Jerat Pezina Dengan UU Adat

Selasa, 04 Desember 2012 – 12:35 WIB
PADANG - Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) Perzinaan dan Pelacuran yang tengah dibahas di DPRD Padang masih perlu dikaji kembali. Sejumlah kalangan Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Sumbar dan pengamat hukum menilai akan terjadi berbenturan dengan Undang-Undang Adat melalui peraturan pemerintah.

"Saya menyarankan mempergunakan Undang-Undang Adat saja. Karena ada 32 pasal yang telah mengatur pola kehidupan masyarakat, termasuk perzinaan," kata Ketua LKAAM Sumbar, M Sayuti Dt Rajo Penghulu kepada Padang Ekspres (Grup JPNN), Senin (1/12).

Sayuti menjelaskan, dalam bab perzinaan juga diatur batasan seperti ciuman, pegangan tangan, dan lainnya. "Saya mengkhawatirkan jika hal ini dipaksakan dibuat dalam peraturan daerah, ketentuan tersebut tidak jalan," ungkapnya.

Jika menggunakan UU Adat, kata Sayuti, ada sanksinya agar memberi efek jera pelaku maksiat. "Pertama bisa dihukum dengan dicambuk. Setelah itu, mereka minta ampun pada Tuhan sehingga selepas dari menjalankan hukuman tidak ada lagi perlakuan lain di tengah masyarakat," katanya.

Sayuti menyarankan ranperda yang dibuat itu, bagaimana UU Adat ini bisa dipergunakan. "Semuanya diatur secara detail," saran Sayuti.

Pengamat hukum tata negara Suharizal menilai, Rancangan Perda soal pelarangan perzinaan hanya akan menjadi ranperda yang mubazir dan hanya melemahkan aturan KUHP. Dalam KUHP tersebut telah diatur soal sanksi terhadap pelaku perzinaan minimal 1 tahun.

"Perda kan tak boleh mengatur lebih dari satu tahun. Saya merasa ranperda itu tak perlu harus diadakan. Karena itu hanya akan melemahkan sanksi perzinaan yang telah ada dan malah menyuburkan praktik perzinaan itu sendiri di Padang," ucapnya.

Karena itu, dia menilai ranperda itu dibatalkan karena belum sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan tak ada substansinya. "Itu tidak ada manfaatnya.  Ada kekeliruan dari DPRD dalam memandang perzinaan itu sendiri. Perzinaan itu bukan pelanggaran, tapi tindakan pidana. Biarlah yang mengatur itu, cukup dengan KUHP dan tak perlu diatur lagi dengan ranperda," saran dosen Fakultas Hukum Unand ini.

Sementara itu, anggota Badan Legislasi Daerah (Balegda) DPRD Padang, Hadison mengakui sebelumnya Kota Padang juga telah mengeluarkan aturan Perda No 11/2005 tentang Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat.

Namun perda tersebut baru mengatur ruang lingkup tindakan maksiat seperti perzinaan dan pelacuran secara makro. "Sementara keberadaan ranperda ini, untuk mempersempit ruang gerak tindakan yang mengarah ke maksiat," katanya.

Hal senada diungkapkan, Ketua Pansus V, Jon Roza Saukani. "Ranperda ini melibatkan peran serta ninik mamak dan pemangku adat dalam memberantas maksiat hingga ke pemerintahan terendah, termasuk pemberian sanksi adat. Jadi ini sesuai falsafah Minangkabau, Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK)," ungkap Ketua Balegda ini.

Kabag Hukum Pemko Padang, Andri Yulika mengakui masih banyak kekurangan dalam ranperda tersebut. Itu gunanya dilakukan rapat dengar pendapat sehingga tidak ada kekurangan. "Untuk ranperda ini jangan sampai berbenturan dengan KUHP. Pasalnya, yang diatur dalam Perda adalah apa yang belum diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)," ujarnya. (ek/ayu)
BACA ARTIKEL LAINNYA... 50 Ribu e-KTP Aceh Besar Masih di Pusat

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler