jpnn.com, JAKARTA - Pengamat hukum tata negara M Ridwan menyoroti putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta yang mengabulkan gugatan Fadel Muhammad atas hasil sidang paripurna Dewan Perwakilan Daerah atau DPD, salat alamat.
Majelis Hakim PTUN Jakarta dalam putusan perkara Nomor 398/G/2022 PTUN JKT membatalkan Surat Keputusan DPD Nomor 2/DPDRI 2022-2023 tentang Penggantian Pimpinan MPR dari Unsur DPD Tahun 2022-2024.
BACA JUGA: Putusan PTUN Jakarta Soal Gugatan Wakil Ketua MPR Fadel Muhammad Sudah Tepat
Ridwan menilai putusan PTUN itu menyisakan persoalan karena aneh dan janggal. Sebab, SK DPD yang digugat Fadel merupakan hasil keputusan sidang paripurna yang merupakan forum pengambilan keputusan tertinggi di DPD dan bersifat mengikat bagi semua pihak terkait.
"SK DPD ini merupakan bagian dari keputusan politik ketatanegaraan yang diambil oleh mayoritas anggota DPD, sehingga tidak bisa dikategorikan sebagai bagian objek sengketa TUN. Karena itu, pengadilan tidak punya kompetensi untuk mengadili SK tersebut,” ucap Ridwan sebagaimana keterangan tertulis diterima di Jakarta, Senin (15/5).
BACA JUGA: Waka MPR: Prematur Simpulkan Vonis PTUN Perkara Fadel Bahayakan Sistem Ketatanegaraan
Bila keputusan ketatanegaraan bisa dianulir oleh putusan pengadilan, katanya, maka akan menimbulkan kekacauan dan ketidakpastian dalam penyelenggaraan negara. Selain itu, semua keputusan sidang paripurna DPD, bahkan DPR dan MPR pun bisa dibatalkan semaunya.
“Putusan PTUN Jakarta sudah salah alamat dan membahayakan masa depan ketatanegaraan di Indonesia,” ujar dosen luar biasa di Universitas Bangka Belitung itu.
BACA JUGA: Begini Nasib Briptu MK Penembak Warga di Gunungkidul
Dia lantas mendorong DPD mengajukan banding agar putusan tersebut bisa dikoreksi melalui putusan Pengadilan Tinggi TUN.
Terlebih,sudah ada yurisprudensi soal putusan MA yang pernah menolak gugatan Nurmawati Dewi Bantilan dan Farouk Muhammad terhadap SK DPD terkait penggantian pimpinan DPD di era kepemimpinan Oesman Sapta Odang (OSO).
“Objek sengketa yang digugat sama, yaitu sama-sama SK DPD,” ucap Ridwan.
Selain itu, Ridwan mengapresiasi pernyataan Wakil Ketua MPR Arsul Sani yang mengoreksi pendapat dua pakar hukum tata negara dengan menyatakan prematur jika putusan PTUN dianggap membahayakan negara.
Hal itu karena putusan PTUN Jakarta belum berkekuatan hukum tetap, sehingga masih ada tahapan selanjutnya yang bisa mengoreksi hasil putusan PTUN Jakarta, jika DPD mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi TUN.
"Jadi, putusan PTUN Jakarta bukan keputusan final, masih ada tahapan-tahapan lain yang bisa ditempuh untuk mengoreksi putusan tersebut,” lanjut Riwan.
Walakin, dia memandang pernyataan dua pakar hukum tata negara, yakni Refly Harun dan Margarito Kamis juga ada benarnya. Sebab, jika putusan PTUN Jakarta dibiarkan begitu saja maka dapat membahayakan ketatanegaraan.
Dia khawatir ke depan bakal timbul kekacauan karena ketidakpastian penyelenggaraan negara akibat dari putusan-putusan politik ketatanegaraan yang dibatalkan oleh pengadilan.
Ridwan juga menyebut Arsul Sani seharusnya memberikan masukan yang objektif berbasis hukum kepada Ketua MPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) yang terkesan bereuforia merespons putusan PTUN Jakarta.
"Bisa-bisanya dia mengarahkan kepada pihak penggugat dalam hal ini Fadel untuk bertemu para pimpinan MPR satu per satu dan melakukan silaturahmi kepada pimpinan fraksi di MPR untuk menyosialisasikan hasil keputusan PTUN,” beber Ridwan.
Menurut Ridwan, seharusnya ketua MPR tahu bahwa putusan PTUN belum final, karena masih ada proses banding. "Jadi, seakan-akan dia ingin menggiring opini kalau putusan PTUN ini sudah dianggap final," kata Ridwan.(fat/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Putu Rudana Minta Presiden Jokowi Beri Dukungan kepada Kontingen Garuda di Lebanon
Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam