Meski menolak, dalam putusan yang dibacakan Rabu (12/9), satu dari delapan hakim berbeda pendapat (dissenting opinion). Hakim Akil Mochtar berpendapat permohonan uji materiil yang diajukan Majelis Rakyat Kalimantan Timur Bersatu (MRKTB), 3 warga Kutai Kartanegara, dan 4 anggota DPD Kaltim layak dikabulkan.
Alasannya, selaku daerah penghasil, Kaltim memikul tanggung jawab lebih besar untuk menjaga kelestarian lingkungan akibat aktivitas pertambangan migas. Tak hanya tanggung jawab pada masyarakat saat ini tapi bagi generasi akan datang. Perbedaan tanggung jawab terhadap lingkungan tersebut, menurut Akil, seharusnya jadi perhatian lebih dari pemerintah pusat dibanding daerah non-penghasil migas.
"Pengujian Pasal 14 huruf e dan 4 UU No 33 merupakan indikasi cukup akan adanya ketidakadilan dalam proses perumusan porsi pembagian dana bagi hasil (migas), maupun dalam proses distribusi dana bagi hasil," ucap mantan anggota DPR RI asal Kalimantan Barat ini.
Sebaliknya, ketua majelis Mahfud MD serta 6 hakim anggota lainnya berpandangan, tuntutan pemohon (MRKTB dkk) agar terjadi perubahan porsi bagi hasil minyak bumi dari 84,5 persen untuk pemerintah dan 15,5 persen untuk daerah, serta prosentase penerimaan gas sebanyak 69,5 persen (pemerintah) dan daerah sebesar 30,5 persen, tak bisa desetujui.
Bunyi pasal 14 huruf e dan f tersebut, menurut hakim, merupakan perwujudan UUD 1945 Pasal 33 tentang perekonomian bahwa semua sumber daya alam yang terkandung di perut bumi Indonesia dikuasai oleh pemerintah. Sementara penggunaanya demi kemakmuran seluruh rakyat. Artinya, pemerintahlah yang berhak membaginya dengan melihat asas keadilan, kebersaam efisiensi, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.
Sementara soal bagi hasil migas Papua dan Aceh yang mencapai 70 persen, dan menurut masyarakat Kaltim, merupakan bukti nyata ketidakadilan. Menurut hakim tak bisa disamakan. Artinya, Papua dan Aceh diberi kemudahan karena kedua provinsi itu tertinggal. "Papua masuk dalam pangkuan Indonesia mengalami keterlambatan sedangkan Aceh mengalami konflik berkepanjangan, sehingga keduanya mengalami keterpurukan," kata hakim anggota Achmad Sodiki.
TANPA FAKTA SIDANG
Terpisah, pengacara MRKTB, Muspani mengaku tak puas sebab tak sedikitpun fakta sidang yang dipertimbangkan hakim. Semisal keterangan 17 saksi dari daerah penghasil yang menyebutkan bahwa memang benar mereka mendapat risiko lebih besar dibanding daerah nonpenghasil migas. "Padahal bagi hasil migas mereka sama," kata mantan Anggoto DPD RI ini.
Selain fakta persidangan yang tak dinilai, lanjut Muspani, hakim juga tak menilai akibat buruk putusannya terhadap utuhnya persatuan dan kesatuan di Indonesia. Pasalnya, dessenting opinion dari Akil Mochtar dan pengakuan hakim bahwa Papua dan Aceh mendapat perlakuan berbeda bisa diartikan bahwa untuk menuntut sesuatu yang merupakan hak harus bergejolak dahulu.
"Jadi harus berdarah-darah dulu supaya dapat bagian yang layak. Padahal kita sudah menyalurkan aspirasi sesuai hukum (akukan gugatan lewat MK)," katanya.
Gugatan MRKTB yang sampai bisa menghadirkan saksi dari 17 daerah penghasil, menurut Muspani, bisa jadi bukti bahwa masyarakat Kaltim punya kemampuan untuk bergerak sendiri. "Kalau gugatan seperti ini saja masyarakat Kaltim bisa tanggung renteng (urunan), bukan tak mungkin biaya perjuangan lain bisa seperti ini juga," tegasnya (pra/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Tradisi Menulis Bentuk Peradaban Bangsa
Redaktur : Tim Redaksi