JAKARTA - Rencana pembatasan konsumsi atau kenaikan harga BBM bersubsidi akan kembali ke titik awal. Pasalnya, lagi-lagi, pemerintah akan menggandeng 3 perguruan tinggi (PT) untuk mengkaji opsi-opsi yang selama ini berkembang.
Dirjen Migas Kementerian ESDM Evita H. Legowo mengatakan, sebagaimana tahun lalu, kali ini pemerintah akan kembali menggandeng 3 PT, yakni Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), dan Universitas Padjajaran (Unpad), untuk mengkaji dan memberikan masukan opsi mana yang terbaik. "Sekarang sedang dikerjakan, mudah-mudahan dua minggu selesai," ujarnya di Jakarta, Senin (6/2).
Sebagaimana diketahui, tahun lalu, ketika pemerintah berencana memberlakukan pembatasan BBM bersubsidi mulai 1 April 2011, pemerintah juga menggandeng 3 PT, yakni UI, ITB, dan Universitas Gadjah Mada (UGM) dengan ketua tim Ekonom UGM Anggito Abimanyu.
Menurut Evita, kali ini pemerintah merasa perlu mendapatkan kajian dari akademisi lagi karena saat ini muncul opsi konversi dari BBM ke BBG (bahan bakar gas). "Dulu waktu dengan (tim) Pak Anggito kan belum ada opsi gas, sekarang kan ada, jadi perlu kajian lagi," katanya.
Evita berharap, tim dari 3 PT tersebut bisa bergerak cepat untuk melakukan riset dan kajian, sehingga hasil kajian sudah bisa diserahkan kepada pemerintah paling lambat pertengahan Februari ini. "Setalah itu, hasilnya akan kami konsultasikan ke DPR," jelasnya.
Sebagai gambaran, berikut adalah 3 opsi hasil kajian tim yang dipimpin Anggito Abimanyu 2011 lalu. Namun, setelah dilakukan pembahasan dengan DPR, 3 opsi ini ditolak, sehingga kebijakan BBM pun mundur.
Opsi pertama, menaikkan harga BBM subsidi jenis Premium dari Rp 4.500 per liter menjadi Rp 5.000 per liter, kemudian menyiapkan pemberian uang kembali atau cashback sebesar Rp 500 per liter untuk kendaraan umum. Jika opsi ini dilakukan, maka pemerintah bisa menghemat subsidi hingga Rp 7,3 triliun per tahun.
Kelebihan opsi ini adalah mudah dilaksanakan. Namun, kekurangannya, kenaikan harga bisa memicu inflasi serta berimbas pada ongkos sosial politik.
Opsi ke dua, harga Premium tetap Rp 4.500 per liter untuk kendaraan umum dan sepeda motor, sedangkan mobil pribadi dilarang membeli BBM subsidi. Jika opsi dipilih, maka pemerintah bisa menghemat subsidi Rp 5,86 triliun per tahun.
Namun, pelaksanaan opsi ini mengharuskan seluruh SPBU memiliki dispenser BBM nonsubsidi (Pertamax/Pertamax Plus) untuk melayani mobil pribadi. Dengan demikian, butuh waktu untuk pengembangan infrastruktur, terutama untuk wilayah luar Jakarta.
Opsi ke tiga, harga Premium tetap Rp 4.500 per liter untuk kendaraan umum dan sepeda motor, namun dengan penjatahan sekian liter per hari. Sehingga, jika kendaraan umum atau sepeda motor membeli BBM subsidi melebihi jatah, maka kelebihannya harus dibayar sebesar Rp 5.500 per liter. Sedangkan mobil pribadi berhak membeli Premium dengan harga Rp 5.500 per liter.
Opsi ke tiga ini bisa menghasilkan penghematan Rp 8,6 triliun. Namun, kekurangannya, pemerintah harus memasang alat semacam smart card untuk seluruh kendaraan umum dan sepeda motor untuk mendeteksi konsumsi setiap hari. Dengan demikian, butuh pengembangan infrastruktur yang sangat besar. (owi)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Amankan Distribusi Pupuk, Pusri Gandeng Pelindo IV
Redaktur : Tim Redaksi