Seli Aisyah menyesali keputusannya untuk mengunjungi rumah orangtuanya di Bogor minggu lalu, meski sudah dilarang oleh suami dan kakak kandungnya.
Karena mengaku "bandel", ia dan keempat anaknya, termasuk yang baru berusia satu setengah tahun, dinyatakan positif COVID-19.
Sudah sembilan hari lamanya ia dan keluarganya melakukan isolasi mandiri di rumah.
"Hari Selasa, anak saya tiga orang panas, batuk, pusing, sudah tidak berdaya. Anak-anak mengeluh sakit, saya tidak berdaya mengurus mereka," katanya kepada ABC Indonesia.
BACA JUGA: Tak Perlu Khawatir, Ini Bedanya COVID-19 dengan Flu Biasa
Seli yang sudah sejak dua tahun terakhir menjadi ibu rumah tangga sejak melahirkan, juga harus berbagi tabung oksigen dengan anaknya.
"Selangnya satu orang satu, tabungnya ada dua," ujar Seli, yang kadang merasa tak punya tenaga untuk menanggapi keluhan anak-anaknya.
BACA JUGA: Mohon Doanya, Gubernur Kaltara dan Istri Positif COVID-19
"Di balik selimut cuma nangis, karena saya tidak bisa mengambil mereka minum, enggak bisa apa-apa, saya cuma nangis, berdoa."
Anak-anak Seli merupakan empat dari hampir seperempat juta anak Indonesia yang telah terkena COVID-19 sejak awal pandemi COVID-19.
Begitu juga dengan cerita Widya Karmida, seorang warga kota Bandung.
Anaknya yang berusia lima tahun terpapar virus corona hingga harus masuk rumah sakit.
Ia menduga tertular dari sepupunya yang tidak bergejala tapi pernah berkunjung ke rumahnya.
Saat itu anak sepupunya terlihat lemas, tapi hanya dikatakan "sedang tidak enak badan." Baru beberapa hari kemudian ia mendapat kabar jika sepupu dan keponakannya tersebut positif COVID.
Widya mengatakan ia tidak langsung melakukan tes COVID untuk anaknya, sampai anaknya mengalami demam dan sesak nafas beberapa hari kemudian dan langsung dibawa ke rumah sakit.
"Saya bersyukur sekali bisa mendapatkan kamar di rumah sakit yang saat itu banyak yang sudah penuh," ujar Widya.
"Melihat anak saya bernafas dengan ventilator benar-benar jadi pengalaman terburuk." Tidak lagi menyalahkan orangtua
Dari data resmi yang dirilis Juni 2021, bisa terhitung jumlah kategori anak yang sudah terinfeksi COVID-19 di Indonesia mencapai 250.000, atau sekitar 12,6 persen dari total keseluruhan kasus yang tercatat.
Tingkat kematian anak akibat COVID-19 sudah mencapai angka 676, atau 1,2 persen dari total kematian keseluruhan.
Lebih tragisnya lagi, 50 persen dari anak yang meninggal karena COVID-19 berusia dibawah lima tahun, menurut data Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI).
"Penyebabnya adalah kegagalan kita dalam menjaga anak yang menyebabkan anak tertular COVID," kata Dr Aman Pulungan, ketua pengurus pusat IDAI.
Widya mengaku jika ia selalu mengikuti protokol kesehatan, namun tidak pernah menyangka kedatangan tamu, seperti sepupunya bisa membawa virus ke rumahnya.
Kini kondisi Widya dan anaknya sudah pulih dan ia mengaku semakin berhati-hati, termasuk tak mau lagi menerima tamu.
"Kalau sekarang melihat kembali apa yang terjadi di rumah sakit, saya bersyukur sekali anak saya bertahan."
"Saya bilang ke dia saat itu, 'maafkan ibu, maafkan ibu ya nak, bertahanlah, kamu bisa."
Dokter Aman mengaku khawatir dengan jumlah kasus COVID-19 di Indonesia yang meningkat, meski sudah sejak awal pandemi ia memperingatkan jika anak-anak pun berisiko tertular.
Ia mengatakan hingga Senin kemarin sebanyak 11.871 anak di Indonesia positif COVID-19 dalam seminggu.
"Mengkhawatirkan karena jumlahnya meningkat," kata dr Aman
"15 sampai 20 persen, atau seperlima dari kasus butuh perawatan … kita tidak punya bed sebanyak itu untuk anak."
Tapi meski kasus COVID-19 telah meningkat dalam beberapa bulan terakhir, dr Aman mengatakan orangtua masih membawa anaknya keluar dan membuat mereka berisiko tertular virus corona.
"Kita membawa mereka ke keramaian. Orangtua membawa anak-anaknya ke restoran, ke mall, mudik, dibawa liburan."
Tapi dr Aman mengatakan ini bukan sepenuhnya kesalahan orangtua.
"Saya tidak lagi menyalahkan orang tua, tapi sistem kita secara sosial, komunitas kita bisa dibilang sudah telat."
"Tingginya kematian ini karena penanganannya suboptimal, rumah sakit overload, lalu ada kesenjangan antara penyediaan testing, sehingga kita tidak bisa mendeteksi lebih dini."
"Komunitas kita itu menomerduakan anak, saya bisa bilang, buktinya, bandara tidak mau melakukan swab pada anak, tidak menyuruh anak memakai masker."
"Jadi tolonglah kalau tidak ada urusan mendesak, diam di rumah sajalah," kata dr Aman.
"Tidak ada seorang pun yang aman sampai semua orang aman." Waspadai 'long COVID' pada anak
Di Yogyakarta, dr Kurniawan Satria Denta, dokter anak di RSUP Dr. Sardjito juga menerima semakin banyak pasien anak yang terkena COVID-19.
"Tahun lalu pasien anak bisa dihitung jari, tidak begitu banyak. Tapi semakin ke sini, semakin full," kata dr Denta.
"Termasuk anak-anak dan bayi. Balita makin banyak lagi."
Dr Denta mengatakan kebanyakan pasiennya tertular dari orangtua atau orang lain yang tinggal serumah dengan mereka, namun harus tetap beraktivitas di luar.
"Akhir-akhir ini, mungkin karena [aturan] sudah loose [tidak ketat] banget ya, sebulan dua bulan terakhir. Karenanya, bayi dibawa ke luar," ujarnya.
Bahkan ketika beberapa anak usia sekolah sudah negatif COVID-19, mereka masih mengalami gejala lanjutan, sehingga harus kembali berkonsultasi ke dr Denta.
"Mereka jadi gampang capek, fokusnya kurang, apalagi kan sekolah online," kata dr Denta.
"Kalau misalnya gejalanya sampai bertahun-tahun, kan takutnya mengganggu pertumbuhan dan perkembangan anak."
Dokter Aman mengatakan dampak jangka panjang pada anak akibat 'long COVID' ini menjadi alasan mengapa orangtua harus melindungi mereka dari paparan COVID-19.
"Enam sampai delapan bulan anak bisa mengalami long COVID, dia bisa lemas, sesak, sulit konsentrasi, rambutnya rontok, nyeri otot," ujar dr Aman.
"Nah kebanyakan orang tidak berpikir jauh ... jadi tidak ada alasan lagi untuk tidak melakukan testing pada anak."
"Banyak kasus tidak terdeteksi karena kurangnya ketersediaan pemeriksaan dan tidak mau mentesting anak sesegara mungkin, juga tidak ada transparansi data, karena dashboard data pemerintah ini tidak memuat data penularan anak," jelas dr Aman. Apakah vaksinasi jalan keluarnya?
Sejauh ini, 13 juta dari 286 juta warganegara Indonesia sudah divaksinasi dosis kedua.
Kementerian Kesehatan mengatakan bahwa tertanggal 27 Juni 2021, anak yang berusia 12 hingga 17 tahun dapat menerima vaksin Sinovac 0,5 ml sebanyak dua kali dengan interval minimal 28 hari.
Dokter Denta mengatakan usaha vaksinasi ini akan menjadi "upaya pencegahan yang cukup", terutama bagi remaja yang sedang aktif-aktifnya.
"Nanti kalau misalnya sudah masuk sekolah, bertatap muka dengan orang lain, berinteraksi dengan orang lain, kita harus ngasih modal untuk bisa beraktivitas nantinya. Vaksin itu jadi salah satu usahanya," kata dr Denta.
"Alasan lain kenapa divaksin sebenarnya supaya enggak nularin sama orang-orang yang lain," ujarnya.
Dokter Aman mengatakan salah satu hal terpenting untuk mencegah anak tertular COVID-19 adalah perubahan perilaku.
"Ketika kita abai, ketika anak tidak ditesting, anak tidak pakai masker, anak dibawa ke keramaian dan orangtuanya abai, orangtuanya lengah tidak mau mengikuti protokol, ini kejadian terus, mau varian apa saja."
Dari apa yang sedang dialaminya bersama empat anaknya yang tertular COVID, Seli mengajak semua orang untuk tetap di rumah demi melindungi keluarga.
"Yang jelas [saya akan] lebih overprotektif ke kesehatan, lebih percaya COVID ada," katanya.
"Dulu awal-awal tahun pertama saya ketakutan sama COVID, saya parno banget," ujarnya.
"Tapi lama-lama jemu juga, jadi saya kadang pakai masker, kadang enggak, kadang pakai hand sanitiser, kadang enggak," tambahnya.
"Sekarang sudah kena gini, saya akan menjaga lagi seperti awal-awal lagi." Baca beritanya dalam Bahasa Inggris
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pemkot Surabaya Buka Lowongan Untuk Sukarelawan RSLT Kedung Cowek