Juru Dengar Jokowi

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Senin, 01 November 2021 – 10:58 WIB
Presiden Joko Widodo (Jokowi). Foto: arsip JPNN.com/Ricardo

jpnn.com - Juru bicara kepresidenan Fadjroel Rachman sudah menjadi duta besar Kazakhstan. Posisi jubir pun lowong, dan orang banyak memperbincangkan siapa yang pantas menjadi jubir presiden menggantikan Fadjroel.

Selama beberapa watu menjadi jubir, peran Fadjroel tidak terlalu menonjol, bahkan cenderung datar-datar saja. Malah dalam beberapa kasus Jokowi sering terpeleset lidah karena salah omong.

BACA JUGA: Erdogan Bakal ke Indonesia, Presiden Jokowi: Saya Menantikan Kunjungan Yang Mulia

Salah satu yang masih diingat publik adalah kasus ‘’bipang Ambawang’’, babi panggang yang dipromosikan oleh Jokowi untuk menjadi oleh-oleh lebaran.

Jokowi juga kepeleset lidah ketika menyebut Kota Padang sebagai Provinsi Padang, padahal yang dimaksud adalah Provinsi Sumatera Barat.

BACA JUGA: Hebat, Presiden Jokowi Segera Sandang Jabatan Bergengsi Kelas Internasional

Tentu selip lidah itu tidak bisa ditudingkan sebagai kesalahan jubir, tetapi setidaknya insiden itu menunjukkan ada yang salah dalam pola kerja tim komunikasi presiden.

Jokowi memang tidak punya keterampilan komunikasi politik yang mumpuni. Cenderung lambat dan kurang tangkas menjawab pertanyaan wartawan. Karena itu kemudian ditunjuk seorang jubir untuk membantunya.

BACA JUGA: Posisi Jubir Presiden Masih Kosong, Begini Harapan Demokrat

Namun, efeketivitas jubir pun menjadi sorotan karena tidak banyak membantu memperbaiki komunikasi politik kepresidenan. Posisi ini pun dianggap sebagai wadah untuk penampungan para timses sebagaimana posisi komisaris BUMN.

Jabatan jubir hanya dianggap sebagai jabatan seremonial dan malah hanya menjadi batu loncatan untuk jabatan politik selanjutnya.

Fadjroel yang semasa menjadi aktivis mahasiswa terkenal tangkas dan cakap dalam berargumentasi sekarang lebih sering terlihat gagap dan gagu ketika menjadi jubir presiden.

Ia lebih sering defensif karena lebih sering harus menangkis serangan kepada presiden daripada menjelaskan gagasan-gagasan presiden.

Karena itu ketika jabatan ini lowong publik mempertanyakan apakah perlu diisi atau tidak. Sejumlah nama pun dimunculkan, mulai dari Febri Diansyah, mantan jubir Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sampai Fachri Hamzah, politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang sekarang menyeberang menjadi wakil ketua Partai Gelora.

Saat publik ramai memperbincangkan siapa yang pantas jadi jubir presiden, muncul ide dari Anita Wahid, putri almarhum Gus Dur, agar presiden tidak hanya punya juru bicara tapi juga punya juru dengar.

Almarhum Gus Dur sangat terkenal dengan ide-idenya yang segar meskipun sering terdengar nyeleneh. Rupanya hal itu menurun kepada putri-putrinya. Usulan Anita itu tidak lazim, agak nyeleneh, tetapi cukup segar.

Di seluruh dunia tidak ada presiden yang punya juru dengar. Kalau ide ini diterima Jokowi maka ia menjadi presiden pertama di dunia yang punya juru dengar.

Menurut Anita Wahid, Jokowi tidak hanya membutuhkan jubir, tetapi juga juru dengar. Tujuannya adalah untuk lebih bisa mendengarkan aspirasi dan keluhan rakyat. Juru dengar dibutuhkan supaya benar-benar bisa menyerap aspirasi publik dan melaporkannya kepada presiden.

Juru dengar diperlukan supaya presiden mendapatkan sumber informasi yang independen dan lebih kredibel. Jangan sampai presiden hanya mendengar laporan dari pembantu-pembantunya yang lebih sering ABS (asal bos senang).

