-------
Marthen Boseren, Jayapura
-------
Tanggal 13 November 2012 menjadi hari bersejarah bagi Prof Dr Johana Jambise MA. Saat itu karir dia di dunia akademik mencapai puncaknya. Gelar profesor kini tersemat di depan namanya.
Johana mengaku sangat bangga menjadi perempuan pertama Papua yang meraih gelar guru besar. Meski begitu, gelar tersebut harus diraihnya dengan jalan berliku.
Menurut perempuan kelahiran Manokwari, 1 Oktober 1958 itu, masalah terberat yang harus dilalui adalah memuat karya ilmiah di jurnal internasional. Sebab, berkali-kali dia mengirim tulisan ke jurnal internasional, tapi selalu ditolak.
Beberapa kali tulisan yang dia kirim dikembalikan. Pihak dewan redaksi meminta tulisan direvisi agar memenuhi standar internasional dan bisa diterima publik internasional.
"Itu yang membuat saya mengalami kendala beberapa kali penundaan untuk meraih guru besar karena harus merevisi jurnal-jurnal ini," kata Johana di kampus Universitas Cendrawasih (Uncen) Jayapura.
"Untuk mendapatkan jurnal internasioanal sangat susah. Karena itu, kebayakan calon guru besar lari ke akreditasi pendidikan tinggi yang ada Jakarta jika tidak berhasil meraih akreditasi internasional," sambung ketua Program Magister Pendidikan Bahasa Inggris FKIP Uncen tersebut.
Johana mengaku, setelah berjuang delapan bulan, baru empat jurnal yang dihasilkannya bisa diterima publik internasional. Beruntung, empat jurnal itu masing-masing akhirnya mempunyai nilai 40. Hal ini yang membuat dia dengan mudah mengumpulkan nilai 850 sebagai syarat memperoleh gelar guru besar.
Setelah nilai 850 diraih, bukan berarti langkah menggapai gelar profesor berjalan mulus. Saat pertama mengajukan ke Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbud, permohonannya tak langsung ditanggapi.
Dia membutuhkan waktu 1,5 tahun untuk menunggu lampu hijau dari Ditjen Dikti. "Permohonan tidak serta merta langsung dijawab. Kami butuh waktu lama. Ini bukan hal yang gampang," kata Johana.
Bagi Johana, gelar guru besar merupakan cita-cita terakahirnya di dunia akademik. Setelah itu, dia tidak punya keinginan lain selain memajukan Uncen, almamater yang telah membesarkannya.
Ya, Johana memang tergolong produk asli Uncen. Dia menyelesaikan jenjang sarjana di Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni, FKIP, Uncen, 1985. Setelah itu, dia melanjutkan studi ke Singapura (diploma), Kanada (magister), dan Australia (doktor). Setelah lulus, dia mengabdikan ilmunya di kampus negeri pertama di bumi Papua tersebut.
Johana lahir di Manokwari, Papua. Sekolah jenjang pendidikan dasar dia selesaikan di SD Padang Bulan Abepura 1971. Kemudian, dia melanjutkan ke SMP Negeri Nabire, lulus 1974. Adapun jenjang SMA dia tamatkan di SMA Negeri Persiapan Nabire 1979.
Dalam orasi ilmiah saat pengukuhan gelar profesornya, dia mengangkat tema tentang penerapan pengajaran bahasa Inggris yang salah di sekolah. Hal itu membuat siswa sulit menguasai bahasa internasional tersebut.
Dia juga mengaku kurang sreg dengan isi Undang-Undang No 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua. Dalam UU tersebut dijelaskan bahwa bahasa Inggris merupakan bahasa kedua setelah bahasa Indonesia.
"Sangat susah karena di sekolah ngomong bahasa Inggris campur bahasa Indonesia, kemudian pulang ke rumah ngomong juga pakai bahasa Indonesia. Jadi, sangat susah mengubahnya. Untuk mengubahnya, perlu konsep tersendiri atau konsep khusus," ungkap Johana. (*/nw)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Melihat RTM Calon Tempat Tahanan KPK
Redaktur : Tim Redaksi