Masa puncak kebanyakan atlet adalah antara usia 20 sampai 30 tahunan dan setelah itu mereka masih memiliki waktu untuk melanjutkan "karir kedua" dalam kehidupan mereka.

ABC Indonesia berbicara dengan tiga mantan atlet bulu tangkis Indonesia, yaitu Yuni Kartika, Lilik Sudarwai dan Elizabeth Latif yang melakukan tiga hal yang sangat berbeda, setelah berhenti bermain bulu tangkis.

BACA JUGA: Cerita Mahasiswa Indonesia Melewati Lockdown Ketat di Melbourne

Bagi para pecinta bulu tangkis Indonesia dan juga penonton televisi, Yuni Kartika mungkin tidak asing lagi karena walau sudah berhenti, perempuan asal Pekalongan ini tetap melakukan sesuatu berhubungan dengan bulu tangkis.

Yuni menekuni karir di dunia penyiaran, mulai dari menjadi reporter olahraga sampai sekarang menjadi penyiar atau komentator terutama di pertandingan bulu tangkis baik di tingkat lokal maupun internasional.

BACA JUGA: Lima Hari Berturut-turut di Melbourne Tanpa Kasus Corona, Apa Selanjutnya?

"Saya pensiun dari bulu tangkis di tahun 1996. Saya kemudian sekolah penyiar dulu lalu magang di TVRI dan RCTI sebelum akhirnya jadi penyiar dan komentator olahraga," kata Yuni Kartika. Photo: Yuni Kartika (berdiri) kalah dari pemain China Huang Hua (tengah) di kejuaraan Malaysia Terbuka di tahun 1992. (Foto: Afri Yanto/Facebook)

 

BACA JUGA: Pangeran William Terkena COVID-19 di Bulan April, Melbourne Tiga Hari Tanpa Kasus

Menurutnya, dia memang dari awal sudah merencanakan untuk berkiprah di bidang penyiaran televisi setelah pensiun dari bermain bulu tangkis.

"Harapannya bulu tangkis bisa lebih terkomunikasikan dengan baik di masyarakat dan membuat bulu tangkis lebih populer lagi di Indonesia," kata Yuni dalam percakapan dengan wartawan ABC Indonesia Sastra Wijaya, hari Rabu (4/11).

Setahun setelah berhenti bermain bulu tangkis, di tahun 1997 ia sudah mulai terlibat di dunia penyiaran dan pekerjaan pertamanya di TVRI sampai sekarang masih merupakan pengalaman yang paling berarti baginya.

"Yang paling saya ingat di zaman awal-awal siaran di TVRI acara Dunia Dalam Berita," kata juara dunia tunggal putri yunior di tahun 1991 tersebut.

"Bisa siaran bareng dengan penyiar-penyiar senior TVRI dan acara itu kan juga termasuk acara prime time pada saat itu."

Berbicara mengenai perbedaan menjadi pemain di lapangan dengan sekarang mengomentari pertandingan bulu tangkis, Yuni mengatakan dua hal itu sama-sama memiliki tantangan tersendiri.

"Ini adalah dua yang sangat berbeda, yang satu lebih banyak mengunakan fisik, dan yang satu mengunakan skill berbicara dan komunikasi."

"Sama-sama menantang dan sama-sama bisa mendapatkan kritik kalau kita tidak bisa tampil dengan baik," kata Yuni.

"Kedua-duanya sama-sama menakutkan, kalau kita tidak punya persiapan yang cukup."

Dalam karirnya sebagai pemain bulu tangkis, Yuni mengatakan prestasi yang paling dibanggakan adalah ketika menjadi bagian dari tim Indonesia yang merebut Piala Uber di tahun 1994 dan menjadi runner up di turnamen Malaysia Terbuka di tahun 1992 dikalahkan pemain China Huang Hua.

Menanggapi bibit-bibit bulu tangkis di Indonesia saat ini, Yuni memiliki penilaiannya sendiri.

"Antusias anak-anak cukup baik ya, karena mereka kan selalu punya idola seperti Kevin Gideon, misalnya, jadi mereka selalu terpicu untuk bermain bulu tangkis," kata perempuan yang sekarang berusia 47 tahun tersebut.

"Hanya kalau bicara pemain putri memang agak susah. Jumlahnya yang berminat 30 berbanding 70 dibandingkan dengan pemain putra." Lilik Sudarwati baru menyelesaikan pendidikan di Lemhanas Photo: Lilik Sudarwati ketika tampil dalam salah satu pertandingan internasional mewakili Indonesia. (Foto: Supplied)

 

Kalau Yuni Kartika lahir tahun 1973, Lilik Sudarwati terpaut tiga tahun lebih awal, yakni dilakhirkan tahun 1970 di Gresik, Jawa Timur.

Lilik berhenti bermain bulu tangkis di tahun 1992, setelah tidak terpilih untuk mewakili Indonesia di nomor tunggal putri Olimpiade Barcelona, saat bulu tangkis dipertandingkan pertama kalinya di olimpiade.

"Dalam hidup kita harus menentukan pilihan, ketika saya tidak terpilih dalam tim Olimpiade Barcelona, saya memutuskan untuk keluar dari Pelatnas bulan Desember 1992," kata Lilik kepada ABC Indonesia.

"Bulan Januari 1993 saya terbang ke Amerika Serikat untuk sekolah dan pernah di Community College selama dua tahun antara 1993-1995."

Sekembalinya ke Indonesia, Lilik kemudian melanjutkan pendidikan S1 di Fakultas Psikologi, dilanjutkan hingga jenjang S2 dan S3 di bidang Hukum di Universitas Trisakti Jakarta.

Sekarang dia banyak berkecimpung di dunia pendidikan, layanan sosial dan organisasi keolahragaan seperti KONI.

"Olahraga dan kemanusiaan adalah bidang yang betul-betul saya minati," katanya.

Lilik sekarang menjabat Kepala Bidang Sport Science dan Penerapan Iptek KONI Pusat sejak tahun 2011.

"Selain di KONI, saya juga dosen dan baru saja saya terpilih sebagai Komisioner di BSANK (Badan Standarisasi Akreditasi Nasional Keolahragaan)," katanya.

Pekan lalu, Lilik Sudarwati juga baru menyelesaikan Pendidikan Kepemimpinan Nasional selama 7,5 bulan di Lemhannas. Photo: Lilik Sudarwati baru saja menyelesaikan pendidikan di Lemhanas tahun 2020. (Foto: Supplied)

 

Jadi sekarang apa yang dilihatnya sebagai permasalahan besar dalam pembinaan olahraga di Indonesia?

"Setelah saya lulus dari Lemhannas, saya jadi tahu bahwa Indonesia punya kelemahan besar dalam berkoordinasi di semua lini dan ego sektoralnya tinggi sekali."

"Ini sangat kuat juga terjadi di olahraga." katanya.

Lebih lanjut Lilik mengatakan menciptakan seorang juara di bidang olahraga sebenarnya tidaklah terlalu sulit.

"Yang sulit itu berkoordinasi dan mengintegrasikan seluruh komponen sehingga lebih efektif dan efisien dalam membina atlet," katanya.

"Jika pembinaan berjalan seperti ini sulit bagi Indonesia untuk menciptakan juara-juara tingkat dunia."

"Dan juga sport science adalah hal yang mutlak."

Lilik Sudarwati juga mendesak agar pemerintah memberikan komitmen penuh untuk membina olahraga.

"Kita ini bangsa besar dengan jumlah penduduk 270 juta, harusnya kita bisa nomor satu di Asia Tenggara dari sekarang peringkat empat atau lima, kalau strategi kita benar."

"Contohnya kalau dananya tidak banyak, kita fokus cabang olahraga individual, kirim atlet kita berlatih di luar negeri selama beberapa tahun.

"Karena menunggu dilatih di Indonesia tidak akan sampai-sampai prestasinya."

"Banyak sekali bibit-bibit bagus di Indonesia namun ketika beranjak dewasa hilang karena iklim latihan dan sparing partner kurang," ujar Lilik, yang juga mengatakan ketertinggalan Indonesia adalah di bidang 'sport science'. Elizabeth Latif menetap di Perth Photo: Elizabeth Latif sekarang menetap di Perth (Australia Barat) sejak tahun 2014. (Foto: Theresia Guntoro)

 

Elizabeth Latif pensiun dari bulu tangkis di tahun 1988, setahun setelah dia menjuarai turnamen Konika Cup di Singapura mengalahkan pemain China Gu Jiaming 1-11, 11-6, 11-6.

"Ini turnamen yang paling mengesankan bagi saya, karena di semifinal saya mengalahkan pemain China lainnya, Han Aiping," kata Elizabeth Latif kepada wartawan ABC Indonesia Sastra Wijaya.

Han Aiping bersama dengan Li Lingwei adalah dua pemain tunggal putri terbaik China dan juga dunia saat itu.

Setelah turnamen tersebut, Itje panggilan Elizabeth mengalami cedera dan bermaksud mengundurkan diri, namun diminta untuk bertahan selama setahun oleh pelatih tunggal putri saat itu, Minarni Sudaryanto.

"Jadi saya berhenti di tahun 1988 setelah Indonesia Terbuka. Sebenarnya saya sudah cedera dari tahun 1987 setelah jadi juara di Konica Cup tapi saya ingat alm Minarni dulu bilang satu tahun lagi bimbing junior." kata Elizabeth.

Setelah berhenti bermain di usia 25 tahun, Elizabeth kemudian terjun di bidang periklanan bersama kakaknya di Jakarta dan juga belakangan memiliki bisnis pijat bersama mantan pemain Indonesia lainnnya, Susy Susanti.

Setelah kerusuhan di tahun 1998, Elizabeth dan keluarganya memutuskan untuk mendapatkan status Permanent Resident atau Penduduk tetap di Perth, ibukota Australia Barat.

"Di tahun 2001 saya melahirkan anak saya di Perth dan kemudian bolak balik Perth-Jakarta," katanya lagi.

"Baru benar-benar pindah di tahun 2014 karena anak saya mau melanjutkan pendidikan di sini."

Sejak berhenti bermain bulu tangkis, Elizabeth banyak menghabiskan kegiatan olahraganya dengan bermain golf dan sekarang di Perth banyak terlibat kegiatan sosial di gereja.

"Sejak berhenti bulu tangkis, saya gila main golf. Di Perth ada yang minta saya jadi pelatih bulu tangkis namun saya tidak mau," kata perempuan kelahiran tahun 1963 tersebut.

Elizabeth mengaku jika sekarang ia sudah merasa betah tinggal di Perth.

"Di sini udara bersih, semua teratur, tidak macet, urus apa-apa jelas.

"Kesehatan terjamin dan dokter-dokter di sini sangat manusiawi dalam menangani pasien, bukan untuk mengeruk uang pasien," kata Elizabeth mengenai keputusannya untuk tinggal di Perth.

BACA ARTIKEL LAINNYA... Lobster Australia Ditahan Bandara Tiongkok di Tengah Meningkatnya Selisih Dagang Kedua Negara

Berita Terkait