Presiden juga jangan sampai mengandalkan informasi dari buzzer-buzzer bayaran yang hanya suka mengumbar puja-puji.

Juru dengar penting dipunyai presiden untuk mendengarkan suara rakyat yang sekarang ini semakin lirih terdengar. Fadjroel Rachman boleh saja mengeklaim bahwa demokrasi berjalan baik, sebuah klaim yang sangat ABS.

Faktanya sekarang indeks demokrasi Indonesia melorot menjadi ‘’partly free’’ yang berarti tidak sepenuhnya bebas.

Terlepas dari retorika Fadjroel yang mengatakan presiden tidak anti-kritik, tetapi dalam praktiknya saluran-saluran kritik sudah banyak yang tersumbat. Di parlemen suara kritis nyaris tak terdengar karena oposisi sekarang menjadi minoritas. Oposisi non-formal pun tidak bisa berkutik karena tokoh-tokohnya ditangkap dan dipenjarakan.

Rakyat jelata yang coba-coba menyuarakan aspirasinya pun takut kena jeratan UU ITE yang bisa melar ke mana-mana. Mahasiswa yang selama ini menjadi inspirasi suara kritis juga dibungkam sejak dari kampusnya.

Jokowi lebih butuh juru dengar daripada juru bicara. Secara alamiah manusia dikaruniai dua telinga dan satu lidah. Itu artinya manusia harus mendengar dua kali lebih banyak daripada berbicara.

Seorang pemimpin harus dua kali lebih banyak mendengar aspirasi rakyat daripada mengobral janji kepada rakyat.

Lidah tidak bertulang dan tidak bercabang. Kalau lidah bercabang berarti sama dengan lidah kadal, biawak, dan ular. Banyak bicara menyanjung-nyanjung presiden dan menjilat-jilat setiap saat. Itulah yang banyak terjadi di sekeliling presiden.

Suara kritis makin sayup karena oposisi makin layu. Presiden dikepung oleh kekuasaan oligarki yang menguasai sumber-sumber ekonomi dan politik dalam sosok ‘’peng-peng’’ alias penguasa dan sekaligus pengusaha.

Laporan yang banyak beredar hari-hari ini menyoroti keterlibatan sejumlah pejabat tinggi elite di sekitar Jokowi dengan korporasi-korporasi besar yang menangguk untung besar selama pandemi. Para peng-peng itu mengumpulkan cuan puluhan triliun rupiah dari berbagai macam bisnis selama masa pandemi dua tahun terakhir.

Ketika rakyat masih tercekik oleh kesulitan ekonomi, segelintir peng-peng oligarki malah berpesta pora mengeruk keuntungan. Jeritan rakyat tidak sepenuhnya terdengar karena Jokowi tidak punya juru dengar yang andal.

Yang ada di sekitar Jokowi sekarang lebih banyak para juru bayar yang bertindak sebagai bandar politik. Mereka memonopoli bisnis untuk mengumpulkan modal politik, menjadi bandar proyek-proyek politik sambil bersiap-siap untuk maju dalam kontestasi politik pada pilpres 2024.

Prof. Chusnul Mariyah dari Universitas Indonesia mengatakan bahwa panggung politik Indonesia dipenuhi oleh para aktor politik yang terdiri dari bandar, bandit, dan badut. Tiga karakter itu menjadi pemain dominan dalam percaturan politik Indonesia.

Bandar adalah para oligarki yang menguasai akses ekonomi dan melakukan monopoli terhadapnya. Pada bandar ini kemudian memanfaatkan kekayaannya untuk membiayai proyek-proyek politik. Para bandar ini bermain dalam kontestasi politik mulai level daerah sampai ke level nasional.

Para bandar menjadi bohir politik dalam berbagai pilkada daerah dengan membayar ongkos politik calon kepala daerah. Setelah calonnya menang, sang bandar akan menerima imbalan berupa proyek daerah maupun berbagai konsesi perizinan.

Para bandar tidak hanya menjadi bohir calon kepala daerah, tetapi juga mengongkosi calon-calon anggota legislatif. (*)

Jangan Sampai Ketinggalan Video Pilihan Redaksi ini:


Redaktur : Adek
Reporter : Cak Abror

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler