tetap dengan sistem terbuka ini juga tertuang dalam berbagai survei sejak Januari, Februari, dan Mei 2023.

Hasil survei tersebut menyatakan bahwa 71-76 persen rakyat Indonesia (termasuk pemilih PDIP, partai yang mendukung sistem tertutup) tetap menginginkan sistem proporsional terbuka.

“Bahkan DPR dan pemerintah beserta KPU dan Bawaslu, sesuai sila keempat Pancasila juga sudah bermusyawarah dan mufakat memutuskan bahwa Pemilu 2024 akan tetap menggunakan sistem pemilu proporsional terbuka,” jelasnya.

HNW mengaku sistem proporsional terbuka memang bukannya tanpa catatan, tapi koreksinya bukan dengan kembali kembali ke zaman Orba, melainkan tetap merujuk pada prinsip kedaulatan rakyat yang telah diberikan oleh UUD 1945.

Bila di suatu Dapil ternyata sebagian besar rakyat mencoblos tanda gambar parpol, sehingga mengalahkan coblosan untuk nama calon anggota DPR, maka wajar secara demokrasi maupun prinsip keadilan kalau parpol sebagai pihak yang mendapat suara terbesar dari rakyat untuk menentukan siapa wakilnya di DPR.

“Ini masih rasional, karena memang kondisi itu terjadi, sekalipun hanya di beberapa Dapil. Tapi perbaikan terhadap sistem proporsional terbuka itu tidak dengan mengubah prinsip dan kaidah umum sistem proporsional terbuka dengan kembali ke sistem proporsional tertutup sebagaimana berlaku di era Orba,” pungkasnya. (mrk/jpnn)

Jangan Sampai Ketinggalan Video Pilihan Redaksi ini:


Redaktur : Sutresno Wahyudi
Reporter : Sutresno Wahyudi, Sutresno Wahyudi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler