Kabar Baik dari Peneliti soal Virus Corona di Indonesia, Semoga Saja

Kamis, 19 Maret 2020 – 14:14 WIB
Ilustrasi sketsa virus Corona. Foto :TechCrunch

jpnn.com, BANDUNG - Peneliti Institut Teknologi Bandung (ITB) memprediksi wabah virus Corona atau COVID-19 di Indonesia akan berakhir pada pertengahan April 2020.

Direktorat Humas dan Publikasi ITB dalam keterangan tertulisnya menyebutkan, berdasarkan hasil simulasi dan pemodelan sederhana dapat disimpulkan bahwa Indonesia akan mengalami puncak jumlah kasus harian COVID-19 pada akhir Maret dan berakhir pertengahan April 2020, dengan kasus harian baru terbesar berada di angka sekitar 600.

BACA JUGA: Dua Pendeta Meninggal, 21 Jemaat Gereja Sakit Diduga Terjangkiti Corona

“Tentu perlu dicatat, ini adalah hasil pemodelan dengan satu model yang saya rasa cukup sederhana dan sama sekali tidak mengikutkan faktor-faktor yang kompleksitasnya tinggi,“ ujar Nuning Nuraini, salah satu tim peneliti pada Pusat Pemodelan Matematika dan Simulasi (P2MS) ITB seperti dilansir Antara, Kamis (19/3).

Nuning mengatakan, penelitian tersebut dilatarbelakangi oleh kasus COVID-19 di Indonesia yang menjadi bagian dari pandemi global dan telah melahirkan berbagai riuh rendah serta kontroversi apakah tindakan yang diambil telah cukup untuk menangkal penyebaran lebih lanjut, atau kah terlampau berlebihan.

BACA JUGA: Masyarakat Tidak Peduli Wabah Virus Corona, Nih Buktinya

"Dalam penelitian ini, kami berusaha menjawab pertanyaan mendasar tentang epidemi yang sedang terjadi saat ini di Indonesia melalui suatu model matematika sederhana," ujar Nuning.

Dalam penelitian yang menjadi jurnal ilmiah tersebut, Nuning dengan tim membangun model representasi jumlah kasus COVID-19 dengan menggunakan model Richard’s Curve karena sesuai dengan kajian Kelompok Pemodelan Tahun 2009 yang dibimbing oleh Prof Dr Kuntjoro A Sidarto.

BACA JUGA: Negara Pandemi Corona, 5 Pejabat Malah Pelesiran ke Eropa, Bupati Marah-marah

Model tersebut terbukti berhasil memprediksi awal, akhir, serta puncak endemi dari penyakit SARS di Hong Kong tahun 2003. Model Richard’s Curve terpilih ini lalu mereka uji pada berbagai data kasus COVID-19 terlapor dari berbagai macam negara, seperti Tiongkok, Iran, Italia, Korea Selatan, dan Amerika Serikat, termasuk data akumulatif seluruh dunia.

Ternyata, secara matematik, ditemukan bahwa model Richard’s Curve Korea Selatan adalah yang paling cocok, atau memiliki kesalahannya kecil untuk disandingkan dengan data kasus terlapor COVID-19 di Indonesia jika dibandingkan dengan model yang dibangun dari data negara lain. Kesesuaian itu terjadi saat Indonesia masih memiliki 96 kasus.

“Jadi, bisa dikatakan, jika kita punya penanganan yang mungkin sama, sesuai dengan publikasi yang ada dengan Korea Selatan, tanpa memasukkan faktor kompleksitas lainnya seperti temperatur lingkungan, kelembapan, dan lain-lain seharusnya kita bisa mendapat kesimpulan yang sama persis dengan apa yang ditulis pada publikasi kami," kata dia.

Namun, menurut Nuning, hal tersebut bukan merupakan perkara mudah.

“Korea Selatan itu kan salah satu dari beberapa negara di dunia yang paling baik penanganan kasus COVID-19-nya. Ini waktu terus berjalan, tentu sulit untuk bisa persis seperti mereka, tetapi, setidaknya, dari tulisan ini kita bisa mengetahui bahwa Indonesia perlu melakukan sesuatu untuk tetap berada dalam tren yang baik," kata Nuning.

Oleh karena itu, bagi Nuning, merujuk pada model yang dibangun, termasuk faktor-faktor yang krusial, perlu dilakukan pencegahan dari meluasnya penyebaran COVID-19.

“Tingkat penyebaran yang tinggi akan memberatkan rumah sakit karena tidak memiliki kapasitas yang cukup untuk menampung pasien COVID-19 sehingga krusial sekali bagi kita untuk menjaga laju penyebaran tetap ada di dalam kontrol kita," kata Nuning mengusulkan jika belum bisa dihilangkan sepenuhnya. (antara/jpnn)
14 Hari Untuk Isolasi, Bukan Liburan


Redaktur & Reporter : Rah Mahatma Sakti

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler