jpnn.com, JAKARTA - Belakangan ini banyak muncul masalah akibat tulisan yang terbit di media massa. Tulisan itu belakangan ternyata salah. Padahal, kesalahan itu menyangkut nama baik dan kredibilitas seseorang.
Misalnya penulisan kalimat seperti ini: ‘’Dahnil menerima dana Rp 2 miliar dari Kemenpora.’’
BACA JUGA: Pesan Penting Pak JK Untuk Jurnalis
Secara tata bahasa, kalimat itu benar. Tapi, secara fakta, apakah kalimat itu betul?
Berdasarkan klarifikasi Dahnil, yang menerima dana Rp 2 miliar adalah PP Pemuda Muhammadiyah. Bukan pribadi Dahnil. Rekening yang digunakan menampung dana juga rekening PP Pemuda Muhammadiyah. Bukan rekening pribadi Dahnil.
Seharusnya, berita itu ditulis begini: ‘’PP Pemuda Muhammadiyah menerima dana dari Kemenpora sebesar Rp 2 miliar.’’
Di sinilah perlunya ilmu tata bahasa dalam mekanisme cross check sebagai bentuk kehati-hatian penulis.
Ada lagi yang menulis seperti ini: ‘’Dahnil telah mengembalikan dana Kemenpora sebesar Rp 2 miliar sebelum pemeriksaan dirinya sebagai saksi.’’
Kalimat ini secara tata bahasa tidak salah. Tetapi secara fakta, apakah benar demikian?
Berdasarkan klarifikasi Dahnil, yang mengembalikan dana bukanlah dirinya, melainkan PP Pemuda Muhammadiyah. Bukan dari rekeningnya, melainkan dari rekening PP Pemuda Muhammadiyah.
Seharusnya, berita itu ditulis begini: ‘’PP Pemuda Muhammadiyahmengembalikan dana Rp 2 miliar ke Kemenpora sebelum Dahnil diperiksa sebagai saksi.’’
Di sinilah manfaat ilmu tata bahasa untuk menjalankan prosedur cross check sebagai bentuk kehati-hatian penulis.
***
Sedihnya, tidak semua wartawan memiliki kemampuan tata bahasa Indonesia yang baik. Contoh sederhananya, membedakan cara menulis kata kerja pasif dan keterangan tempat saja tidak bisa.
Buruknya kemampuan tata bahasa ini sebenarnya sangat mengherankan. Karena pelajaran Bahasa Indonesia diperoleh sejak masih sekolah dasar.
Bagaimana cara mereka bisa mendapat ijazah hingga sarjana? Bukankah mereka harus lulus ujian nasional? Bukankah mereka harus menulis skripsi? Apakah boleh skripsi ditulis dengan tata bahasa yang amburadul? Apakah untuk menjadi wartawan di sebuah media tidak melalui testing?
Pengalaman saya di ‘’Jawa Pos’’, untuk menjadi wartawan harus lulus testing. Salah satu materi testingnya adalah menulis berita dengan tata bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Setelah lulus testing, saya mendapat sebuah buku kecil. Isinya, pedoman penulisan berita ‘’Jawa Pos’’ sesuai dengan tata bahasa Indonesia yang baik dan benar. Buku saku itu menjadi ‘’babon’’ untuk semua wartawan.
Awalnya, saya mengira buku itu hanya untuk wartawan baru. Ternyata wartawan senior pun masih menaruh buku mungil itu di meja kerjanya. Kalau bukunya hilang, sekretaris redaksi akan memberikan lagi. Gratis.
Namun, wartawan yang sudah menguasai ilmu tata bahasa, kadang juga masih salah menulis. Yang parah, kalau salah tulis itu karena ‘’masuk angin’’.
Berita ‘’masuk angin’’ itu sebenarnya mudah dideteksi, karena seperti kentut. Walau tidak ada suaranya, tapi baunya yang minta ampun itu mudah tercium banyak orang.
Agar tidak dirugikan oleh ulah wartawan yang gampang ‘’masuk angin’’, manajemen redaksi media tersebut harus menerapkan kode etik jurnalistik dengan ketat agar ruang redaksi bebas bau kentut. (*)
Penulis adalah wartawan senior
Redaktur : Tim Redaksi