jpnn.com - JAKARTA - Rencana penggantian nama kementerian agama menjadi kementerian haji, zakat, dan wakaf oleh presiden terpilih Joko Widodo-Jusuf Kalla, dinilai tidak perlu dan kurang tepat.
Pasalnya, dengan memakai nama itu ada kesan persoalan agama di Indonesia hanya berkaitan dengan haji, zakat dan wakaf.
BACA JUGA: Menag Pastikan Tak Ada Jamaah Haji yang Terjangkit Ebola
"Padahal persoalan agama menyangkut hampir semua dimensi kehidupan, terutama bagaimana membumikan ajaran-ajaran suci agama di tengah masyarakat," ujar Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah, Saleh Partaonan Daulay, di Jakarta, Rabu (17/9).
Keberadaan kementerian agama, kata Daulay, bisa disebut wujud langsung implementasi sila pertama Pancasila. Walau negara tidak boleh mencampuri keyakinan agama seseorang, namun negara memiliki kewajiban memfasilitasi pengamalan ajaran agama yang diakui di Indonesia. Itu juga adalah bagian dari upaya pelayanan pemerintah kepada warga negara.
BACA JUGA: Diperiksa Untuk Jero, Sutan Dicecar Soal Pengawasan
"Pembangunan itu kan tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga bersifat rohani. Kebahagiaan masyarakat tidak hanya bisa diwujudkan dengan membangun infrastruktur semata, tetapi juga harus diimbangi dengan pembangunan rohani. Kalau dua hal ini timpang, kesejahteraan rakyat tentu sulit diwujudkan," katanya.
Selain itu, Daulay juga menilai penggantian nama menjadi kementerian haji, zakat, dan wakaf terkesan diskriminatif. Sebab haji, zakat, dan wakaf hanya ditemukan di dalam agama Islam.
BACA JUGA: Kita Wakafkan Lukman Hakim jadi Menteri Jokowi-JK
"Di kementerian agama itu ada Ditjen Bimas Islam, Ditjen Bimas Kristen, Ditjen Bimas Katolik, Ditjen Bimas Hindu, dan Ditjen Bimas Budha. Kalau namanya dirubah, kemana ditjen-ditjen tersebut akan ditempatkan? Masa ditempatkan di kementerian lain," katanya. (gir/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... KPK Pajang Gitar Bas Jokowi Pemberian Metallica
Redaktur : Tim Redaksi