Kabul

Rabu, 18 Agustus 2021 – 12:36 WIB
Warga Afghanistan naik ke atas pesawat saat mereka menunggu di bandara Kabul, Senin (16/8). Foto: Wakil Kohsar/AFP

jpnn.com - Saigon 1975, Teheran 1979, Mogadishu 1993, Kabul 2021.

Itulah beberapa rentetan peristiwa yang menunjukkan momen kegagalan operasi militer Amerika Serikat di kancah internasional. Momen-momen itu menjadi rekaman buruk dalam memori masyarakat Amerika yang bakal dikenang sepanjang masa.

BACA JUGA: Taliban dan Afghanistan dari Sisi Lain

Saigon adalah momen kekalahan Amerika di Vietnam dalam perang panjang yang paling berdarah melawan komunisme.

Amerika akhirnya menyerah kalah karena menghadapi dua front perang yang sangat berat. Di medan Vietnam pasukan Amerika hancur menghadapi serangan gerilya gigih tentara Vietcong.

BACA JUGA: Menumpang Pesawat Amerika, Ratusan Warga Afghanistan Berhasil Kabur dari Taliban

Di dalam negeri dan di dunia internasional, Amerika menghadapi protes keras akibat kekerasan dan kejahatan perang yang dilakukan di Vietnam.

Kekalahan di Vietnam menjadi momen paling memalukan bagi Amerika. Sebuah negara superpower yang sedang berada pada puncak kekuasaannya, dengan kecanggihan persenjataan dan logistik yang tak terbatas, ternyata tidak berdaya dalam perang di medan yang tidak dikenal.

BACA JUGA: Indonesia Sebaiknya Tak Buru-Buru Mengakui Rezim Taliban di Afghanistan

Momen yang paling diingat dalam sejarah, sebagai titik balik kekalahan Amerika, terjadi ketika ratusan orang staf Amerika harus dievakuasi dari Saigon.

Pada detik-detik terakhir ketika pasukan komunis Vietcong sudah mulai memasuki kota, ratusan orang harus dievakuasi dengan cepat. Ratusan warga Amerika berebut naik ke atap kedubes Amerika di Saigon dan berebutan naik ke helikopter untuk menyelamatkan diri.

Foto-foto evakuasi di atas embassy itu tersebar luas ke seluruh dunia dan menjadi dokumen yang menjadi aib diplomatik paling memalukan bagi Amerika.

Sebuah operasi militer yang dirancang untuk menghancurkan sebuah negara lain ternyata menjadi bumerang yang mempermalukan Amerika sepanjang masa.

Kita semua tidak pernah belajar dari sejarah. Satu-satunya yang kita pelajari dari sejarah adalah bahwa kita tidak pernah belajar dari sejarah.

Amerika juga tidak belajar dari sejarah. Hanya berselang lima tahun kemudian peristiwa yang hampir sama terjadi lagi. Kali ini di Teheran, ibu kota Iran.

Petualangan megalomania ala Amerika meluas dari Asia ke Timur Tengah. Rezim Shah Iran di bawah Reza Pahlevi adalah rezim boneka yang didukung sepenuh hati oleh Amerika.

Iran adalah pusat peradaban besar di masa lalu, yang menyimpan potensi besar sebagai penghalang dominasi dan hegemoni Amerika di masa depan.

Amerika menancapkan pengaruhnya di Iran melalui rezim Pahlevi, yang melakukan modernisasi dan westernisasi Iran.

Keluarga Pahlevi hidup dalam ekstravaganza kemewahan yang ditopang dengan otoriatarianisme mutlak terhadap rakyatnya.

Perlawanan terhadap rezim Shah dilakukan oleh Ayatullah Khomeini sebagai otoritas Syiah tertinggi di Iran.

Ia diasingkan ke Prancis, tetapi tetap bisa memberi komando kepada umat untuk bergerak. Puncaknya terjadi ketika Khomeini kembali ke Teheran pada 1979, dan memimpin revolusi secara langsung.

Puluhan ribu orang turun ke jalan mengepung istana. Shah Iran melarikan diri ke Amerika, dan rezim monarki boneka Amerika pun tumbang. Lahirlah Republik Islam Iran yang menjadi fenomena baru dalam sejarah politik dunia.

Salah satu momen fenomenal dalam peristiwa ini adalah penyerbuan kedubes Amerika oleh sekelompok mahasiswa revolusinoner Iran, dan menyandera 60 orang staf kedubes dan diplomat Amerika.

Peristiwa ini menjadi krisis diplomatik yang mempermalukan Amerika di mata internasional.

Berbagai cara diplomasi dilakukan. Para mahasiswa revolusioner tetap bergeming dan tidak mau melepaskan para sandera.

Presiden Amerika Jimmy Carter mengirim misi rahasia untuk membebaskan para sandera, tetapi gagal. Bahkan helikopter Amerika jatuh secara misterius tanpa terkena tembakan.

Drama penyanderaan berlangsung sampai 444 hari. Ketika kemudian drama berakhir dan para sandera dibebaskan, masyarakat internasional tahu bahwa Amerika telah kehilangan muka untuk kali kedua dalam kurun waktu lima tahun.

Momen ketika diplomat dan staf kedubes dievakuasi dari Teheran menjadi momen paling memalukan yang menjadi tonggak kekalahan Amerika.

Sejak itu dendam politik antara kedua negara tidak pernah selesai. Dua negara itu sampai sekarang menasbihkan diri sebagai musuh bebuyutan, tidak pernah ada kompromi.

Dalam kondisi macam apa pun Iran tidak pernah menyerah. Amerika mengisolasi dan memboikot Iran puluhan tahun, Iran bergeming dan tetap melawan.

Kekalahan yang mempermalukan Amerika terjadi lagi pada 1993. Kali ini di Somalia, negara kecil, miskin, dan terbelakang di Afrika. Rezim Muhammad Farah Aidid yang menguasai Somalia gagal mengelola ekonomi sehingga menyebabkan bencana kelaparan yang meluas.

Badan internasional Perserikatan Bangsa Bangsa, PBB, melakukan misi kemanusiaan dengan mengirim bantuan makanan. Pada saat bersamaan, Amerika melakukan operasi militer kemanusiaan dengan mengirim 150 pasukan elite dengan dua pesawat canggih Black Hawk.

Operasi ini direncanakan hanya akan berlangsung selama 30 menit. Namun, ternyata intelijen Amerika salah hitung.

Masyarakat Mogadishu melihat kedatangan pasukan Amerika sebagai provokasi yang mencampuri urusan dalam negeri Somalia.

Tentara Amerika menghadapi perlawanan rakyat. Dalam sebuah serangan kilat dua pesawat Black Hawk yang canggih ditembak jatuh oleh milisi Mogadishu. Pasukan Amerika yang tertangkap oleh massa disiksa dan dibunuh. Beberapa dijadikan sandera.

Tentara Amerika kalang kabut karena tidak menyangka bahwa rakyat Mogadishu akan melakukan perlawanan. Sebuah operasi militer yang awalnya dianggap enteng ternyata menjadi skandal militer yang paling memalukan.

Presiden Bill Clinton memerintahkan diadakan operasi all out untuk menyelamatkan sandera. Dibutuhkan waktu 18 jam yang mencekam untuk menyelamatkan sandera Amerika. Peristiwa ini diabadikan dalam film ‘’Black Hawk Down’’ oleh sutradara Ridley Scott.

Film itu menggambarkan detail nyata kengerian dalam peristiwa itu.

Operasi penyelamatan behasil, tetapi reputasi militer Amerika kembali dipermalukan dan tercoreng di dunia. Pasukan Amerika dianggap gagal menghadapi pasukan milisia yang terdiri dari preman, tetapi mendapat dukungan masyarakat.

Kali ini hal yang sama terjadi lagi di Kabul. Skalanya jauh lebih besar dan dampaknya juga akan lebih besar.

Pasukan Amerika yang sudah bercokol di Afghanistan selama 20 tahun, akhirnya harus menarik diri dan kembali dipermalukan di mata internasional.

Setelah dua dekade menjaga dan melindungi rezim di Kabul, Amerika dipaksa lari karena serbuan pasukan Taliban. Hanya dalam waktu tiga bulan pasukan Taliban bisa menguasasi wilayah-wiayah strategis, dan kemudian mengepung Kabul.

Amerika tidak mau mengambil risiko, dan memutuskan menarik diri dari Kabul. Momen pasukan Amerika mengevakuasi staf kedubes dari Bandara Hamid Karzai menjadi momen yang lebih mengerikan dibanding Saigon 1975.

Kali ini ribuan warga masyarakat ikut menyerbu masuk pesawat Amerika untuk melarikan diri dari Kabul.

Masyarakat yang ketakutan oleh kehadiran Taliban memaksa masuk pesawat untuk menyelamatkan diri. Pesawat kargo yang hanya berkapasitas 150 orang dipaksa mengangkut 800 orang.

Beberapa orang memaksa naik di roda pesawat dan akhirnya meninggal karena jatuh dari ketinggian.

Amerika ‘’tinggal glanggang colong playu’’, melakukan desersi dari wilayah tempur di Afghanistan. Sekali lagi, Amerika dipermalukan. (*)


Redaktur : Adek
Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler