jpnn.com, JEMBER - Presiden Jokowi telah menunjuk 12 orang sebagai wakil menteri di Kabinet Indonesia Maju, Jumat (25/10).
Menurut Direktur Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (Puskapsi) Fakultas Hukum Universitas Jember Dr Bayu Dwi Anggono, pengangkatan wakil menteri yang banyak di awal masa jabatan Kabinet Indonesia Maju mengingkari Undang-Undang Nomor 39 tahun 2008 tentang Kementerian Negara.
BACA JUGA: Presiden Jokowi Mengaku Disodori 300 Nama Calon Menteri
"Pada pasal 10 UU Kementerian Negara menyebutkan pengangkatan wakil menteri sifatnya adalah fakultatif yaitu dalam hal terdapat beban kerja yang membutuhkan penanganan secara khusus maka Presiden dapat mengangkat wakil menteri pada Kementerian tertentu," katanya di Kampus Universitas Jember, Jawa Timur, Sabtu (26/10).
Bayu mengatakan, untuk dapat mengetahui apakah suatu kementerian membutuhkan wakil menteri tentunya baru dapat diketahui setelah berjalannya kabinet dalam jangka waktu tertentu yaitu ketika kabinet telah bekerja.
BACA JUGA: Tito Karnavian Mendapat Kejutan dari Prajurit TNI dan Polri di Wamena
"Apabila hasil evaluasi presiden diketahui bahwa beban kerja menteri tertentu dalam rangka mencapai target yang ditetapkan oleh presiden ternyata sudah berlebihan, maka baru perlu didukung adanya wakil menteri," ucap pakar hukum tata negara itu.
Dikatakan Bayu, tujuan awal pengangkatan wakil menteri di suatu kementerian tersebut untuk meringankan beban kerja berlebihan dari satu menteri di kementerian tertentu, sehingga seluruh target presiden di kementerian tersebut dapat tercapai tepat waktu.
BACA JUGA: Tito Karnavian Ungkap Penugasan Paling Menyenangkan Selama Berkarier di Polri
"Pengisian jabatan wakil menteri secara besar-besaran ketika kabinet baru terbentuk adalah kebijakan yang patut untuk dikritisi mengingat dalam sistem Presidensial di UUD 1945 menyebutkan menteri yang berkedudukan sebagai pembantu presiden dalam menjalankan pemerintahan," tuturnya.
Bayu menjelaskan pengangkatan wakil menteri secara besar-besaran di awal pembentukan kabinet juga lebih kental nuansa bagi-bagi kekuasaan dibandingkan kebutuhan untuk memperkuat kinerja pemerintahan.
Hal itu terkonfirmasi karena wakil menteri yang diangkat presiden mayoritas adalah dari parpol pendukung dan relawannya saat Pilpres, padahal tujuan awal pembentuk UU Kementerian Negara yang mengatur jabatan wamen adalah diproyeksikan untuk kalangan profesional, mengingat jabatan menteri diasumsikan mayoritas sudah diisi oleh kalangan parpol.
"Kebijakan Presiden Jokowi itu merupakan bentuk inkonsistensi atas janji pemerintahan yang sederhana, ramping, namun kaya fungsi dan bekerja cepat," ujarnya.
Diingatkan Bayu bahwa Presiden Joko Widodo sendiri dalam pidato pelantikannya pada 20 Oktober 2019 menyampaikan perlu dilakukan penyederhanaan birokrasi secara besar-besaran karena birokrasi yang ada saat ini dianggap terlalu gemuk.
Bahkan Jokowi juga menyatakan eselonisasi harus disederhanakan dari 4 eselon cukup menjadi 2 level eselon saja.
"Pengangkatan wamen secara besar-besaran juga menyimpan bom waktu mengingat keberadaan wamen tidak selalu akan berkorelasi dengan peningkatan kinerja suatu kementerian, justru berpotensi menimbulkan matahari kembar kepemimpinan di suatu kementerian, apalagi jika menteri dan wamennya berasal dari parpol yang berbeda," katanya.
Alih-alih mengefektifkan kinerja kementerian, lanjut dia, adanya persaingan perebutan pengaruh antara menteri dan wamen justru membahayakan soliditas cabinet.
Dia memprediksi, Presiden Jokowi bakal sibuk dan kehabisan waktu untuk mengurus konflik dalam kabinet dibandingkan fokus melayani kepentingan publik. (antara/jpnn)
Redaktur & Reporter : Soetomo