jpnn.com, JAKARTA - Presiden Jokowi mengingatkan Direktur Perum Perhutani Denady M Mauna, agar perusahaan pelat merah yang dipimpinnya tidak memperlakukan masyarakat lebih parah dibanding kolonial.
Hal ini disampaikan Jokowi dalam sambutannya saat menerima perwakilan Gerakan Masyarakat Perhutanan Sosial Indonesia se-Pulau Jawa, di Istana Negara. Saat itu hadir juga Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar, hingga Kepala Kantor Staf Presiden Moeldoko.
BACA JUGA: Hutan Milik Perhutani di Lereng Gunung Sindoro Terbakar
Presiden awalnya meminta pelaksanaan program perhutanan sosial yang belum berjalan di lapangan, segera diselesaikan oleh kementerian dan BUMN terkait. Dia mengakui tidak mudah dalam praktiknya di level bawah, karena adanya birokrasi.
"Ini sudah zamannya kaya begini, jangan sampai lagunya masih lagu lama. Dirutnya mungkin tidak, tapi di bawahnya diselesaikan. Jangan sampai Perhutani masa lebih kolonial dari kolonial. Saya merasakan kok," ucap Jokowi.
BACA JUGA: Perhutani Kini Punya Direktur Baru
Oleh karena itu, mantan wali kota Solo itu ingin membicarakan persoalan ini secara langsung dengan dirut Perhutani. Apalagi sampai sekarang masih banyak konflik desa dengan BUMN tersebut.
"Saya mau bicara dengan Pak Dirut plus jajarannya. Karena di bawah yang saya lihat berbeda dengan yang kita bicarakan. Sekarang ini masih ada konflik desa dengan Perhutani, dengan PTP. Itu masih ada. Terakhir (informasi) yang saya terima masih ada 528 konflik desa," ungkap Jokowi.
BACA JUGA: Perhutani dan BNPB Bersinergi Tanggulangi Bencana
Pada forum itu, presiden meminta penyelesaiannya dilakukan secara maksimal oleh menteri terkait maupun dirut PT Perkebunan, Perum Perhutani agar menyelesaikan semua persoalan ini dalam waktu dua tahun.
"Sebelum dua tahun konflik itu harus rampung semuanya. Tidak ada Konflik lagi di dalam PTP, Perhutani. Ini selesaikan, pak, semua. Ini sudah berpuluh-puluh tahun. Ada masalah enggak bisa kita selesaikan, apa sih, bisa, saya yakin bisa," tegasnya. (fat/jpnn)
Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam