Jumlah Anak Nakal Turun, Kualitas Kenakalan Naik

Jumat, 03 Januari 2014 – 14:57 WIB

jpnn.com - SURABAYA - Tindak pidana yang dilakukan anak-anak di Surabaya pada 2013 menurun. Data itu yang ter-cover Balai Pemasyarakatan (Bapas) Kelas I Surabaya. Hingga akhir tahun lalu, "hanya" ada 442 anak yang menjadi klien bimbingan bapas. Padahal, tahun sebelumnya jumlah anak nakal yang ditangani bapas lebih dari 500 anak. 

Kasi Bimbingan Klien Anak Bapas Kelas I Surabaya Tri Pramoedjo mengakui, jumlah anak-anak yang melakukan kejahatan berkurang. Tapi, kualitas kejahatannya meningkat. "Dulu anak-anak yang melakukan pelanggaran terhadap UU Perlindungan Anak sangat sedikit. Sekarang mencapai 45 orang," ungkapnya.

BACA JUGA: Nelayan Laporkan ada Surat KM Alken Mengapung di Laut

Sebagian besar anak yang melanggar undang-undang itu diadili karena melakukan pelecehan seksual atau pencabulan. Bahkan, ada di antara mereka yang melakukan hubungan badan dengan temannya yang juga anak-anak. Yang tega mencabuli balita pun ada. 

Karena itu, lanjut Tri, meski jumlah kenakalan anak menurun, kualitas kejahatan anak-anak masih bikin miris. Sebab, pada tahun-tahun sebelumnya, jarang ada anak yang melakukan tindak pidana terkait dengan seksual. "Untuk perkara pencurian, tetap tinggi jumlahnya, mencapai 236 anak. Disusul tindak pidana pengeroyokan," katanya. 

BACA JUGA: TNI AL Bakal Turunkan Kapal Perang Jenis Patroli

Bukan hanya jenis tindak pidana yang meningkat, dari sisi usia, pelaku tindak pidana anak-anak kini makin muda. Jika dulu jarang ditemui anak usia pelajar sekolah dasar (SD) yang dipidanakan, sekarang justru banyak yang disidang. Setidaknya sudah ada enam anak yang menjadi klien bapas dengan umur 11 dan 12 tahun. 

Lebih memprihatinkan lagi, anak-anak yang belum dewasa tersebut menjadi residivis. Mereka melakukan tindak pidana hingga dua, bahkan tiga kali. Misalnya, yang dialami Aldo (bukan nama asli). Bocah 12 tahun itu setidaknya sudah menjalani sidang dua kali. "Dua-duanya karena kasus pencurian," ucap Tri. 

BACA JUGA: Jika Normal Waktu Layar Surabaya-Sampit Hanya 36 Jam

Dalam tindak pidana tersebut, Aldo harus menjalani hukuman di balik jeruji besi. Meski masih kecil, hakim tetap memberikan hukuman badan untuknya dengan total sekitar lima bulan. Tindak pidana yang pertama dua bulan dan kedua sekitar tiga bulan. "Ternyata, hukuman pertama tidak membuat jera," lanjut Tri. 

Ketidakjeraan pelaku anak-anak saat di bui itu merupakan bukti bahwa penjara tidak akan menyelesaikan masalah bagi anak yang terlibat kejahatan. Sebab, di dalam penjara, bukan tidak mungkin mereka justru belajar dan menimba ilmu kejahatan dari tahanan dewasa. Hingga saat bebas, dia tetap berani melakukan tindakan melawan hukum. Bahkan, dengan kualitas yang lebih tinggi. 

Karena itu, Tri menyatakan bahwa seharusnya tidak semua anak yang melakukan kejahatan dipenjara. Tapi, mereka diberi hukuman dengan dikembalikan kepada orang tua. Bisa juga ada jalan damai antara pelaku anak dan korban untuk menghentikan perkara. 

Soal faktor yang membuat anak melakukan tindak pidana hingga saat ini masih banyak. Di antaranya, lingkungan dan latar belakang keluarga. Banyak anak yang terjerumus melakukan kejahatan karena kurang kasih sayang. Misalnya, dari keluarga broken karena orang tua bercerai. Itu dialami Agus (nama samaran). Terpidana anak-anak termuda dengan usia 11 tahun tersebut terpaksa menjadi pencopet karena hidup terpisah dari kedua orang tua. (may/end/mas)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Dua Kapal Tujuan Surabaya-Sampit Menghilang di Lautan


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler