Jenderal Baliho

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Minggu, 19 September 2021 – 15:27 WIB
Ilustrasi tentara. Foto: dok/JPNN.com

jpnn.com - Ada sebutan Jenderal Baliho yang muncul dari netizen, untuk menyebut seorang jenderal yang menurunkan baliho di Petamburan, Jakarta.

Wilayah itu dikenal sebagai markas besar organisasi FPI yang sekarang sudah almarhum.

BACA JUGA: Popularitas Airlangga Masuk Lima Besar di Pamasuka, Efek Baliho?

Netizen menyebut seharusnya seorang jenderal terjun ke pertempuran, bukan ke Petamburan.

Beberapa hari terakhir ini netizen heboh lagi gegara jenderal berkomentar soal agama. Katanya semua agama sama baiknya di depan Tuhan. Sang jenderal bilang, karena itu tidak perlu terlalu fanatik dalam beragama.

BACA JUGA: Letjen Dudung Punya Maksud Baik, Tamliha: Jangan Bicara kalau Bukan Ahlinya

Sesuai tupoksi, tentara memang harusnya mengurusi pertempuran, misalnya melawan para teroris dan separatis di Papua. Kalau ada tentara yang mengurusi Petamburan berarti dia menyalahi tupoksi, karena ikut cawe-cawe terhadap urusan yang bukan tugas, pokok, dan fungsinya.

Tentara yang ikut mengurusi Petamburan dan berkomentar mengenai politik dan agama, secara teoretis bisa disebut sebagai tentara yang tidak profesional.

BACA JUGA: Mantan Teroris Soroti Kontroversi Pernyataan Letjen Dudung Kostrad, Seru!

Secara harfiah, tidak profesional berarti amatir. Tentara profesional adalah tentara yang setia menjalankan tupoksinya sebagai kekuatan pertahanan, mempertahankan negara dari serangan musuh.

Salah satu hasil reformasi 1998 adalah mengembalikan fungsi tentara kepada khitah sebagai kekuatan pertahanan. Tentara dikembalikan ke barak, back to the barrack.

Dengan kembali ke barak, tentara kembali kepada fungsi aslinya, dan itulah yang disebut sebagai tentara profesional.

Selama 32 tahun masa kekuasaan Orde Baru di bawah Soeharto, tentara telah dimanipulasi dan diselewengkan dari fungsi aslinya sebagai kekuatan pertahanan.

Selama masa Orde Baru tentara menjadi kekuatan amatir, karena ikut terjun langsung dalam kancah politik, dan ikut aktif menjadi pemain dalam percaturan politik praktis.

Orde Baru membungkusnya dengan dalih dwifungsi, fungsi ganda tentara.

Tentara mempunyai dua fungsi ganda sebagai kekuatan pertahanan dan kekuatan sosial-politik. Konsep ini diadopsi dari konsep dwifungsi yang digagas oleh Jenderal Abdul Haris Nasution.

Jenderal Nasution menggagas konsep dwifungsi untuk memformulasikan fungsi tentara dalam perjuangan kemerdekaan nasional dan fungsi tentara pada masa kemerdekaan.

Pada masa pertempuran kemerdekaan, tentara berbaur dengan rakyat dalam perjuangan semesta untuk menghadapi kekuatan militer penjajah yang lebih superior.

Konsep dasar dwifungsi ini kemudian diterapkan oleh tentara setelah Indonesia merdeka. Konsep yang digagas Nasution, yang kemudian dinamai dwifungsi, adalah jalan tengah untuk menempatkan tentara dalam tupoksi yang tepat di era Indonesia merdeka.

Dalam gagasan dwifungsi Nasution, tentara tetap menjadi kekuatan pertahanan, dan tidak harus berada di bawah kontrol sipil.

Namun, tentara juga tidak boleh mendominasi kehidupan sipil, sehingga melahirkan kediktatoran militer.

Nasution menyebutkan Indonesia tidak boleh meniru negara-negara Amerika Selatan, yang menjadikan kekuatan militer sebagai kekuatan dominan dalam politik.

Akibatnya, muncul banyak kediktatoran militer di negara-negara Amerika Selatan. Sebaliknya, kata Nasution, Indonesia juga tidak menjiplak pola Eropa Utara atau Amerika Serikat, yang menjadikan militer sebagai kekuatan murni pertahanan saja.

Nasution memperkenalkan pola jalan tengah dwifungsi karena melihat peran tentara yang sangat penting dalam perjuangan kemerdekaan.

Nasution tidak ingin tentara diobok-obok oleh kekuatan politisi sipil yang menarik-narik tentara untuk kepentingan politik.

Itu sebabnya Nasution memberontak pada 1952 karena tidak mau tentara dijadikan alat politik oleh politisi sipil.

Namun, Nasution juga tegas dengan sikapnya agar tentara profesional dan tidak menjadi kekuatan diktatorial. Tentara mempunyai senjata, organisasi, dan sumber daya yang lebih baik dibanding sipil.

Karena itu tentara akan dengan leluasa menguasai kehidupan sipil. Inilah yang ingin dihindari oleh Nasution.

Tentara tidak boleh mendominasi kehidupan politik dengan kekuatan senjatanya.

Kondisi inilah yang justru terjadi di masa kekuasaan Orde Baru. Soeharto secara sengaja memanipulasi dwifungsi dengan menjadikan militer sebagai kekuatan pertahanan dan sekaligus menjadi kekuatan dominan dalam politik.

Di masa Soeharto, dwifungsi berarti menjadikan tentara sebagai kekuatan pertahanan-keamanan dan sekaligus kekuatan sosial-politik.

Dalam praktiknya, tentara mendominasi pemerintahan sipil, mulai dari pusat sampai ke daerah. Soeharto melakukan militerisasi politik Indonesia, dan bersamaan dengan itu menempatkan politisi sipil dalam posisi marjinal.

Tentara tidak mendirikan partai, tetapi secara otomatis mempunyai jatah kursi di DPR dan MPR. Tanpa susah-susah ikut pemilu tentara sudah dapat kursi gratis yang cukup signifikan.

Dengan memarjinalkan partai-partai politik--dan pada saat bersamaan memanipulasi Golkar dan menjadikannya sebagai mesin politik yang efektif—Soeharto bisa mengontrol dan mengendalikan Indonesia selama tiga dasawarsa lebih.

Tentara memegang peran strategis di semua lini. Di lembaga legislatif tentara--yang berkoalisi dengan Golkar--mempunyai suara mayoritas yang kokoh.

Di lembaga eksekutif, tentara menempati posisi strategis, mulai dari menteri, dirjen, sampai ke jabatan-jabatan kepala daerah dan jajaran birokrasinya.

Tentara masuk ke struktur sipil sampai ke sumsumnya. Di level kabupaten-kota tentara mengawasi kehidupan sipil melalui komando distrik militer. Di level kecamatan, tentara mengawasi kehidupan sipil melalui komando rayon militer.

Bahkan di level desa pun tentara mengawasi kehidupan sipil melalui keberadaan bintara yang ditempatkan sebagai bintara pembina desa atau babinsa.

Bersamaan dengan kokohnya dominasi militer, kekuatan politik sipil dipereteli sampai tinggal tulang-tulangnya. Partai-partai politik, yang berpotensi menjadi oposisi, dipaksa untuk merger sesuai dengan bekas garis ideologinya.

Partai-partai nasionalis demerger menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI), dan partai-partai berbasis Islam digabung dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Basis ideologi yang menjadi dasar perjuangan politik dihapus dengan paksa. Semua kekuatan politik dan sosial harus dilandasi oleh satu asas tunggal yaitu Pancasila.

Struktur partai politik dibatasi hanya sampai pada level kabupaten-kota, dan tidak diperbolehkan masuk ke level desa.

Masyarakat desa yang jumlahnya masif harus disterilkan dari pengaruh politik, dan membiarkannya menjadi massa mengambang atau floating mass.

Massa yang mengambang ini tidak bisa diraih oleh parpol, tetapi dengan mudah dijangkau oleh Golkar melalui karakterdes dan babinsa.

Golkar bukan partai politik. Begitu kata Soeharto. Golkar adalah Golkar, karena itu boleh masuk ke desa-desa melalui kader-kader penggerak teritorial desa.

Sempurna dan paripurnalah cengkeraman rezim Orde Baru dari pusat sampai ke desa-desa. Tidak ada ruang untuk bergerak, tidak ada kesempatan untuk berbicara. Semua gerak-gerik, dari atas sampai bawah, diawasi oleh Big Brother selama 24 jam.

Indonesia berada dalam kondisi seperti itu selama tiga dekade. Kemudian lahirlah gerakan reformasi yang dimotori mahasiswa pada 1998.

Rezim otoritarianisme Orde Baru jatuh. Militer sebagai tulang punggung kekuatan Orde Baru, direformasi total dan dikembalikan ke barak untuk menjalankan fungsi pokoknya sebagai kekuatan pertahanan.

Pengalaman buruk selama Orde Baru menjadi trauma politik yang tidak boleh terulang lagi. Tentara harus tetap ada di barak, dan menjaga konsentrasi sebagai kekuatan pertahanan yang siap setiap saat.

Tantangan strategis yang dihadapi Indonesia dalam percaturan geopolitik internasional sangatlah berat, sehingga membutuhkan sumber daya yang benar-benar profesional.

Tentara tidak boleh lagi terlibat dalam urusan sipil, apalagi mengurusi hal remeh-temeh seperti penurunan baliho. (*)


Redaktur : Adek
Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler