Dari survei SMRC, bila pemilu diadakan sekarang, maka Jokowi-Ahok unggul tipis dengan 45,6 persen. Sedangkan, Foke-Nara dipilih 44,2 persen. Sebanyak 10,2 persen responden yang lain masih tidak tahu atau tidak menjawab siapa gubernur dan wakil gubernur pilihannya.
"Dengan margin of error 4,5 persen, secara statistik kedua pasangan cenderung seimbang," kata Chief Executive Officer (CEO) SMRC Grace Natalie di Jakarta, kemarin (15/9).
Pengumpulan data survei SMRC itu dilakukan pada 7-11 September 2012. Menurut Grace, jarang ada pilkada seperti pilgub DKI Jakarta. Kurang dua minggu menjelang hari pemungutan suara, persaingan antar kandidat masih sangat dekat. "Memang akan menarik untuk ditunggu. Kami juga surprises hasilnya kok ketat banget," ujarnya.
Data yang dirilis SMRC itu menarik untuk dicermati, karena saat pilgub putaran pertama, selisih kemenangan Jokowi-Ahok atas Foke-Nara cukup signifikan. Pasangan Jokowi-Ahok meraup suara sebanyak 42,6 persen. Sedangkan, Foke-Nara yang sempat dijagokan menang satu putaran berada di posisi kedua dengan perolehan 34,05 persen. Jadi, terdapat selisih suara 8,55 persen.
Grace menambahkan, dukungan terhadap masing-masing kandidat saat ini juga relatif stabil. Sebanyak 78,8 persen responden menyatakan tidak mungkin mengubah pilihannya. Namun, di luar itu, masih terdapat 21,2 persen yang pilihannya masih mungkin berubah. "Ini perlu diperhitungkan," kata mantan presenter TV, itu.
Populasi survei SMRC adalah seluruh warga DKI Jakarta yang terdaftar sebagai pemilih dalam putaran kedua. Setiap TPS diambil 10 responden. Awalnya, jumlah sampel yang ditetapkan adalah 1.000 orang. Tapi, data yang dapat dianalisis hanya 501 responden. Jadi, terdapat 499 responden yang tidak berhasil diwawancari.
Dijelaskan oleh Grace, saat didatangi pewawancara dari SMRC, terdapat 224 responden yang sudah pindah rumah, 99 responden tengah tidak berada di rumah, 98 responden menolak, 73 responden tidak dapat diidentifikasi, dan 5 responden sudah meninggal dunia. "Banyak yang pindah alamat. Kalau ketahuan alamatnya di mana, masih kami kejar," kata Grace.
Apakah 73 responden yang tidak dapat diidentifikasi itu terindikasi sebagai pemilih fiktif? "Kami nggak berani bilang fiktif. Mungkin dulu pernah bikin KK atau KTP di sana, tapi terus nggak nongol kembali. Saat kami car informasi, responden itu tidak dikenal atau tidak diketahui oleh warga sekitar," jawab Grace.
Secara terpisah, proses debat cagub dan cawagub DKI Jakarta yang digelar Komisi Pemilihan Umum DKI pada Jumat (14/9) malam, memunculkan respons terhadap kemampuan dua calon. Pasangan Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama relatif memiliki kelebihan dibanding pasangan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli.
"Kesan emosional dari Fauzi Bowo-Nahrawi Ramli yang cukup kuat dibanding Jokowi-Basuki T. Purnama yang lebih landai dan apa adanya," ujar Masykurudin Hafiz, manajer pemantauan Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat di Jakarta, kemarin.
Menurut Masykur, Fauzi Bowo menyindir standar kemiskinan yang digunakan Jokowi berbeda dengan yang dibuat pemerintah pada umumnya. Sementara Jokowi menyindir Fauzi Bowo dengan data Pusat Pelaporan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK) tentang korupsi paling tinggi di Jakarta. Demikian juga debat sengit Nahrowi Ramli dan Basuki T. Purnama tentang pendidikan di Jakarta dengan anggaran besar tetapi kurang merata. "Momen proses sengitnya debat ini bagus untuk membangun dialektika antar pasangan calon," ujarnya.
Kedua, dalam menjelaskan visi misi dan proses debat, pasangan Jokowi-Ahok mengawali dengan memetakan persoalan yang terjadi di Jakarta, bahkan dengan gambar dan peta, lantas mengemukakan solusi yang ditawarkannya. Ini berbeda dengan pasangan Fauzi Bowo-Nahrowi Ramli yang kurang menjelaskan permasalahan Jakarta dan langsung membahas soal perencanaan serta program peningkatan pengelolaan Jakarta beserta indikatornya.
"Misalnya tidak ditunjukkannya praktik premanisme di Jakarta, tetapi langsung bagaimana menyelesaikannya menjadi modal Jokowi untuk menembak Fauzi Bowo," ujarnya. Hal itu menjadi keuntungan Jokowi yang memang orang baru dan calon dari luar daerah.
Dalam satu sesi, Fauzi Bowo juga memberikan pernyataan untuk tidak diganggu dalam menjawab pertanyaan dan menyela, sementara Jokowi diam ketika disela meskipun juga pernah memancing emosi lawan bicara.
"Jawaban Jokowi juga lebih sistemik-pemberdayaan, sementara Fauzi Bowo lebih kepada kepemimpinan yang kuat dan efektif. Keduanya sama-sama memiliki kelebihan dan kelemahan," tandasnya. (pri/bay/nw)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Jokowi Disawer Warga
Redaktur : Tim Redaksi