Jepang Diyakini Tidak Akan Persulit Perundingan Inalum

Rabu, 04 September 2013 – 09:18 WIB

jpnn.com - JAKARTA – Salah seorang tim perunding pemerintah Indonesia, Direktur Jenderal (Dirjen) Kerjasama Industri Internasional Kementerian Perindustrian, Agus Tjahyono, meyakini konsorsium Nippon Asahan Aluminium (NAA), tidak akan memersulit proses serahterima Inalum pascaberakhirnya kontrak kerjasama 31 Oktober mendatang.

“Sebenarnya mereka sudah mau (melepas seluruh saham), karena sesuai kontrak yang ditandatangani sebelumnya. Tapi memang dalam perjanjian memang seperti itu. Kalau tidak dapat diselesaikan, maka kita dapat membuat kesepakatan sementara, yaitu akan diselesaikan lewat arbitrase internasional,” ujar Agus di Jakarta, Selasa (3/9).

BACA JUGA: Terkerek Belanja Big Caps

Karena itu berdasarkan keyakinan ini, sebelum tenggat waktu 31 Oktober terlewati, negosiasi menurut Agus kini lebih intensif dilakukan. Bahkan pertemuan kedua belah pihak tidak hanya secara tatap muka, namun rutin dilakukan lewat telepon.

Saat ditanya apakah sikap Jepang mengulur waktu kemungkinan terkait nilai tukar dollar yang terus menguat atas rupiah, Agus dengan tegas membantahnya.

BACA JUGA: Microsoft Akuisisi Nokia Rp 79 T

“Tidak ada hubungannya dengan itu. Karena audit kan sudah selesai dilakukan. Sekarang ini hanya masalah perbedaan sudut pandang. Jepang menginginkan nilai buku dihitung sesudah revaluasi, sementara Indonesia sebelum revaluasi. Ini terjadi karena dalam perjanjian sebelumnya, tidak diatur mana yang digunakan,” ujarnya.

Inilah satu-satunya permasalahan yang menjadi kendala hingga beberapa kesepakatan lain belum juga diperoleh. Namun begitu Agus yakin, ketika masalah nilai buku terselesaikan, hal-hal lain otomatis juga terselesaikan dengan sendirinya.

BACA JUGA: Anak Usaha Pos Indonesia Akan Bangun Dua Hotel

“Jadi masalah utamanya saat ini hanya terkait sudut pandang perhitungan nilai buku. Kalau kesepakatan dapat dicapai, maka otomatis hal-hal lain sudah selesai,” katanya.

Secara sederhana Agus menggambarkan negosiasi yang berjalan layaknya jual beli barang. Hanya bedanya, aset yang dilepas sudah dimiliki sejak puluhan tahun yang lalu. Sehingga perlu ada perhitungan tersendiri dan pada setiap peningkatan harga harus disertai dengan bukti.

“Jadi intinya sebagaimana transaksi pada umumnya, bahwa ada uang, ada barang. Tapi masalahnya barang yang ada tidak sesuai dengan yang dijanjikan. Karena itu perlu negosiasi. Tapi saya yakin masalah ini akan segera terselesaikan,” katanya.

Sebelumnya, Sekretaris Jenderal Kemenperin, Ansari Bukhari, menyatakan Jepang mengusulkan nilai buku sebesar US$650 juta. Sementara hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) berada di bawahnya. Meski mengaku tidak mengetahui berapa sebenarnya hasil audit BPKP, namun menurut Ansari selisihnya mencapai US$150 juta-US$200 juta.

Karena itu di sisa waktu yang ada, pemerintah Indonesia akan terus berupaya semaksimal mungkin menyelesaikan perbedaan pandangan yang ada. Sehingga Inalum dapat sesegera mungkin diwujudkan menjadi salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN).(gir/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Angkasa Pura I akan Tindak Tegas Lion Air


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler