Kalau Ada 5 Orang Arab, Masing-Masing Beli 5 Kresek

Sabtu, 09 Februari 2013 – 07:42 WIB
BADAN Narkotika Nasional (BNN) memusnahkan ladang tanaman catha edulis di Cisarua, Bogor. Tanaman yang disebut ”teh arab” itu dinyatakan terlarang setelah terbukti mengandung cathynona yakni zat narkoba golongan 1. Tapi bagi sebagian orang, tanaman itu dianggap obat.
-------------
DANI TRI WAHYUDI, Cisarua
------------
Terik matahari terasa menyengat kulit. Namun angin berhembus sepoi-sepoi memberi sensasi sejuk. Udara Cisarua terasa panas di kulit tapi juga terasa dingin. Mungkin begitu pula perasaan para petani ”teh arab” yang ladangnya diminta untuk dimusnahkan.

Sejumlah laki-laki tampak sibuk mencabuti tanaman teh arab di ladang seukuran 500 m2. Warga setempat juga menyebutnya pohon gat sebagai penyingkat catha edulis. Ladang itu berada di belakang pos ronda Jalan Pasir Tugu, Kampung Inpres, RT 01/ 05, Desa Cibeureum, Kecamatan Cisarua, Bogor. Lokasi itu hanya sekitar dua kilometer dari Taman Safari, Cisarua.

Untuk mencapainya melewati jalan sempit berkelok-kelok dan naik turun. Ladang yang tanamannya dicabuti itu sudah diberi garis polisi tiga hari sebelumnya. Tampak ada tiga petak kebun di lokasi itu yang di-police line. Selain di lahan 500 m2, di sampingnya lahan seluas 400 m2, dan di belakang sekitar 300 m2.

Setelah dicabut, pohon teh arab yang rata-rata setinggi satu meter ditumpuk menjadi satu. Tumpukan-tumpukan tanaman itu yang akhirnya dibakar paksa menggunakan bensin. Di lokasi yang tidak berjauhan, ditemukan pula ladang-ladang gat serupa yang jika ditotal mencapai 3 hektare. Itu yang baru ketahuan.

Kebun-kebun itu sebelumnya adalah merupakan agro wisata favoritnya turis asal Timur Tengah. Betapa tidak, mereka datang untuk bertransaksi sekaligus mencicipi pucuk daun gat secara gratis di kebunnya. ’’Cara makannya begini saja. Petik pucuknya, dikunyah, lalu ampasnya dibuang,’’ ungkap H Hambali, salah satu pemilik ladang teh arab.

Hambali yang mengenakan peci warna putih memang menyandang status haji. Menurutnya warga setempat banyak yang haji. Secara tidak langsung dia menunjukkan status sosial warga setepat rata-rata menengah ke atas. Namun dia tidak mengatakan kalau strata sosial itu didongkrak dari penjualan daun gat.

’’Ini juga sudah haji Pak. Namanya haji Azis. Dia dulu sopir taksi khusus Arab,’’ ungkapnya, sembari menepuk pundak seorang pria berusia 35-an. Dia sendiri menanam gat masih berjalan dua tahun.

”Kalau Ibu Jamila itu Pak, nanam sejak 2005. Saya nanam ngikutin dia,” ujarnya sembari menunjuk seorang perempuan usia 40 tahunan berkerudung pink. Jamila nampak selalu sibuk meladeni pertanyaan wartawan. Maklum, ladang gat seluas 500 m2 miliknya itu menjadi sasaran pertama pemusnahan.

’’Dari tadi ditanya-tanya terus, tapi tidak dikasih duit,’’ ungkap Jamila dalam bahasa Sunda namun sembari tersenyum. Masih menurut Hambali, suami Jamila, yang dipanggilnya Pak Ullah, menjadi salah satu pelopor penanam gat di kampung tersebut.

Itu terkait profesi Ullah menjadi karyawan bekas Restoran Rindu Aden, yakni restoran khusus orang Arab. Di restoran itu, pucuk daun gat disajikan bersama menu makanan yang lain. ”Dia ambil beberapa pucuk dari restoran, ditanam di halaman ternyata tumbuh. Ya akhirnya berkembang sampai segini banyaknya,” urainya.

Singkat kata, banyak warga yang ikut-ikutan menanam pohon gat karena harganya tinggi dan pangsa pasarnya jelas. Menurut Hambali, menjual gat tidak susah. Hampir setiap hari selalu ada mobil travel yang membawa orang Arab datang ke kebun gat.

Di kebun itulah langsung transaksi dengan pemiliknya. Harganya nego. ”Tidak mesti Pak harganya. Satu kantong kresek kecil bisa laku Rp 100 ribu, Rp 200 ribu, 300 ribu, bisa sampai Rp 600 ribu, tergantung jadinya berapa dengan Arabnya,” ungkap Hambali.

Menurutnya, pengunjung asal Timur Tengah itu begitu ”rakusnya” makan pucuk daun gat terutama yang dari Yaman. Satu orang selalu menghabiskan kantong kresek dalam sehari. Pengunjung itu bisa kembali beberapa hari lagi untuk membeli barang yang sama. ”Kalau ada lima orang Arab datang kemari, kelima-limanya itu pasti membeli lima kantong kresek,” urainya.

Yang paling laris jika musim Arab antara lain bulan Juni-Juli. Saat itulah petani gat mendulang keuntungan berkali-kali lipat. ”Makanya sebulan sebelum musim Arab, kita pangkas dulu. Karena setelah dua puluh hari baru tumbuh daun pucuknya, itu yang kita jual,’’ urainya.

Hambali mengaku, selain pengunjung warga Timur Tengah, pelanggan tetapnya adalah staf Kedubes Yaman di Indonesia. Menurutnya, orang staf kedubes sering datang rombongan untuk memborong daun gat. ”Tapi kadang-kadang juga cukup sopir kedutaan yang datang, tapi belinya banyak titipan staf di sana,” urainya.

Di lokasi tersebut tersedia dua jenis gat, yakni gat hijau atau orang Arab menyebutnya ahdor dan gat merah atau disebt ahmar. Masing-masing itu ada penggemarnya sendiri-sendiri. Jika gat ahdor, terasa pahit agak getir saat dikunyah. ”Tapi yang ahmar agak ada manis-manisnya dikit,” urainya. (*)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Mall Mulai Berhias, Bunga Meihwa Paling Laris

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler