Kace

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Senin, 23 Agustus 2021 – 12:14 WIB
Pembuat konten Muhammad Kece diduga menghina nabi dan melakukan tindakan penistaan agama. Foto: Tangkapan layar YouTube Muhammad Kace

jpnn.com - Belum tuntas kasus Jozeph Paul Zhang sekarang muncul Muhammad Kace. Kasusnya sama.

Dua-duanya menggunakan kanal YouTube untuk mengunggah konten-konten yang oleh umat Islam dianggap melecehkan dan menistakan.

BACA JUGA: Muhammad Kace Menghina Nabi dan Umat Islam, PPP Bereaksi Keras

Paul Zhang mengaku sebagai nabi ke-26. Ia mengunggah melakukan khotbah dari Jerman dan punya jemaah di beberapa tempat di dunia.

Hal itu terlihat dari unggahan yang diawali dengan sapaan terhadap jemaahnya yang ada di beberapa kota dunia.

BACA JUGA: Respons Bu Netty Atas Dugaan Penghinaan Nabi Oleh Muhammad Kece

Zhang sudah dilaporkan ke polisi. Dan kabarnya polisi sudah mengontak Interpol untuk menangkap Zhang.

Namun, sudah hampir setengah tahun diburu, Zhang belum juga tertangkap.

BACA JUGA: Pernyataan Wamenag terhadap Ceramah Kebencian Muhammad Kece

Sekarang, muncul lagi kasus yang sama. Kali ini Muhammad Kace mengunggah konten-konten yang mirip dengan Zhang.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan PBNU (Nahdlatul Ulama) sudah meminta polisi segera menangkap Muhammad Kace.

Beda dengan Zhang yang buron di luar negeri, Kace ada di Indonesia sehingga polisi tidak terlalu sulit untuk menangkapnya.

Potongan rekaman videonya menyebar viral di media sosial dan grup percakapan WhatsApp. Dia mengucap salam yang dipelesetkan menjadi ‘’assalamu ala-yesus’’. Dia menolak melakukan salat, dan menyebut kitab kuning membingungkan.

Dia menyebut Nabi Muhammad dikelilingi oleh jin dan setan. Kace, mungkin, belum pernah membaca novel Satanic Verses yang ditulis oleh Salman Rushdie pada 1988.

Namun, apa yang dilakukannya sama dengan Ayat-Ayat Setan yang digambarkan Rushdie dalam novel kontroversial itu.

Rushdie dianggap menghina Islam karena isi novelnya yang terang-terangan menghina Islam dan Rasulullah. Pemimpin spiritual Iran Ayatullah Khomeini pada 1989 mengeluarkan fatwa hukuman mati kepada Rushdie.

Khomeini menyerukan kepada seluruh umat Islam untuk memburu dan membunuh Rushdie karena darahnya dinyatakan halal. Sejak keluarnya fatwa mati itu Rushdie bersembunyi dan menyamar dengan menggunakan nama lain.

Fatwa mati itu kabarnya sudah dinyatakan berakhir pada 11 September 2001, dan Rushdie menyatakan dirinya sudah berani hidup bebas.

Meski begitu, dalam setiap kesempatan muncul di publik Rushdie masih tetap dikawal polisi secara tertutup dan terbuka.

Ayat-ayat Setan menyulut kontroversi dan polemik berkepanjangan bahkan sampai sekarang. Sejumlah orang yang dikaitkan dengan novel ini di sejumlah negara ditemukan tewas, terutama para penerjemah The Satanic Verses ke bahasa-bahasa lain.  

Dalam novelnya Rushdie menyebut Rasulullah sebagai ‘’Mahound’’. Sebutan ini dimunculkan oleh tentara Perang Salib untuk menghina Muhammad saw.

Kata ini sekarang sudah jarang digunakan. Namun, ketika Rushdie menamai tokoh utama Ayat-Ayat Setan dengan nama itu sudah jelas bahwa ia merujuk kepada Muhammad.

Rushdie juga memunculkan tokoh Ayesha sebagai perempuan jahat. Juga digambarkan mengenai 12 perempuan yang disebutnya sebagai perempuan lacur yang mengelilingi kehidupan Mahound. Rujukan-rujukan ini jelas ditujukan kepada Aisyah, istri Rasulullah, dan istri-istri Rasulullah lainnya.

Di Indonesia pada abad ke-19 sudah ada karya sastra yang dianggap melecehkan Islam. Karya sastra yang disebut Serat Gatholoco itu mengkritik masuknya Islam ke Jawa dengan menghancurkan kerajaan Majapahit yang Hindu.

Gatholoco adalah suluk karya sastra Jawa klasik, berbahasa Jawa baru, berbentuk puisi tembang macapat berisi ajaran tasawuf atau mistik yang menggambarkan pengembaraan spritual Gatholoco dan Darmogandul yang menjadi batur kesayangannya. 

Dalam pengembaraan spritual itu Gatholoco berdebat dengan sejumlah ulama Islam mengenai ilmu sejati dan sangkan paraning dumadi, asal muasal penciptaan manusia dan tujuan hidupnya.

Dalam debat itu Gatholoco bisa mengalahkan para kiai dan menunjukkan keunggulan ilmu Jawa atas Islam.

Dalam pengembaraan spritual itu Gatholoco berdebat dengan sejumlah ulama Islam mengenai ilmu sejati dan sangkan paraning dumadi, asal muasal penciptaan manusia dan tujuan hidupnya.

Dalam debat itu Gatholoco bisa mengalahkan para kiai dan menunjukkan keunggulan ilmu Jawa atas Islam. Banyak dialog dalam serat itu yang dianggap pejoratif, merendahkan Islam.

Dalam sejarah Indonesia, kasus-kasus penistaan agama sudah banyak sekali terjadi. Sepanjang 1965 hingga 2017 terdapat 97 kasus penistaan agama.

Kasus yang terjadi sebelum reformasi hanya sembilan perkara, tetapi setelah reformasi jumlahnya membengkak menjadi 88 perkara.

Dua kasus penistaan paling menonjol sebelum reformasi adalah kasus HB Jassin dan Arswendo Atmowiloto. Jassin adalah kritikus sastra terbesar sepanjang sejarah Indonesia, dan Arswendo adalah salah satu penulis dan sineas paling produktif di Indonesia.

Pada 1970 Jassin diadili dan divonis satu tahun percobaan penjara karena menolak mengungkap identitas penulis Ki Pandji Kusmin yang menulis cerita pendek yang dianggap menghina Islam.

Majalah Sastra yang sangat prestisius dan diasuh Jassin memublikasikan cerpen ‘Langit Makin Mendung’ pada edisi 1968.

Ki Pandji Kusmin yang menulis cerpen itu adalah nama samaran.

Saat itu kontroversi pun meledak hebat. Umat Islam saat itu merasa tersinggung dengan cerpen tersebut yang dianggap menghina Islam. Cerpen ini bersifat pejoratif, mengolok-olok kesucian Allah, ajaran Islam, Nabi Muhammad beserta sahabatnya.

HB Jassin sebagai penanggung jawab Majalah Sastra dipaksa untuk mengungkap jati diri Ki Pandji Kusmin. Jassin menolak dan akhirnya divonis satu tahun penjara.

Arswendo Atmowiloto memimpin majalah Monitor yang laris karena menampilkan foto-foto artis yang “lher”.

Pada 1990 Arswendo membuat survei mengenai tokoh-tokoh yang paling populer.

Survei slengekan ini membawa petaka karena Nabi Muhammad hanya berada di urutan ke-11 di bawah Arswendo yang berada di nomor sepuluh. Presiden Soeharto menjadi sosok yang paling dikagumi oleh orang Indonesia sehingga duduk di posisi puncak.

Arswendo yang celelekan akhirnya divonis lima tahun penjara.

Kasus penistaan agama ala HB Jassin dan Arswendo dan kasus-kasus terbaru di era reformasi ini menunjukkan perubahan signifikan dalam cara pandang masyarakat terhadap agama.

Kasus Jassin dan Arswendo menunjukkan bahwa Orde Baru hanya mengadili kasus-kasus penistaan yang serius. Kasus itu melibatkan perdebatan intelektual yang konstruktif di ranah publik melalui media massa.

Di era reformasi, kasus penistaan agama ada yang disarati oleh faktor politik seperti dalam kasus Ahok. Ada juga masalah trivial seperti kasus pengeras suara di masjid. Perdebatan yang terjadi di ranah publik lebih banyak saling serang atau malah caci maki.

Indonesia sudah banyak terbelah oleh berbagai isu sosial dan politik yang terjadi belakangan ini. Kasus Zhang dan Muhammad Kace hanya akan menjadikan polarisasi sosial semakin besar. Polisi harus bertindak tegas untuk mencegahnya. (*)


Redaktur : Adek
Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler