jpnn.com - PADANG--Menghirup udara segar belakangan ini, menjadi sesuatu hal yang sangat mahal akhir-akhir ini. Hampir saban hari langit Ranah Minang dihiasi kabut asap. Bahkan, sejumlah daerah kondisi udaranya sudah berada dalam tahap mengkhawatirkan.
Nyaris setiap tahunnya, persoalan ini berulang. Namun itu tadi, nyaris belum ada upaya serius dan massif instansi terkait menyelesaikan persoalan ini. Sejauh ini, Dinas Kehutanan Sumbar mengaku belum dapat mengungkap pelaku pembakaran lahan tersebut. Mereka berdalih, tidak ada barang bukti tangkap tangan terhadap pelaku pembakaran lahan tersebut.
BACA JUGA: Buang Sampah Sembarangan, KTP Disita
Kepala Bidang Pengamanan dan Perlindungan Hutan Dinas Kehutanan Sumbar, Faridil Afrasi mengakui bahwa hampir setiap tahunnya Dinas Kehutanan Sumbar menemukan titik hotspot. Titik hotspot itu ditemukan akibat adanya aktivitas pembakaran jerami oleh petani, serta pembukaan lahan yang diikuti dengan pembakaran.
Tujuh tahun terakhir, kata Faridil, titik hotspot di Sumbar selalu berfluktuatif. Paling parah terjadi pada tahun 2012. Tahun ini terpantu 689 hotspot. Diikuti tahun 2008 sebanyak 651 titik, 2011 ada 480 titik, 2013 ditemukan 442 titik. Lalu, 2009 sebanyak 337 titik, 2010 ada 129 titik, dan awal tahun ini tercatat ada 70 titik.
BACA JUGA: Kisruh Tes CPNS Akan Diusut
Di Sumbar, ada enam daerah rentan terjadi kebakaran hutan. Ring satu adalah Pesisir Selatan, Dharmasraya, Solok Selatan, Pasaman Barat dan Sijunjung. Daerah rawan II (ring II) adalah Agam, Kabupaten Solok, Sawahlunto, Tanahdatar, Limapuluh Kota dan Pasaman. Pembagian ring satu atau ring dua tersebut berdasarkan daerah yang paling sering ditemukan hotspot.
”Dari pengamatan kami, selama ini daerah yang terbakar itu bukan termasuk areal hutan, tapi lahan. Cepat menyebarnya hotspot ini karena lahannya gambut. Tahun ini, ada sedikit perubahan, titik api paling tinggi itu ditemukan di Pasbar. Sedangkan di Pesisir Selatan, Dharmasraya yang tahun lalu termasuk daerah rawan, masih normal saja di tahun ini,” ujarnya.
BACA JUGA: Hindari Ayam, Pasutri dan 2 Anak Terjungkal
Faridil mengklaim pihaknya tidak berdiam saja melihat kondisi ini. Salah satu upayanya, Dishut Sumbar senantiasa men-standby personel dan siap diturunkan ke daerah rentan terbakar setiap waktunya.
”Kami telah turunkan tim patroli untuk melakukan pemantauan. Jika kebakarannya kecil, tim langsung memadamkannya. Namun jika besar, tentu saja tim terlebih dahulu memberitahu ke kami,” ujarnya.
Hasil temuannya selama ini, menurut Faridil, oknum masyarakat melakukan pembakaran lahan guna dialihkan menjadi lahan perkebunan. Membuka lahan dengan membakar hutan, dianggap masyarakat sebagai cara dengan biaya jauh lebih murah dan cepat.
Khusus perusahaan, Faridil malah menyebutkan bahwa instansinya belum menemukan bukti.
”Kami tidak pernah menemukan ada indikasi pembakaran lahan itu dilakukan perusahaan. Sejauh ini, disinyalir pembakaran itu dilakukan masyarakat untuk membuka lahan,” kilahnya.
Beberapa waktu lalu, tambahnya, terjadi kebakaran di kawasan hutan. Sedikitnya, ada 15 sampai 20 hektare lahan terbakar. Saat kejadian itu, dua orang diamankan. Namun, pihaknya mengaku tak tahu persis tindak lanjut terhadap kasus tersebut.
Pasalnya, penindakan dilakukan kota dan kabupaten. ”Kami tak tangani penindakannya. Kami serahkan pada kota dan kabupaten menindaknya. Memang sejauh ini, belum satu pun pelaku pembakaran lahan yang dibawa ke meja hukum,” ujarnya.
Sesuai kententuan UU No 41 Tahun 2009 tentang Kehutanan, apabila ditemukan ada masyarakat atau korporasi yang membakar hutan, dapat dikenakan pidana penjara 15 tahun atau denda Rp 5 miliar. Apabila seseorang membakar hutan karena alasan kealpaan, dikenakan sanksi pidana penjara 5 tahun atau denda Rp 1,5 miliar.
Selain memonitor langsung ke titik api, kata Faridil, pihaknya pun memberikan sosialisasi kepada masyarakat untuk tidak membakar hutan ketika membuka areal baru. ”Kami juga membentuk kelompok masyarakat peduli api. Kelompok ini telah terbentuk di Pessel, Solok, Tanahdatar, Agam, Payakumbuh, Pasaman Barat dan Dharmasraya,” ujarnya.
Pemantauan terhadap titik api atau titik panas di Sumbar, juga menjadi perhatian Dishut Sumbar. Tujuannya, agar memudahkan antisipasi jika terjadi kebakaran hutan. Saat ini, Dishut telah menyiapkan sebanyak 17 personel dan peralatan untuk mengantisipasi meluasnya area lahan yang terbakar. Di antara, peralatan yang disiapkan adalah mobil pemadam kebakaran, pompa apung, peralatan tradisional untuk melakukan pemetaan kawasan yang terbakar.
Dia juga meminta agar dinas kehutanan di kota dan kabupaten meningkatkan pengawasannya terhadap kemungkinan aktivitas pembakaran lahan. Pengolahan lahan dengan melakukan pembakaran, bukan cara yang tepat, namun justru merusak lingkungan. ”Masyarakat jangan membakar lahan untuk membuka ladang, karena perbuatan itu merusak lingkungan. Tentu ada sanksi yang dapat dikenakan pada masyarakat jika melakukan pelanggaran tersebut,” ucapnya.
Dalam waktu dekat ini, pihaknya akan melakukan rapat dengan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sumbar. Tujuannya, guna menyingkronisasi penannggulangan dampak bencana kabut asap tersebut. ”Dalam waktu dekat ini, kami akan melakukan rapat. Setelah rapat itu, barulah dapat diketahui langkah apa yang dapat diambil untuk melakukan antisipasi dan penanganan terhadap dampak bencana kabut asap.
Sejauh ini, berdasarkan pemantauan citra satelit telah terjadi penurunan titik api. Apalagi belakangan ini, intensitas hujan sudah cukup tinggi dan merata di sejumlah daerah. Katanya, peningkatan titik api perlu diwaspadai sekitar bulan Juni-Juli dan Agustus. Sebab, saat itu terjadi kemarau panjang. Biasanya, peningkatan paling tinggi terjadi sekitar bulan itu.
Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) mendesak Pemda Sumbar menindak tegas para pelaku pembakaran lahan. Tanpa penindakan hukum tegas terhadap para pelaku, pembakaran hutan itu akan terus terjadi. Mereka menduga hotspot itu, karena kesengajaan karena terjadi di daerah perkebunan.
”Saya agak kurang sreg dengan bahasa terbakar. Tapi saya lebih condong menggunakan istilah dibakar. Masa kalau terbakar terjadi setiap tahunnya dan daerah yang terbakar itu di lokasi yang itu-itu saja, Kenapa di daerah yang tidak ada perkebunannya, justru minim ditemukannya hotspot,” ujar Direktur Eksekutif Walhi Sumbar, Khaliq Syaifullah kepada Padang Ekspres.
”Tak sulit bagi pemerintah untuk menemukan pelaku pembakaran hutan atau lahan tersebut. Salah satu caranya dengan melihat sumber awal titik api tersebut terjadi. Jika titik awalnya berada pada salah satu perusahaan perkebunan, dapat diduga perusahaan itu melakukan pembakaran untuk membuka lahan. Logikanya, mana ada orang atau pihak lain yang melakukan pembakaran di areal yang telah ada hak guna usaha (HGU).
”Ini kan tak masuk akal. Itu kan daerah privat dari perusahaan yang mengantongi izin usaha perkebunan. Makanya, dia juga bertanggung jawab untuk pengamanannya. Terkecuali, jika sumber apinya tidak berada pada titik yang ada HGU-nya,” ujarnya.
Pemerintah dan aparat terkait, katanya, harus mampu mengungkap para pelakunya. Sehingga, aktivitas ini tidak terus terjadi. ”Berikan sanksi tegas dan berat terhadap para pelaku. Sehingga, perbuatan mereka tidak dilakukan berulangkali. Lemahnya penegakan hukum itulah yang menyebabkan aktivitas tersebut terus berlanjut setiap tahunnya. Saat ini yang paling dibutuhkan adalah penegakan hukum bagi orang yang merusak lingkungan,” tuturnya.
Manager Pusdalop Penanggulangan Bencana BPBD Sumbar, Eliyusman membenarkan informasi tersebut. Direncanakan tanggal 25 Februari mendatang, akan dilakukan rapat bersama dinas terkait yakni Dinas Perkebunan, Dinas Pertanian, Bapedalda, Dinas Kesehatan dan BPBD.
Sejauh ini, Eli mengaku telah mendapatkan informasi terkait dengan jumlah titik api di Sumbar. Informasi yang diterimanya tanggal 18 Februari, titik hotspot Sumbar 171 titik. ”Dari laporan yang kami terima sudah ada kecenderungan terjadi penurunan,” ucapnya. (***)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Seleksi CPNS 2014, Prioritas Guru dan Tenaga Kesehatan
Redaktur : Tim Redaksi