Jokowi dan Orang Hutan

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Kamis, 04 November 2021 – 14:26 WIB
Presiden Jokowi dan PM Palestina Mohammad Ibrahim Shtayyeh di sela-sela pelaksanaan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Pemimpin Dunia COP26 di Scottish Event Campus, Glasgow, Skotlandia, Senin (1/11). Biro Pers Sekretariat Presiden

jpnn.com - Menteri kesehatan bukan orang kesehatan, bukan dokter. Menteri pertahanan bukan orang tahanan, menteri pertanian bukan petani, menteri kehutanan bukan orang hutan.

Joke itu beredar luas waktu Presiden Jokowi tahun lalu mengumumkan reshuffle kabinet dan mengangkat Budi Gunadi Sadikin sebagai menteri kesehatan. Budi, sebagaimana publik mafhum, seorang bankir, bukan dokter dan tidak punya latar belakang kesehatan.

BACA JUGA: Presiden Jokowi: Saya Sangat Berharap Yang Mulia Menerima Undangan Ini

Prabowo Subianto yang menjadi menteri pertahanan jelas bukan orang tahanan. Dia pensiunan jenderal bintang tiga. Sahrul Yasin Limpo juga bukan petani yang mencangkul di sawah. Dia gubernur Sulawesi Selatan dua periode.

Siti Nurbaya Bakar, yang menjadi menteri kehutanan, tentu bukan orang hutan. Dia birokrat tulen yang lama berkarier di Departemen Dalam Negeri dan kemudian menjadi politisi Nasdem. Kemudian dia diangkat menjadi menteri kehutanan yang antara lain bertugas mengatasi kebakaran hutan, tentu bukan karena kebetulan nama belakangnya ‘’Bakar’’.

BACA JUGA: Presiden Jokowi Disambut Putra Mahkota MBZ, Siapa yang Mendampingi?

Kali ini Siti Nurbaya viral di media sosial karena pernyataannya yang heroik mengenai deforestasi atau penggundulan hutan. Bu Menteri menegaskan bahwa proyek pembangunan besar-besaran di Indonesia di era Jokowi ini tidak harus berhenti karena program deforestasi yang menargetkan nol emisi karbon pada 2050.

Presiden Jokowi yang mengikuti KTT PBB mengenai perubahan iklim (COP26) di Glasgow, Skotlandia, Senin (1/11), mengeklaim bahwa Indonesia sudah berhasil melakukan preservasi hutan dan angka kebakaran hutan sudah turun sampai 82 persen.

BACA JUGA: Presiden Jokowi, Bertindaklah!

Ini tentu pernyataan yang tidak kalah heroik. Seperti biasanya, Jokowi selalu berhasil mencuri panggung di event besar internasional. Sebelum ke Glasgow, Jokowi mengikuti konferensi negara-negara anggota G20 di Roma, Italia.

Jokowi menjadi perhatian karena Indonesia mendapat giliran menjadi presiden negara-negara ekonomi besar itu untuk masa kepemimpinan 2022.

Kehadiran Jokowi di Roma diekspos besar-besaran di dalam negeri. Jokowi digambarkan menjadi sosok sentral dalam pertemuan itu. Meskipun diketahui tidak piawai dalam berbahasa Inggris, tetapi Jokowi terlihat tidak canggung bercengkerama dengan Emmanuel Macron, Boris Johnson, Angela Merkel, dan tuan rumah Mario Draghi.

Publik tidak tahu apa yang diperbincangkan. Yang terlihat adalah Jokowi tetap memakai masker sementara lawan-lawan bicaranya tidak bermasker. Seperti biasanya, netizen Indonesia riuh rendah berkomentar.

Pendukung Jokowi menyebut Jokowi tetap konsisten menjaga prokes dengan tetap bermasker. Para pengkritik menyebut Jokowi memakai masker supaya tidak banyak omong karena tidak lancar berbahasa Inggris.

Pidato Jokowi di COP26 Glasgow mengenai prestasi penanganan kebakaran hutan Indonesia disiarkan luas di Indonesia dan diamplifikasi ramai-ramai di berbagai akun medsos.

Namun, klaim heroik Jokowi ini langsung mendapat sanggahan dari Greenpeace, organisasi aktivis lingkungan yang paling otoritatif di dunia.

Tidak tanggung-tanggung, Greenpeace Indonesia menyebut klaim-klaim Jokowi yang disampaikan di Glasgow adalah omong kosong. Perwakilan Greenpeace Indonesia M Iqbal Damanik mengungkapkan klaim Jokowi mengenai transisi energi, keberhasilan menurunkan angka kebakaran hutan dan lahan (karhutla), hingga target rehabilitasi 600 hektare mangrove atau hutan bakau pada 2024 mendatang, tidak didukung bukti.

Menurut Greenpeace, angka penurunan karhutla sampai 82 persen selama 2020-2021 tidak bisa dianggap sebagai keberhasilan Jokowi. Sebab, penurunan angka karhutla itu lebih banyak dipengaruhi faktor alam. Begitu pun, pada tahun-tahun sebelumnya. Angka Kerhutla menurun cukup tinggi ketika musim-musim basah, ketika curah hujan cukup tinggi. 

Biasanya setiap tahun Indonesia menjadi pengekspor asap terbesar di Asia Tenggara. Penerima ekspor asap terbesar adalah negeri jiran Malaysia yang berbatasan langsung dengan hutan-hutan Kalimantan dan Sumatera yang menjadi langganan kebakaran.

Singapura juga sering menjadi korban ekspor asap gratis dari Indonesia. 

Dalam setahun terakhir memang tidak terdengar kabar adanya ekspor asap gratis itu karena kebakaran hutan memang jarang terjadi. Jokowi mengeklaim penurunan sampai 80 persen itu sebagai prestasi.

Namun, Greenpeace menganggapnya sebagai kebetulan atau nasib baik. 

Apa pun, kebetulan atau nasib baik, yang jelas selama hampir dua tahun terakhir tidak ada kebakaran hutan, dan Jokowi boleh menepuk dada dan mengeklaimnya sebagai keberhasilan, meskipun Greenpeace tidak sependapat.

Greenpeace mengatakan memang laju penggundulan hutan turun, tetapi hal itu terjadi secara alamiah karena musim hujan yang sangat basah. Greenpeace tidak melihat ada intervensi kebijakan terhadap kebakaran hutan yang optimal dari pemerintah, dan karena itu keberhasilan ini tidak bisa diklaim sebagai keberhasilan Jokowi.

Greenpeace malah menganggap data-data yang disampaikan Jokowi sebagai data asal ambil seperti data tukang pulung. Data 'cherry picking' itu tidak menggambarkan situasi yang seutuhnya.

Karhutla masih banyak terjadi di konsesi-konsesi yang sama seperti di Sumatera Selatan dan Kalimantan Selatan. Kebakaran terjadi di titik yang sama sejak 2015.

Soal transisi energi, Greenpeace menganggap Jokowi belum memperlihatkan kesungguhan dalam implementasinya. Salah satu yang disoroti adalah penggunaan bahan bakar fosil dari batu bara.

Pemerintah Jokowi masih akan membangun 13,8 giga bahan bakar listrik dari bahan bakar batu bara. Padahal, dalam pidatonya Jokowi menyebut akan beralih ke energi baru terbarukan.

Kerusakan lingkungan akibat tambang batu bara menjadi problem serius di Kalimantan. Kolusi antara penguasa politik lokal dengan pengusaha batu bara memunculkan oligarki yang memonopoli bisnis pertambangan batu bara.

Permainan oligarki dan monopoli ini melibatkan elite-elite politik Jakarta dan beberapa menteri yang sekarang berada di pemerintahan Jokowi. Kasus korupsi yang menjerat mantan Bupati Kutai Kartanegara Rita Widyasari mengungkapkan bagaimana kolusi jahat antara penguasa lokal dengan elite politik nasional mengakibatkan kerusakan lingkungan yang serius.

Greenpeace Indonesia dengan gamblang mengungkapkan data-data itu dalam laporan berjudul ‘’Coalruption’’ yang dipublikasikan pada 2018. Beberapa nama elite politik seperti Aburizal Bakrie dan Luhut Binsar Panjaitan disebut dalam laporan itu.

Batu bara memang menjadi komoditas ekspor yang penting dan menjadi sumber pemasukan pembangunan yang sangat diandalkan. Namun, kerusakan lingkungan yang tidak diantisipasi sejak awal akan merusak hasil-hasil pembangunan itu.

Pembangunan fisik dan preservasi lingkungan bukan ‘’trade-off’ atau jual beli satu arah. Satu untung satu buntung. Keduanya harus berjalan seiring kalau mau mencapai sustainable development, pembangunan yang berkelanjutan.

Menteri Siti Nurbaya Bakar beda pendapat. Dia menyatakan pembangunan besar-besaran di era Jokowi tidak boleh berhenti atas nama emisi karbon ataupun deforestasi.

Target nol karbon pada 2030 (Net Carbon Sink 2030) tak bisa diartikan sebagai nol deforestasi.

Menurut Bu Menteri, tidak fair mengharuskan negara berkembang menghentikan emisi karbon nol persen yang dipatok pada 2050, karena itu bisa berarti menghentikan laju pembangunan. Negara-negara maju tidak boleh memaksakan standarnya terhadap negara yang sedang membangun.

Ketegangan ini akan terus terjadi. Bill Gates--pendiri Microsoft yang sekarang menjadi juru bicara kampanye lingkungan—mengatakan, tidak ada pilihan lain bagi warga dunia kecuali menghentikan total emisi karbon pada 2050.

Kalau ini tidak dilakukan, kata Gates, dunia akan menghadapi bencana besar. Ancaman itu dituangkan Gates dalam bukunya ‘’How to Avoid Climate Disaster’’ (2021). Tidak ada tawar menawar, emisi karbon harus nol pada 2050, atau dunia akan mengalami bencana dahsyat. (*)

Jangan Lewatkan Video Terbaru:


Redaktur : Adek
Reporter : Cak Abror

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler