Jokowi, Biden, dan Elon

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Senin, 16 Mei 2022 – 22:10 WIB
Presiden Joko Widodo (Jokowi) berdiskusi dengan pendiri Space X, Elon Musk, sekaligus meninjau pabrik yang memproduksi roket di Boca Chica, Amerika Serikat, Sabtu (14/5/2022) waktu setempat. ANTARA/HO-Biro Pers Sekretariat Presiden/Laily Rachev/aa. (Handout Biro Pers Sekretariat Kepresidenan/Laily R)

jpnn.com - Lawatan Presiden Joko Widodo ke Amerika menjadi berita heboh di tanah air. 

Akan tetapi, yang bikin publik heboh bukan berita mengenai hasil-hasil pertemuan, tetapi malah hal hal remeh-temeh seperti urusan protokol ketika Jokowi tidak dijemput oleh tuan rumah Presiden Joe Biden di bandara. Jokowi salah sebut jabatan menteri, Jokowi ‘’dicuekin’’ oleh Biden, dan pertemuan dengan Elon Musk yang disebut tidak jelas hasilnya.

BACA JUGA: Shireen

Kunjungan ke Amerika Serikat ini sangat strategis artinya bagi Indonesia. 

Selain mewakili kepentingan Indonesia Jokowi sekaligus mengemban dua peran penting, yaitu menjadi koordinator negara-negara ASEAN dalam dialog dengan Amerika, dan pemegang presidensi negara-negara G-20.

BACA JUGA: Lockdown Sapi

Dengan dua peran yang mentereng dan bergengsi itu seyogyanya pamor Indonesia bisa berkibar di Amerika, dan Jokowi mendapatkan penghormatan diplomatik yang lebih layak. 

Akan tetapi, ternyata Presiden Biden punya pertimbangan lain. 

BACA JUGA: Jokowi: Urusan Teknologi, Elon Musk Supergenius

Dia memilih tidak menjemput Jokowi ke bandara. 

Alih-alih Biden menjemput Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong.

Berbagai spekulasi diplomatikpun bermunculan. 

Sebagai koordinator ASEAN dan pemegang presidensi G-20 harusnya Biden lebih menghormati Jokowi dengan menjemputnya di bandara. 

Namun, kenyataannya Biden lebih memilih menjemput PM Singapura. 

Spekulasi dipmolatik yang berkembang menyatakan bahwa Biden secara simbolik menunjukkan bahwa dia kurang welcome terhadap Jokowi.

Sebagai partner  strategis di kawasan Asia Tenggara Amerika merasa lebih dekat dengan Singapura ketimbang negara-negara lain termasuk Indonesia. 

Skala hubungan dagang Amerika dengan Singapura mengalahkan Indonesia. 

Kedekatan politik Amerika dengan Singapura mengungguli negara-negara ASEAN lainnya. 

Amerika pernah dekat dengan Filipina selama hampir 30 tahun semasa kepemimpinan diktator Ferdinand Marcos. 

Ada dua pangkalan militer Amerika di Filipina, yaitu Subic dan Clark yang menjadi pangkalan utama militer Amerika di kawasan Asia-Pasifik. 

Namun, setelah kejatuhan Marcos pada 1986 dan berakhirnya perang dingin pada 1990 dua pangkaan itu ditutup.

Amerika kehilangan pijakan penting di kawasan Asia sejak penutupan itu. 

Apalagi konflik Laut China Selatan selalu menjadi problem strategis yang menjadi ancaman kepentingan Amerika di Asia-Pasifik. 

Jalur Laut China Selatan ibarat tenggorokan bagi Amerika untuk mengakses wilayah Pasifik. 

Kalau China menguasai dan menutup jalur itu maka sama saja artinya dengan mencekik leher Amerika.

Posisi Indonesia dalam persoalan Laut China Selatan selama kepemimpinan Jokowi dianggap lebih condong ke China. 

Jokowi—yang oleh Ben Bland dianggap tidak kompeten dalam pemahaman geopolitik internasional—pernah mengatakan bahwa Laut China Selatan bukan urusan Indonesia. 

Kondisi ini memengaruhi sikap Amerika terhadap Indonesia.

Kepresidenan Indonesia dalam kelompok negara-negara G-20 tahun ini seharusnya menambah kredensial Jokowi di mata Biden.

Namun, yang terjadi tidak demikian. 

Amerika kecewa karena Indonesia tidak menuruti keinginan Amerika yang meminta supaya Rusia tidak diundang ke pertemuan G-20 akhir tahun ini di Bali.

G-20 atau Group of Twenty adalah kumpulan negara-negara dengan ukuran ekonomi besar yang diciptakan oleh Amerika Serikat dan sekutunya. 

Kelompok ini merupakan perpanjangan keanggotaan dari kelompok Group of Seven atau G-7 yang didirikan pada 1975, beranggotakan negara-negara tajir, Amerika Serikat, Kanada, Jerman, Britania Raya, Prancis, Italia, dan Jepang.

Tidak ada China dan Uni Soviet dalam kelompok negara-negara kaya itu. 

Ini menunjukkan bahwa perbedaan ideologi menjadi pertimbangan. 

Keanggotaan G-7 kemudian diperluas pada 2008 menjadi G-20 yang memasukkan Rusia ke dalam keanggotaan, tetapi China tetap tidak masuk ke dalamnya.

Perang dagang Amerika vs China menjadi pangkal ketegangan yang skalanya mirip dengan Perang Dingin melawan Uni Soviet. 

Pada periode Perang Dingin dua kekuatan adidaya dunia itu bersaing dalam perlombanan senjata atau arm race. 

Dalam perang dagang kali ini dua negara besar itu bersaing dalam memperebutkan supremasi ekonomi dunia.

Secara ideologi Rusia tidak segaris dengan Amerika. 

Namun, Amerika tetap merangkul Rusia sebagai sekutu untuk meredam pengaruh China. 

Invasi Rusia terhadap Ukraina membuat Amerika meradang. 

Akan tetapi, kali ini Amerika dan sekutunya di Eropa menahan diri untuk tidak terlibat langsung dalam perang senjata. 

Amerika lebih memilih melakukan proxy war dengan melakukan perang ekonomi dan memboikot kepentingan ekonomi Rusia di seluruh dunia. 

Aset-aset pengusaha Rusia di Eropa dan Amerika disita atau dibekukan, dan ekspor dari Rusia diboikot dan dihentikan. 

Berbagai sanksi ekonomi ini dimaksudkan sebagai upaya menekan Rusia agar segera mengakhiri perang.

Amerika menghendaki agar Rusia tidak diundang ke pertemuan G-20, tetapi Indonesia punya pandangan lain. 

Indonesia mencoba untuk menerapkan sisa-sisa diplomasi Non-Blok yang pernah jaya di masa Perang Dingin, dengan tetap mengundang Rusia ke pertemuan G-20 dan mencoba membujuk supaya segera mengakhiri perang. Indonesia juga mengundang Ukraina supaya datang ke pertemuan sebagai peninju karena Ukraina bukan anggota.

Gaya diplomasi dua kaki ala Indonesia ini membuat Amerika tidak senang. 

Amerika dan sekutu-sekutunya mengancam akan meninggalkan forum pertemuan kalau nanti Presiden Vladimir Putin atau perwakilan Rusia tampil di acara G-20. Indonesia ‘’ngeyel’’ dan tetap mengundang Putin. 

Dalam pidato pertemuan dengan Kongres Amerika Jokowi menyerukan perang harus diakhiri. 

Seruan Jokowi ini disambut oleh kalangan netizen Indonesia dengan gegap gempita. 

Malah ada yang menyebut Jokowi layak mendapatkan Hadiah Nobel Perdamaian. 

Namanya juga netizen. 

Ada yang mendukung ada yang tertawa.

Sayangnya, Jokowi membuat kesalahan tranlasi dalam sebuah sambutan dengan menerjemahkan ‘’secretary of commerce’’ sebagai ‘’sekretaris perdagangan’’.

Sebenarnya ini kesalahan kecil, tetapi ada masalah serius di baliknya. 

Tim komunikasi kepresidenan kembali menunjukkan blunder. 

Translasi tidak di-screening dan tidak dicek oleh Menteri Sekretaris Negara ataupun Menteri Luar Negeri, atau siapa pun yang memegang otoritas tertinggi.

Insiden ‘’Lost in Translation’’ ini mengungkapkan banyak hal. 

Tengara Ben Bland bahwa Jokowi tidak cukup kompeten dalam diplomasi internasional terkuak lagi, karena Jokowi tidak tahu bahwa ‘’secretary’’ dalam tata pemerintahan Amerika adalah ‘’menteri’’.

Dalam sistem pemerintahan Amerika yang presidensial, kepala negara dan pemerintahan dipegang oleh presiden dan pembantu presiden disebut sebagai ‘’secretary’’ yang artinya menteri. 

Dalam sistem pemerintahan parlementer Inggris dan negara-negara berbahasa Inggris, kepala pemerintahan adalah perdana menteri dan kepala negara dipegang oleh Ratu Inggris. 

Pembantu perdana menteri disebut ‘’minister’’ yaitu ‘’menteri’’. 

Model Inggris disebut sebagai ‘’Westminster System’’ dan model Amerika diplesetkan sebagai ‘’Washminster’’ atau sistem Washington.

Jamuan oleh Presiden Biden di Gedung Putih juga menjadi sorotan sekalangan netizen Indonesia, karena Biden lebih asyik berbicara kepada Sultan Brunei Hasan Al-Bolkiah ketimbang dengan Jokowi. 

Seharusnya pada kesempatan itu Jokowi bisa berbincang serius dengan Biden untuk membicarakan masalah Rusia dan persiapan G-20.

Pertemuan dengan Elon Musk juga menjadi bahasan heboh. 

Kali ini, Sekretariat Negara memilih menyebar foto-foto pertemuan ketimbang video pembicaraan antara Jokowi dan Elon Musk. 

Foto-foto itu menggambarkan Jokowi berbicara gayeng dengan Musk, tetapi isi pembicaraan tidak disiarkan. 

Kalangan netizen kepo ingin tahu bagaimana Jokowi berbincang-bincang dalam Bahasa Inggris dengan Musk.

Kali Musk tampil dengan kaos oblong seperti ketika menerima delegasi Luhut Panjaitan sebelumnya. 

Ketika itu Luhut dan rombongan di-bully netizen Indonesia karena saltum alias salah kostum. 

Luhut berjas rapi dan Musk memakai oblong seharga Rp 435 ribu.

Kali ini Jokowi memakai kemeja lengan panjang dilinting di bagian lengan, dan Elon Musk memakai kaus oblong hitam. 

Jokowi dua kali mengunggah pertemuan itu di akun Twitter resmi kepresidenan, tetapi Elon Musk belum membuat satu unggahan pun. 

Ini bukan bertepuk sebelah tangan. 

Mungkin Musk sekadar lupa mengunggah di Twitter yang sekarang sudah menjadi miliknya sendiri. (*)

Jangan Sampai Ketinggalan Video Pilihan Redaksi ini:


Redaktur : M. Kusdharmadi
Reporter : Cak Abror

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler