jpnn.com - Sidang kasus kekerasan dalam rumah tangga yang melibatkan pasangan Hollywood, Johny Depp dan Amber Heard, menjadi sidang rumah tangga yang paling banyak disorot oleh netizen dunia.
Miliaran orang dari seluruh dunia mengikutinya, dan miliaran orang itu terpecah opininya menjadi pro dan kontra.
BACA JUGA: Kalah Melawan Johnny Depp, Amber Heard: Perempuan Dipermalukan
Sidang ini berlangsung sepetri drama rumah tangga yang bisa menjadi bahan untuk kisah film box office.
Johny sang suami dilaporkan oleh Amber sang istri, telah melakukan kekerasan dalam rumah tangga.
BACA JUGA: Ini Penyebab Sidang Johnny Depp Melawan Amber Heard Berlanjut, Ternyata...
Pasangan itu menikah pada 2017 dan hanya bertahan dua tahun.
Rumah tangga mereka penuh cerita mengenai kekerasan di antara kedua pihak.
BACA JUGA: Johnny Depp Menang di Persidangan, Amber Heard Harus Bayar Ganti Rugi Sebegini
Johnny Depp--terkenal dengan perannya sebagai Jack Sparrow pelaut pemabuk dalam film serial Pirate of the Carribean--dilaporkan suka menghajar Amber Heard setiap kali terjadi pertengkaran.
Amber Heard yang tidak tahan oleh kekerasan itu mengungkapkannya kepada media.
Akhirnya perkara itu disidangkan dan menjadi drama rumah tangga terbuka yang disaksikan orang seluruh dunia.
Umumnya orang mengira bahwa laki-laki selalu menjadi pihak yang melakukan kekerasan dan penganiayaan.
Itulah gambaran orang terhadap Depp.
Dia digambarkan melakukan tindakan sadis sampai tega menyakiti bagian vital sang istri dalam pertengkaran.
Bagi para pendukung Amber Heard, Johnny dianggap sebagai suami yang sadis.
Akan tetapi, kekerasan dalam rumah tangga ternyata tidak hanya dilakukan laki-laki terhadap perempuan.
Ternyata perempuan pun melakukan kekerasan fisik yang tidak kalah keras ketimbang laki-laki.
Sidang menemukan bukti bahwa Amber Heard menyerang suaminya dengan melempar gelas anggur sampai membuat jari Johnny Depp nyaris putus.
Dua pihak saling gugat. Amber menggugat soal kekerasan dalam rumah tangga, sebaliknya Johny menggugat Amber atas tuduhan pencemaran nama baik.
Sidang berlangsung keras dan berliku-liku.
Pengadilan memutuskan Johnny memenangi gugatan pencemaran nama baik dan memvonis Amber untuk membayar ganti rugi USD 15 juta atau sekitar Rp 220 miliar.
Sebaliknya, pengadilan juga memutus Johny bersalah karena mencemarkan nama baik Amber.
Pengadilan memvonis Johnny membayar ganti rugi USD 2 juta atau sekitar Rp 30 miliar.
Sidang kasus rumah tangga ini menjadi sidang paling heboh tahun ini.
Netizen dunia berkomentar berapi-api saling menyerang masing-masing kubu.
Berbagai tagar bermunculan di Twitter menjadi trending topic selama berhari-hari.
Sebuah kasus keluarga meledak menjadi kasus sosial yang membelah opini internasional dunia.
Hal ini mirip dengan kejadian penganiayaan terhadap George Floyd pada 2020 yang kemudian melahirkan gerakan ‘’Black Lives Matter’’ (BLM) yang meluas ke seluruh dunia.
Kasus Johny vs Amber ini memunculkan kembali tagar ‘’Me Too’’ yang juga digunakan secara global untuk membuka kesadaran publik mengenai kisah-kisah perjuangan korban pelecehan dan kekerasan seksual.
Gaung tagar MeToo dan BlackLivesMatter membawa pengaruh besar dan menandai sejarah baru dalam gerakan aktivisme melalui dunia digital.
Pemetaan data percakapan Me Too yang dilakukan oleh Google menunjukkan bahwa gerakan ini memiliki pengaruh global dan berhasil menurunkan tingkat kekerasan dalam rumah tangga.
Hal serupa juga terjadi dalam gerakan BLM yang menciptakan solidaritas global untuk membantu serta melindungi orang-orang minoritas dari kekerasan sistematis.
Kedua gerakan ini berasal dari Amerika dan berangkat dari kehidupan masyarakat termarjinalkan di Amerika, tetapi gerakan mereka beresonansi dengan banyak orang dari berbagai daerah dan latar belakang.
Aktor, artis, dan selebritis yang ikut mengamplifikasi gerakan ini tidak hanya terbatas di Amerika saja, tetapi juga di negara-negara lain.
Gerakan Me Too juga meluas ke seluruh dunia sampai ke India, Korea Selatan, dan juga Thailand.
Di Korea Selatan terungkap kekerasan dalam industri K-Pop yang menyebabkan berbagai tindak kriminal, mulai dari pemerkosaan, pembunuhan, dan perdagangan manusia.
Faktor yang mendukung meluasnya dua gerakan ini adalah internet dan media sosial. Media sosial memungkinkan penggunanya berbagi pengalaman secara real-time.
Disandingkan dengan fitur trending di Twitter, percakapan dalam dua tagar ini bisa diketahui secara global dalam waktu yang hampir bersamaan.
Eksposure media ikut memperbesar penyebaran informasi soal eksistensi dua gerakan ini.
Gerakan Me Too dan BLM tidak diorganisasi secara terpusat, melainkan pada simpul-simpul aktivis yang terdesentralisasi dan terhubung.
Watak pengorganisasian yang terdesentralisasi ini menjadi salah satu faktor meluasnya kampanye secara global.
Media sosial memungkinkan berbagai kalangan untuk mengorganisasi gerakan dan menyesuaikannya dengan konteks geopolitik daerah mereka.
Oleh karena itu, gerakan-gerakan ini cenderung bersifat cair dan tidak punya pemimpin yang hirarkis.
Gerakan Mee Too menular sampai ke Indonesia. sebuah tagar ‘’Saya Juga’’ muncul di Twitter untuk mendorong diskusi publik tentang kekerasan seksual yang makin luas.
Namun, tetap saja, di Indonesia gerakan ini dibicarakan terbatas pada mereka yang melek media sosial dan perempuan di kalangan menengah-atas, serta para aktivis gender.
Sebuah survei menunjukkan bahwa satu dari tiga perempuan Indonesia mengalami kekerasan fisik dan kekerasan seksual.
Angka ini sama dengan rata-rata global yang dikeluarkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Bank Dunia.
Kendati demikian, perbincangan publik mengenai kasus ini relatif terbatas.
Seorang aktivis feminisme menyatakan, kombinasi dari budaya patriarki yang sangat mengakar, nilai agama yang konservatif, dan praktik penegakan hukum yang tidak sensitif gender merupakan penyebab mengapa gerakan Me Too tidak mendapat gaung yang besar di Indonesia.
Budaya patriarki dan tradisi budaya dan agama yang konservatif membuat publik merasa tabu untuk mengungkap persoalan seks dan rumah tangga ke publik.
Akan tetapi, argumen feminis semacam itu tidak sepenuhnya benar. Beberapa waktu belakangan ini di media sosial banyak sekali kasus-kasus rumah tangga yang diungkap dan kemudian menjadi viral.
Salah satunya adalah kisah ‘’Layangan Putus’’ mengenai perselingkuhan dalam rumah tangga. Cerita ini diikuti dengan antusias oleh ribuan orang dan kemudian diangkat menjadi cerita sinetron yang banyak digemari orang.
Isu kekerasan dalam rumah tangga sudah lama menjadi isu politik.
Setelah terbengkalai beberapa tahun, DPR mengesahkan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang dimaksudkan untuk memberi perlindungan kepada perempuan dari kekerasan seksual.
UU ini dianggap sebagai kemenangan oleh para aktivis perempuan dan feminisme.
Namun, Fraksi PKS (Partai Keadilan Sejahtera) menolak undang-undang ini karena dianggap tidak cukup komprehensif dalam menghadapi kasus-kasus seksual.
PKS melihat undang-undang ini tidak memasukkan tindak pidana kesusilaan secara komprehensif yang meliputi, kekerasan seksual, perzinaan, dan penyimpangan dalam seksual.
Menurut PKS, hal ini merupakan esensi penting dalam pencegahan dan perlindungan korban dari kekerasan seksual.
PKS mendesak adanya sanksi hukum yang tegas terhadap perzinahan dan penyimpangan seksual.
Bagi kalangan feminis dan liberal undang-undang ini menjadi sebuah kemenangan.
Namun, bagi kalangan agama undang-undang ini tidak cukup efektif mengatasi tindak maksiat dalam hubungan seksual, terutama perzinahan dan hubungan sesama jenis.
Undang-undang ini masih dianggap terlalu permisif karena membawa perspektif yang terlalu liberal.
Kisah Johnny vs Amber menunjukkan rapuhnya institusi rumah tangga di Barat.
Hak-hak feminis yang diberikan secara liberal menjadikan institusi rumah tangga keropos dan tidak tahan lama.
Di Indonesia, cerita Johnny vs Amber pasti menjadi cerita sinetron yang sukses dan banyak digemari.
Sebentar lagi akan muncul kisah sinetron ala drama Johnny vs Amber. Tunggu saja. (*)
Redaktur : M. Kusdharmadi
Reporter : Cak Abror