jpnn.com - Biasanya yang suka plesetan itu orang-orang Jogjakarta. Kultur plesetan sudah menjadi trade mark mereka, menjadi cara untuk bertahan hidup, dengan menertawakan sesuatu yang serius menjadi guyonan yang ringan.
Kemampuan menertawakan diri sendiri--atau menjadikan sesuatu yang serius menjadi bahan candaan--adalah bagian dari seni bertahan hidup, the art of survival, yang penting di tengah berbagai kesulitan seperti sekarang ini.
BACA JUGA: Berita Terkini soal Reshuffle Kabinet: Jokowi & Pratikno Renggang
Kali ini yang main plesetan bukan ‘’Priyantun Yogya’’, tetapi media asing dari Eropa yang terbit untuk edisi Singapura, The Economist, penerbit yang sangat bergengsi, pada edisi akhir Agustus lalu memelesetkan nama Jokowi menjadi ‘’Jokowho?’’.
Mungkin ada yang tersinggung oleh plesetan itu. Wajar saja, karena Jokowi adalah pemimpin tertinggi Indonesia.
BACA JUGA: Joe Biden Sudah Punya Strategi untuk Kalahkan Varian Delta
Namun, karena plesetan itu cerdas dan lucu, mungkin lebih banyak yang tersenyum getir mendengarnya.
Kemampuan membuat humor yang lucu adalah bagian dari ‘’wit’’ atau kecerdasan dari seseorang. Kemampuan mocking (meledek) atau membuat parodi yang lucu, adalah bagian dari kecerdasan dalam melakukan protes yang serius, tapi dengan cara yang santai.
BACA JUGA: Lihat Penampilan Ibu Iriana, Pak Jokowi Berjalan di Belakangnya
Jokowho adalah paduan dua kata ‘’Joko’’ dan ‘’Who’’. Secara sederhana bisa diterjemahkan menjadi ‘’Joko Siapa?’’. Cara ini lazim dipakai oleh orang Barat untuk mempertanyakan eksistensi seseorang. Cara ini bisa juga menunjukkan bahwa orang tersebut tidak dikenal, meskipun setiap orang tahu namanya.
Memang ada ironi di situ. Nama Joko tentu dikenal oleh semua orang Indonesia, terutama kalau digandeng dengan ‘’wi’’ di belakangnya.
Meski begitu, orang itu dianggap tidak eksis, karena mungkin dianggap tidak kompeten dalam mengatasi berbagai persoalan.
Karena itu keberadaannya tidak dikenali orang. Keberadaannya dianggap tidak ada. Eksistensinya dianggap non-eksisten. Dalam istilah pesantren disebut ‘’wujuduhu ka adamihi’’, adanya sama dengan ketiadaannya.
Penyebutan Jokowho memang ada unsur degradasi di dalamnya. Namun, hal itu sudah dianggap lazim dalam tradisi humor Barat. Tradisi itu menjadi tradisi humor politik yang dipakai secara luas untuk mengkritik seseorang yang terkenal tetapi tidak dikenal.
Kalau orang Amerika menyebut ‘’Joe Who?’’, itu artinya dia meledek seseorang yang punya nama Joe. Semua orang tahu bahwa Joe adalah nama depan presiden Amerika Serikat.
Nama belakangnya adalah Biden. Dengan menyebut Joe saja sebenarnya orang sudah tahu bahwa yang dimaksud adalah Joe Biden. Namun, ketika orang menyebut Joe Who, tentu maksudnya meledek dan mempertanyakan eksistensi Joe sang presiden.
Ketika sekarang Joe Biden dianggap kurang kompeten dalam menangani krisis Afghanistan, banyak orang yang mengkritiknya. Dia dianggap lari dari tanggung jawab, termasuk lari dari pers. Biasanya seorang politisi Amerika akan selalu tangkas dalam menghadapi pertanyaan-pertanyaan tajam media.
Namun, dalam kasus Afghanistan ini Joe Biden sering menghindar dari media. Karena itu kalau ada judul berita ‘’Joe Who’’, maka itu adalah wujud kejengkelan media terhadap Joe yang dianggap tidak eksis.
Berita di The Economist edisi Singapura itu punya judul menohok ‘’Jokowho? Indonesia’s Presiden Promised Reform, Yet It Is He Who Has Changed’’ (Joko Siapa? Presiden Indonesia Menjanjikan Perubahan, Tetapi Ternyata Dia Sendiri yang Berbubah).
Membaca judulnya saja sudah bisa bikin kuping merah. Mungkin tidak ada media di Indonesia yang berani melakukannya. Namun, bagi media Barat kritik semacam itu hal yang biasa. Malah mungkin, untuk standar mereka kritik semacam ini dianggap masih cukup halus.
Berita itu menjadi viral di media sosial karena ditwit oleh Adhie Massardi, mantan juru bicara Presiden Gus Dur, di akun medsosnya (24/8). Adhie mengatakan bahwa dia mendapat berita itu dari kiriman sahabatnya di Singapura. Selain menyebut Jokowi berubah, narasi berita itu juga menyebut ‘’Democracy is increasingly enfeebled under Jokowi’’ (Demokrasi semakin terlilit utang di bawah Jokowi).
Yang menjadi sorotan Adhie Massardi dari artikel itu adalah plesetan nama Jokowi menjadi ‘’Jokowho?’’ yang ditulis pada upper kop (judul atas) dengan tinta berwarna merah. Hal ini menunjukkan adanya nada kejengkelan dari media itu terhadap seseorang yang punya nama Joko.
Boleh saja orang marah terhadap kritik ini. Namun, harus diingat bahwa media mempunyai kebebasan untuk melakukan kritik, sebagai bagian dari fungsi kontrol sosial. Di era digital seperti sekarang tentu tidak mungkin mencekal berita-berita kritik semacam itu. Di masa lalu, di era otoritarianisme Orde Baru, berita semacam itu sudah pasti akan disensor.
Tidak hanya disensor, tetapi wartawan yang menulisnya masuk dalam black list, daftar hitam, dan dicekal masuk ke Indonesia. Medianya akan dilarang terbit dan tidak boleh beredar di Indonesia. Kalau toh dibolehkan masuk ke Indonesia berita miring itu akan diblok dengan tinta hitam.
Di masa itu banyak wartawan asing yang dilarang masuk ke Indonesia. Salah satunya adalah David Jenkins, wartawan The Sydney Morning Herald dari Australia. Jenkins menulis berita investigatif mengenai bisnis keluarga Presiden Soeharto dan menurunkan laporannya secara beseri.
Pemerintah Soeharto marah dan koran itu dilarang masuk ke Indonesia. Jenkins juga masuk dalam daftar cekal. Menteri Penerangan Harmoko, ketika itu, menyebut laporan Jenkins sebagai ‘’jurnalisme alkohol’’. Mungkin Harmoko menyindir Jenkins, atau wartawan Eropa lainnya, yang suka kumpul-kumpul sambil minum alkohol.
Namun, penyebutan itu justru dianggap sebagai pujian terhadap Jenkis, karena laporan jurnalisme alkoholnya benar-benar membuat rezim Orde Baru mabuk.
Era sudah berubah, zaman berganti. Tidak ada lagi sensor seperti itu. Namun, muncul sensor lain dalam bentuk yang berbeda. Media-media yang kritis terhadap pemerintah diserang oleh buzzer bayaran dan didown-grade sehingga ratingnya turun.
Model sensor digital seperti ini sama saja jahatnya dengan sensor model Orde Baru. Karena sensor neo-Orba ini banyak media di Indonesia yang tiarap.
Namun, jalan protes tetap terbuka dan banyak alternatif. Para seniman jalanan membuat protes melalui mural atau grafiti di mana-mana. Para street artist itu tahu bahwa mural mereka akan disensor dengan tinta hitam, seperti sensor terhadap berita di masa Orde Baru.
Karena itu, sebelum disensor para seniman jalanan itu sudah mengunggahnya ke media sosial dan memviralkannya ke publik.
Semakin disensor bukannya berhenti, tetapi malah makin banyak versi mural yang bermunculan. Wajah-wajah yang muncul di mural itu bermacam-macam. Ada versi 404 Not Found ada versi 504 Error, dan banyak versi lainnya.
Tidak ada nama dan identitas apa pun yang disebutkan pada mural itu. Aktor-aktor yang ada pada mural itu adalah manusia anonim, tidak beridentitas. Semua orang mungkin mengenali wajahnya, tetapi eksistensinya dianggap tidak ada.
Joko? Joko Siapa, ya? Jokowho? (*)
Jangan Lewatkan Video Terbaru:
Redaktur : Adek
Reporter : Tim Redaksi