jpnn.com - JOKO Waluyo sosok yang pantang menyerah. Bangkrut dari usaha kuliner, dia bangkit lagi dan kini mulai memanen sukses dengan usaha barunya: bisnis makanan keliling dengan food truck.
BAYU PUTRA, Jakarta
BACA JUGA: Lokal Keren Jatim, Upaya BRI Dorong UMKM Tembus Pasar Dunia
6 JUNI 2012. Tanggal itu masih diingat Joko Waluyo. Sebab, pada tanggal itu dia harus menutup gerai makanan khas Meksiko yang dirintisnya di kawasan Kemang, Jakarta Selatan.
Penyebabnya, pemilik bangunan menaikkan sewa dari Rp 60 juta menjadi Rp 85 juta per tahun. Itu pun sewanya minimal tiga tahun. Biaya itu dinilai sangat mahal dan tidak terjangkau kantongnya.
BACA JUGA: Ibas Salurkan BPUM Demi Mendukung UMKM Makin Maju Saat Pandemi
’’Jujur, sejak itu saya bangkrut,’’ tuturnya di sebuah resto di Mall Cilanda Town Square, Jakarta Selatan, Senin (26/12).
Meskipun demikian, Joko tidak langsung menutup usahanya. Dia terus berpikir untuk mendapatkan ide berbisnis yang benar-benar ’’baru’’.
BACA JUGA: UMKM Kepri dan Johor Malaysia Jajaki Peluang Bisnis di Masa Pandemi
Tidak seperti yang sudah ada. Maka, ketemulah ide bisnis makanan keliling menggunakan konsep food truck.
Dari mana Joko mendapatkan ide food truck? Rupanya, itu buah petualangannya di Amerika Serikat selama lima tahun, 1998-2002. Dia pernah bekerja sebagai bartender di Disney World.
Namun, saat kontraknya habis, dia menjadi pendatang gelap di AS. Sebab, saat itu izin tinggalnya juga habis.
Dia berpindah-pindah tempat tinggal di empat negara bagian: Georgia, South Carolina, North Carolina, dan terakhir di Florida.
Dari situlah, Joko yang berpendidikan terakhir SMA itu mengenal bisnis food truck. Namun, dia sendiri tidak pernah bekerja di food truck.
Dia bekerja di sebuah restoran Tiongkok dengan konsep cart atau gerobak. Ilmu mengenai food truck dia dapatkan dari membaca buku.
’’Ada buku-buku panduan untuk memulai bisnis ini,’’ tuturnya.
Berbeda dengan pedagang makanan dalam kendaraan pada umumnya, Joko menerapkan konsep food truck sebagaimana yang dia dapati saat masih bekerja di Amerika Serikat. Mulai proses memasak hingga menghidangkannya, semua dilakukan di dalam mobil.
Bermodalkan tabungan Rp 40 juta, dia langsung berburu kendaraan di toko online. Dia akhirnya mendapatkan sebuah VW Combi keluaran 1980.
’’Kendaraannya sudah busuk. Remnya blong, surat-surat mati,’’ kenang pria 46 tahun itu.
Mobil butut itu lalu didandaninya. Joko meminta bantuan seorang kawan yang ahli las untuk memotong mobil itu. Lalu merangkainya sedemikian rupa seperti yang diinginkan.
Dia juga meminta tolong pada kawan lainnya yang ahli desain grafis untuk membuatkan logo. Joko melengkapi bagian belakang mobil itu dengan berbagai peralatan dari bekas gerai makanannya.
Menunya tetap sama seperti yang dia jual di gerainya dahulu. Hanya, karyawan yang dia pangkas dari sembilan menjadi tiga orang untuk menghemat biaya.
Joko juga mendapat tempat mangkal yang strategis di bekas SPBU di kawasan Jakarta Selatan. Dari situlah usahanya berkembang bersama lima wirausahawan lain yang juga merintis food truck dalam waktu yang hampir bersamaan. Mereka sering bertemu dan berjualan bareng-bareng.
Seperti diduga, perkembangan food truck cukup pesat. Para pemain baru bermunculan. Setelah jumlahnya banyak, Joko cs membentuk Asosiasi Food Truck Indonesia (AFTI) pada 9 Desember 2012, dengan anggota 50 pengusaha.
Joko ditunjuk menjadi chairman. Sejak itu Joko sering diundang ke berbagai kota untuk berbagi ilmu soal usaha food truck.
Usaha Joko terus berkembang. Tempat usahanya dalam waktu singkat bertambah, dua VW Combi dan dua Daihatsu Gran Max. Dia kemudian membawa dua Combi-nya ke Bali, mencoba peruntungan di sana.
Namun, sampai sekarang Bali belum bisa ditaklukkan. Karena itu, dia selalu berpesan kepada anggotanya yang hendak melebarkan sayap untuk mengenali daerah ’’jajahan’’ baru itu.
’’Lihat tren di sana seperti apa. Kenali pula psikologi masyarakatnya,’’ jelas alumnus SMAN 79 Jakarta itu.
Selain mangkal, Joko juga kerap diundang berjualan di berbagai event. Namun, dia mengingatkan agar pengusaha food truck tidak mengandalkan event saja. Yang utama adalah jualan reguler.
Suami Febri Mutia, 41, itu membuat rumus khusus dalam berbisnis lewat food truck. Yakni rumus PEPS (product, equipment, people, dan system).
Dia juga memperhatikan detil, khususnya pada sektor keselamatan. Dia selalu merekomendasikan agar setiap food truck memiliki minimal satu alat pemadam api ringan (APAR) berukuran tiga liter. Begitu pula dengan sistem kelistrikan.
’’Kalau peralatanmu menggunakan listrik 1.000 watt, boleh nggak pakai kabel yang untuk 200 watt? Nggak boleh, kan,’’ tambah dia.
Faktor keselamatan menjadi penting karena akan berpengaruh kepada reputasi food truck. Dia membuat analogi, bila salah satu restoran di sebuah mall terbakar, orang akan tetap pergi ke mall dengan mengunjungi restoran lain.
’’Tapi kalau food truck kita yang terbakar, apa iya orang masih percaya untuk makan di food truck?’’
Joko memilih makanan luar negeri sebagai menu untuk food truck miliknya. Alasannya sederhana. Bila dia berjualan makanan Indonesia, hampir pasti dia akan kalah dengan warung atau restoran yang sudah punya tempat permanen. Selain itu, dalam hal penyajian, dia juga harus berkejaran dengan waktu.
Joko menyebut, umumnya food truck menjual makanan sekunder. Itu adalah makanan yang tidak setiap hari dikonsumsi. ’’Orang beli, lalu mungkin seminggu kemudian baru beli lagi,’’ terangnya.
Khusus makanan yang dijualnya, dia sudah menyesuaikan dengan lidah orang Indonesia. Misalnya, dalam hal rasa pedas. Orang Indonesia lebih suka pedasnya cabai ketimbang merica atau paprika.
Makanan yang dia jual meliputi makanan dari AS dan Meksiko, seperti Taco, Burrito, dan sejenisnya.
Sebab, hanya jenis makanan itu yang bisa dia masak. Belum lama ini dia mulai mencoba membuat menu makanan asal Vietnam. Tapi, belum di-launching, masih dipromosikan.
Dia mengingatkan, food truck juga memiliki keterbatasan. Dalam sehari, jumlah porsi terbanyak yang bisa dibawa satu food truck sebanyak 150 porsi.
Itu untuk food truck berukuran besar. ’’Kalau Gran Max bisa 70 porsi,’’ tutur Joko yang mengaku pernah melayani 700 porsi dan membuat food truck-nya overload.
Harga makanan juga harus diperhitungkan. Tidak boleh terlalu mahal bila tidak ingin ditinggal pembeli. Misalnya, di tempat Joko berjualan saat ini, di kampus Universitas Indonesia.
Maka, dia mesti menyesuaikan dengan kantong mahasiswa di kisaran Rp 15-25 ribu per porsi.
’’Kalau mahal-mahal, bangkrut lagi deh,’’ tandas ketua Komunitas Food Truck Jakarta (KFJ) ini. (*/ari)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Wakil Ketua MPR Berharap Holding BUMN UMi Tingkatkan Daya Saing UMKM
Redaktur : Tim Redaksi