jpnn.com - JAKARTA - Masyarakat Aceh hingga saat ini terus mengenang jasa Wakil Presiden Jusuf Kalla yang menginspirasi perdamaian di kota Serambi Mekkah itu lewat kesepakatan di Helsinki, Finlandia, pada 15 Agustus 2005 silam.
Saat diundang ke International Conference 10th Year Anniversary of MoU Helsinki di Aceh, Sabtu malam (14/11), JK, sapaan akrab pria asal Makassar itu, juga masih mengingat dengan jelas proses perdamaian yang sudah dirindukan masyarakat Aceh selama bertahun-tahun.
BACA JUGA: IJW: Prasetyo Pantas Diganti!
Sambil berkelakar, JK mengungkapkan orang dari suku Jawa tidak cocok mengurus perdamaian di Aceh. Karena itu, orang dari Makassar yang bisa menanganinya.
“Kenapa perundingan tidak ada orang Jawa? Maaf nih karena takut dia tersinggung kalau Pak Malik atau Zaini ngomongnya keras, tersinggung pula nanti. Gagal perundingan. Makanya orang Makassar. Orang Makassar satu sifat sama orang Aceh,” kata JK sambil tertawa, dan disambut tawa tamu undangan.
BACA JUGA: Masyarakat Tunggu Jawaban Presiden: Ganti atau Pertahankan Jaksa Agung?
Orang-orang yang dimaksudnya itu adalah tiga tokoh GAM kalai itu yang ikut dalam perundingan, yaitu Perdana Menteri Malik Mahmud, Menteri Luar Negeri Zaini Abdullah dan Menteri Dalam Negeri Bakhtiar Abdullah.
Di hadapan, sekitar seratus peserta yang hadir, JK mengungkapkan betapa alotnya perundingan yang memakan waktu selama enam bulan dan enam kali pembicaraan tersebut.
BACA JUGA: Demokrat: Sejak Awal Penunjukan Prasetyo Menuai Kontroversi
Perundingan itu, diakuinya, cukup rumit karena harus mengedepankan dua tujuan dari pihak yang berbeda. Di satu sisi, sejumlah permintaan dari GAM diupayakan untuk diakomodir. Tetapi, di sisi lain, pandangan negatif dari dalam negeri juga harus ditelan pahit.
JK mengungkapkan setidaknya butuh waktu selama 10 hari untuk mempersiapkan para perunding, di antaranya Hamid Awaludin (Menteri Kehakiman saat itu) dan Sofyan Djalil (Menteri Komunikasi dan Informatika ketika itu). Tak hanya itu, kata dia, pengetahuan mengenai Aceh harus hafal di luar kepala.
Saat melakukan perundingan, tim JK pun sempat dibuat pusing dengan protes bertubi-tubi karena pemerintah pusat meluluskan permintaan adanya hymne, bendera dan aturan khusus mengenai ekspor-impor untuk Aceh.
“Semua protes, mengetahui pemerintah setuju adanya hymne Aceh. Jawabnya mudah saja, PSSI ada hymne-nya, masa Aceh tidak boleh. Soal bendera juga semua orang protes. Padahal, DKI Jakarta ada (bendera), Makassar juga ada, masa Aceh tidak ada. Diskriminasi dong,” paparnya.
Bukan hanya itu tantangan yang dihadapi JK dan tim untuk ciptakan perdamaian, ada juga tudingan menjual negara sendiri yang dialamatkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) saat itu pada pemerintah, karena minimnya akses informasi mengenai proses perundingan.
“Proses perundingan yang tahu hanya saya, yang berunding, Presiden (Susilo Bambang Yudhoyono). Menteri pun tidak tahu,” kata dia.
Namun, protes itu diabaikannya. JK bergeming dan tetap merahasiakan demi menjaga kepercayaan pihak kedua. Alasannya, proses perundingan berjalan lancar meskipun harus melalui lima kali pembicaraan dan satu kali pertemuan untuk menandatangani kesepakatan.
Perbedaan waktu antara Tanah Air dan Helsinki, diakui JK juga menjadi harga yang harus dibayar. Sebab, membuatnya harus tidur dini hari hanya untuk mengawal perundingan.
Menurutnya, tantangan terberat muncul saat perundingan kelima. Tepatnya, saat GAM meminta dizinkan membentuk partai politik lokal.
“Namun akhirnya, doa-lah yang menyelamatkan nasib perundingan yang selama enam bulan," sambungnya.(flo/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Terkait Teror Paris, Ini Instruksi Kapolri
Redaktur : Tim Redaksi