jpnn.com, JAKARTA - Analis politik Pangi Syarwi Chaniago menilai sikap Presiden Jokowi yang marah di depan para menterinya dalam sidang kabinet paripurna 18 Juni lalu dan dibuka ke publik pada Minggu (28/6), justru mempertontonkan kegagalannya dalam memimpin.
"Yang dipertontonkan di ruang publik ibarat menepuk air di dulang, terpercik muka sendiri. Ini adalah dagelan politik yang agak memalukan. Saat yang sama sebetulnya presiden mengkonfirmasi, pengakuan atas kegagalannya dalam memerintah atau memimpin lewat kinerja menterinya yang inkompeten," ucap Pangi, Selasa (30/6).
BACA JUGA: Jokowi Marah, Fahri Hamzah: Siapa yang Menyiapkan Bahan?
Pengamat politik yang beken disapa dengan panggilan Ipang ini juga menilai apa yang dilakukan mantan gubernur DKI Jakarta itu sebagai upaya mencari kambing hitam demi menutupi kelemahannya sebagai presiden dalam menjalankan roda pemerintahan.
"Bagaimana mungkin kita bisa mahfum bahwa kegagalan pemerintahan tertumpu pada kelemahan pembantu presiden?" sambung Ipang.
BACA JUGA: Jokowi Memarahi Menterinya, Wanita Emas: Sangat Menyentuh Rakyat
Kemarahan pejabat di ruang publik menurutnya seringkali dijadikan sebagai alat politik.
Langkah ini, lanjutnya, juga bagian dari strategi menggeser perhatian publik yang tadinya tertuju pada kelemahan kepemimpinan seorang presiden, diarahkan pada kelemahan para pembantunya di kabinet.
BACA JUGA: Baim Wong: Satu Persen pun Gue Enggak Ada Pemikiran ke Sana
Direktur eksekutif Voxpol Center Research and Consulting itu pun menyampaikan pandangan bahwa item key performance indicator kegagalan pemerintah di tengah pandemi bisa dilihat dari persoalan bantuan sosial (Bansos), ketenagakerjaan, isu sosial seperti Pancasila vs PKI, dan masalah pengendalian penularan Covid-19.
Oleh karena itu, dia menyarankan ketimbang marah-marah di depan para menteri, akan jauh lebih berkelas bila mantan wali kota Solo itu langsung mengeksekusi para menteri yang dianggap tidak mampu bekerja optimal di masa krisis ini.
"Langsung saja lakukan reshuffle senyap berbasis kinerja, bukan lagi waktunya reshuffle berbasis bagi-bagi kue kekuasaan. Tetapi harus berbasis Key Performance Indicator (KPI) yang terukur bukan penilaian berdasarkan like or dislike, asumsi, pikiran liar, berdasarkan penilaian klaim semata," tutur Ipang.
Persoalannya, tambah Ipang, siapa yang menilai kinerja menteri? Apakah ada institusi resmi yang independen, misalnya seperti Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
"Apakah Pak Jokowi menilai sendiri kinerja menterinya berdasarkan bisikan orang kepercayaan? Alat ukurnya berbasiskan apa?' ujarnya.
Untuk itu, Ipang menyarankan supaya ke depan seorang presiden tidak perlu lagi marah-marah dan menguliti kinerja menterinya di depan publik. Sebab, itu sama saja membuka aib pemerintahan itu sendiri.
"Jauh lebih baik dan terhormat langsung saja di-reshuffle tanpa bising di ruang publik. Ngomel di depan menteri enggak menarik lagi dipertontonkan. Tidak zamannya menteri diceramahi pakai marah-marah segala," tandasnya. (fat/jpnn)
Video Terpopuler Hari ini:
Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam