jpnn.com, WASHINGTON DC - Presiden Joe Biden menyebut penyalahgunaa senjata api di Amerika Serikat (AS) sebagai aib internasional.
Dia merencanakan sejumlah tindakan untuk mengatasi hal ini dengan cara melarang senjata api otomatis yang berupa senapan laras panjang dan mencabut kekebalan hukum produsen senjata.
BACA JUGA: Amerika Serikat Selidiki Penyebab Kecelakaan Helikopter yang Menewaskan Miliader Ceko
“Jalan kita masih panjang, sepertinya jalan kita selalu panjang,” kata Biden, seperti yang dilansir dari New York Times pada Kamis (8/4).
Biden mempertimbangkan kebijakan ini setelah insiden dua penembakan massal di Georgia dan Colorado yang menewaskan total 18 orang. Hal ini menyebabkan pemerintah mendapat tekanan dari masyarakat untuk mengambil tindakan.
BACA JUGA: Mendag Terbang ke Amerika Serikat, Ada Apa?
Langkah paling substantif yang mungkin akan dilakukan pemerintah AS adalah mengarahkan Departemen Kehakiman untuk mengekang penyebaran senjata ilegal.
Perlengkapan senjata ini dapat dibeli tanpa pemeriksaan latar belakang dan memungkinkan senjata dirakit dari bagian yang tidak memiliki nomor seri.
BACA JUGA: Pemerintah Minta WNI di Amerika Serikat Waspadai Kekerasan Rasial
Biden menginginkan departemen mengeluarkan peraturan dalam satu bulan untuk mewajibkan komponen senjata memiliki nomor seri agar mereka dapat dilacak dengan pembeli yang harus menjalani pemeriksaan latar belakang.
"Saya ingin melihat perlengkapan senjata ini diberlakukan sebagai senjata api di bawah Undang-Undang Pengendalian Senjata," ujar Biden.
Menurut catatan Biro Alkohol, Tembakau, Senjata Api, dan Bahan Peledak bahwa sekitar 10 ribu senjata ilegal ditemukan oleh penegak hukum pada 2019.
Kota Philadelphia, Baltimore dan San Diego menemukan peningkatan jumlah senjata ilegal yang signifikan setiap tahunnya.
"Senjata ilegal yang secara tidak proporsional berdampak pada penyalahgunaan senjata di komunitas kulit berwarna dan merusak negara dengan undang-undang senjata yang kuat," tutur wakil presiden kebijakan di Brady: United Against Gun Violence Christian Heyne. (New York Times/mcr9/jpnn)
Redaktur & Reporter : Dea Hardianingsih