Jembatan Kali Progo dan Kemarahan Pada Sang Kolonel

Senin, 11 November 2013 – 02:13 WIB

jpnn.com - JIKA Desa Candi Kebumen diluluhlantakan karena adanya dapur umum, yang terjadi pada tragedi Jembatan Kali Progo, Temanggung beda lagi. Jembatan yang berada di jalan raya desa Kranggan, itu menjadi saksi bisu pembantaian terhadap pejuang maupun warga sipil yang dianggap membahayakan posisi Belanda.

---

BACA JUGA: Hujan Canon di Dapur Umum Kebumen

Pembantaian di Temanggung dilakukan Belanda salah satunya akibat keluarnya surat perintah penyerbuan yang ditandatangani Kolonel Bambang Soegeng. Nama itu merupakan Gubernur Militer/Panglima Militer III sekaligus inisiator serangan balik terhadap Agresi Militer yang dilakukan Belanda, sebelum adanya surat perintah 11  Maret (Supersemar).           

Peran Bambang Soegeng itu setidaknya diketahui dari dokumen bernomor rahasia bernomor 4/S/Cop.I tertanggal 1 Januari 1949. Dalam dokumen itu Bambang memerintahkan Letkol Bahroen, Letkol Sarbini, dan Letkol Suharto untuk melakukan perlawanan secara serentak dan sehebat-hebatnya pada Belanda agar dunia luar tahu Negara Indonesia masih ada.     

BACA JUGA: Melihat Rumah Peristirahatan Jenderal Soedirman di Desa Bodag, Trenggalek

Diduga akibat bocoran surat perintah dan adanya gerakan yang disusun Bambang itulah, Belanda murka. Akhirnya Temanggung yang menjadi wilayah Bambang Soegeng menjadi sasaran kemarahan. Serangan terhadap sejumlah desa dilakukan Belanda meskipun tidak sedasyat di Desa Candi, Kebumen.

Kemarahan Belanda di kota itu banyak dilakukan dengan mengambil orang-orang yang dianggap membahayakan, baik sipil maupun militer. Mereka disiksa dan dihabisi di atas Jembatan Kali Progo. Salah satu saksi yang pernah melihat kejadian itu ialah Parto Dimejo.

BACA JUGA: Dikasih Batik Tulis Pekalongan, Ucapkan Thanks via Twitter

Pria yang mengaku kelahiran 1938 itu tinggal sekitar 1 km dari Jembatan Kali Progo. ’’Setiap saya berangkat sekolah selalu ada bekas darah di jembatan ini,’’ ujar Parto. Siang itu dia bersedia diajak koran ini bersama NCRV TV dari Belanda untuk melihat bagaimana pembantaian kala itu terjadi. Selain hampir setiap hari melihat darah yang berceceran di jembatan, Parto juga sempat mengalami trauma ketika melihat orang hendak dieksekusi.

’’Kulo pas angon bebek ten ngandap. Lah pas ningali ten nginggil wonten tilang disikso,’’ tuturnya. Seketika itu pun Parto lari tunggang langgang. Bebek yang dijaganya ditinggal begitu saja, lari kembali ke rumah.

Belum jauh kakinya melangkah...door...door...suara letupan senjata terdengar. ’’Satu kali itu saja saya sempat melihat langsung. Sebab kejadiannya belum gelap,’’ paparnya.

Parto dan beberapa orang tua di sekitar Jembatan Kali Progo memang mengaku penyiksaan yang diakhiri dengan pembunuhan terjadi menjelang malam. ’’Tiap dua hari sekali terdengar suara tembakan,’’ ungkapnya.

Bisa dibayangkan berapa banyak warga sipil maupun tentara Indonesia yang dihabisi di sungai itu jika tiap dua hari sekali ada yang dibunuh. Padahal dalam monumen di dekat jembatan itu tertuliskan pembantaian terjadi dalam kurun waktu 22 Desember 1948 hingga 10 Agustus 1949. Hingga kini memang tidak ada data pasti berapa warga yang menjadi korban dari kejadian itu.

Pembantaian di Jembatan Kali Progo digambarkan sangat keji. Hal itu dapat diketahui dari relief di makam Bambang Soegeng yang berada persis di samping makam. Di sana digambarkan korban disiksa dengan ditutup matanya. Penyiksaan biasa dilakukan di jalan inspeksi yang sebelumnya ada di pinggir jembatan.

Kejadian itu selalu berujung pada pembunuhan. Ada yang dipenggal atau ditembak kepalanya. Setelah meninggal, jasad para korban ditendang ke sungai yang jaraknya dari jembatan sekitar 50 meter. Para saksi seperti Parto menyebutkan banyak warga di sekitar Kali Progo yang hampir tiap hari mendapati mayat menggambang. Kali itu mengalir dan bermuara di Laut Selatan.

Adik Bambang Soegeng, Bambang Purnomo, 85, mengatakan korban pembantaian ialah orang yang dianggap sebagai kaki tangan, mata-mata atau pengikut pejuang. ’’Tentara Belanda mendatangi kampung, pasar dan rumah warga yang dianggap pemberontak. Mereka digelandang ke jembatan, diinterogasi dan dibunuh,’’ terang pria yang fasih berbahasa Belanda dan Jepang ini.

Untuk menuju Jembatan Kali Progo sangat mudah. Lokasinya di jalan utama sekitar 9 km dari persimpangan Secang – Magelang. Kini Jembatan Kali Progo kini ada dua wujud, yang baru dan lama. Jembatan baru luasnya dua kali jembatan lama dan bisa digunakan dua lajur kendaraan besar. 

Jembatan lama Kali Progo yang kontruksinya khas jaman kolonial itu kini tak terpakai dan dibiarkan rusak. Lubang akibat kayu yang lapuk dan aspal yang terkikis terlihat dimana-mana. Namun menurut pihak kecamatan setempat, tahun depan Pemkab Temanggung telah menganggarkan dana miliaran rupiah untuk menggarap wisata sejarah dan air di sekitar Jembatan Kali Progo. Semoga saja upaya itu bisa menyimpan cerita sejarah yang begitu heroik untuk generasi baru di negeri ini. (gun)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Bikin Film Sampah Gandeng Peraih Academy Award


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler