Kalau Hanya Berwacana, Pulang Kampung Saja

Senin, 09 Januari 2012 – 00:09 WIB
Ketua DPR RI Marzuki Alie. Foto : Arundono W/JPNN

Sejak duduk sebagai Ketua DPR RI dua tahun lalu, nama Marzuki Alie nyaris tak pernah lepas dari kontroversi. Publik misalnya mencatat kontroversi pernyataan Marzuki soal korban tsunami di Mentawai, proyek gedung baru DPR dan segala sarana penunjangnya, kiai amplop, hingga perbaikan toilet untuk para wakil rakyat di Senayan yang akhir-akhir ini diributkan.

Sampai-sampai, banyak pihak menduding mantan Sekjen Partai Demokrat itu reaktif dan tipis kuping. Tapi Marzuki seolah tak peduli dengan tudingan orang lain. Mantan Direktur di salah satu BUMN pabrik semen itu mengaku tak peduli dengan citra.

Baginya, demi perbaikan lebih baik melakukan hal konkrit yang berisiko tak populer ketimbang hanya berwacana tanpa tindakan. "Cita-cita saya bukan popularitas," katanya kepada Boy M Kusdharma dan Arundono Wicaksono dari JPNN.

Berikut kutipan wawancara dengan Marzuki di rumah pribadinya yang terletak di kawasan pemukiman padat penduduk, Cawang, Jakarta Timur, Sabtu (7/1) lalu.


Anda sering memicu kontroversi dengan pernyataan-pernyataan yang terkadang melawan opini publik, dianggap tipis kuping dan reaktif?

Orang sekarang berpikirnya sesaat, hanya melihat apa yang ada di hadapan tetapi tidak melihat apa yang menjadi dasar persoalan itu. Kalau saya bilang dangkal nanti salah, marah lagi ya. Tetapi, kalau saya selalu berpiki itu melihat sebagai suatu sistem, setiap kejadian itu pasti dalam rangkaian sistem. Tidak mungkin dia satu bagian yang berdiri sendiri. Itu pasti. Dan orang melihatnya pada saat ini. Dia tidak melihat ke belakang. Akibatnya seolah-olah saya kontroversial.  Jadi cara pandang, cara pikir dan bagaimana kita mensikapi itu yang berbeda.

Bangsa ini perlu orang yang berani menyampaikan secara berani namun harus logis, didasarkan pada landasan-landasan pikiran-pikiran yang betul-betul sistematis, sehingga kita bisa mendapatkan satu solusi. Kita hanya bicara lips service, kemasan-kemasan bahasa yang bagus, tapi tidak menyelesaikan persoalan.

Tapi itu akhirnya menimbulkan kesan Anda menjadi tidak populer. Apa sudah siap dengan risiko itu?

Hidup ini kan sesaat. Jabatannya (sebagai Ketua DPR) maksimum lima tahun. Apakah hidup ini hanya mencari popularitas? Kalau hidup hanya mencari popularitas buat apa kita duduk di DPR? Tidak ada gunanya.

Cita-cita saya bukan mencari popularitas. Saya ditugasi sebagai Ketua DPR itu pasti ada satu misi, bagaimana agar DPR ini menjadi lebih baik. Tetapi kalau hanya mencari popularitas tidak akan membawa perubahan, saya pulang kampung saja. Saya masuk politik ini dengan satu tekad memerbaiki bangsa melalui partai. Itu tekad saya. Saya masuk politik ini dengan berkonsultasi dengan para kyai, karena politik itu di mata orang tua saya dulu dan para kyai dulu, sangat buruk.

Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dikenal dengan pencitraannya. Tapi seorang Marzuki yang juga kader Partai Demokrat sepertinya tidak peduli dengan citra?

Politik itu citra. S3 saya mengambil marketing politik. Dalam marketing politik, saya paham betul tentang citra kok. Salah satu yang diproduksi politik itu ya citra. Citra itu yang akan menentukan orang itu.

Tapi kesannya Anda tidak mem-branding diri sendiri?

Saya itu bukan orang yang ambisius mengejar jabatan. Kecuali saya punya cita-cita menjadi apa, tentu saya siapkan betul bagaimana citra saya ini bisa baik, biar orang percaya dan orang akhirnya ya sangat membangun hubungan dengan citra yang saya bangun. Tapi, saya bukan orang yang biasa berwacana, saya ingin berbicara yang konkrit, yang bermanfaat untuk, kalau dibilang rakyat, ya itu bermanfaat betul untuk rakyat. Kalau sekedar untuk berwacana, saya pulang kampung saja.

Jika yang anda lakukan dan sampaikan ternyata bertentangan dengan wacana yang dilontarkan pemerintah, reaksi SBY dan kader Demokrat kepada Anda seperti apa?

Beliau (SBY) dalam konteks menyampaikan pendapat, sepanjang disampaikan dengan cara yang baik, beliau tidak pernah meributkan. Pemerintah dikritik, tetapi dengan cara yang baik. Ada ruang untuk kader Demokrat supaya punya kreativitas mengkritik apa yang dilakukan pemerintah. Jadi, bukan berarti kita itu gelap mata salah benar didukung, tidak ada. SBY bukan begitu tipikalnya.

Sekarang masalah WC, kiai amplop. Dulu masalah gedung baru DPR dan itu seolah-olah sasaran tembaknya adalah Anda. Merasa ada skenario tertentu untuk memojokkan anda?

Saya anggap orang tidak tahu. Saya anggap masyarakat tidak tahu. Makanya di twitter itu saya jelaskan, luruskan. Masalah gedung, tidak ada urusan dengan Ketua DPR. Coba lagi baca Undang-undangnya. Tapi, ya terakhir memang agak keras juga dalam minggu ini. Karena keras sudah keterlaluan juga, masa’ Ketua DPR disamakan dengan konteks bicara WC, ada martabat yang harus saya jaga juga. Saya bilang untuk hal yang seperti itu walau pekerjaan Sekjen, saya berani pasang badan. Karena apa, di mana-mana yang namanya toilet, WC kalau rusak itu wajib dibenarkan. Kalau toilet itu digunakan air mampet, saluran mampet, WC-nya mampet, antara najis dan bersih tak jelas, kita wudhu saja jadi masalah kita biarkan, kita  bersalah. Jadi, kalau konteks untuk perbaikan saya pasang badan.

Tapi kok rakyat ini dibawa menjadi bodoh, rakyat ini dibawa menjadi sudah tidak rasional. Kalau opini publik yang dibangun itu salah, kita harus berani tampil, bahwa salah ini, cara pikir begini salah. Bahwa kenapa kita mau ikut pemikiran yang salah" Alangkah gobloknya bangsa ini ikut pemikiran salah, seolah-olah bangsa ini sudah goblok semua. Saya tidak mau ikut dalam rombongan itu.

Dua tahun di DPR apa target yang sudah terpenuhi dan apa yang belum terealisasi?

Banyak target. Terus terang ya, kalau dibilang yang terpenuhi, saya tidak bisa menjelaskan secara konkrit. Seperti saya meyakinkan Kesekjenan, bagaimana kita membuat satu sistem untuk menampung aspirasi masyarakat melalui online, itu setengah mati saya jelaskan. Saya bilang ke Sekjen, itu sederhana. Kalau tidak bisa, saya panggil orang-orang saya untuk mengerjakan.

Ada pengaduan sudah melalui web, online SMS gateway, tindaklanjutnya bagaimana, ini yang belum. Tidak bisa saya sentuh ini. Itu persoalannya. Makanya saya minta kepada Bu Sekjen, dari sekian banyak aspirasi yang masuk, yang diserahkan kepada komisi berapa banyak dan berapa persen penyelesaiannya. Itu sampaikan ke publik, biar mereka kaget.

Hasil konkrit apa? Dulu anggaran di Sekjen tidak transparan, sekarang transparan. Tahun pertama sudah saya suruh buka ke semua alat kelengkapan. Jadi anggaran berbasiskan kinerja. Memang akhirnya seperti sekarang. Mungkin tidak banyak lembaga lain, tapi keterbukaan kita (DPR,red) sudah sangat luar biasa.

Yang jelas saya masih jauh dari target, selama kelembagaan DPR ini belum terbangun.  Kalau supporting system sudah mendukung untuk perkuatan kelembagaan, di situ saya merasa setengah pekerjaan saya selesai. DPR ini perlu supporting system. Dari tahun 1998, sampai 13 tahun berjalan reformasi, DPR yang mempunyai kekuasaan yang sangat powerful tapi tidak pernah dibangun kelembagaannya. Ini yang membuat DPR ini babak belur.

Wajar saja kualitas pengawasan tidak memadai, kualitas legislasi tidak memadai, masalah budgeting juga tidak memadai. Tetapi kalau supporting system sudah selesai kita bangun, disana ada badan legislasi, ada namanya badan fungsional keahlian, legislation center, kita punya database seluruh UU yang ada yang pernah lahir di republik ini. Di sana kita punya orang yang merancang, punya orang yang ahli dalam berbagai aspek menyangkut legislasi, sehingga orang DPR hanya berbicara dalam konteks politiknya saja. Sehingga penyelesaian UU sangat cepat, tidak seperti sekarang bertele-tele.

Dari semua itu yang mana yang Anda prioritaskan?

Ketiga-ketiga nya, karena itu mereformasi Kesekjenan. Saya sudah ancam Sekjen, kalau tidak ada progres sampai akhir tahun, Ibu Sekjen (Nining Indra Saleh,red) siap-siap saya ganti.

Kalau ada ancaman, berarti ada perlawanan dari internal kesekjenan?

Saya tidak ada urusan. Ini menyangkut Sekjen. Ini kan organisasi di bawah Sekjen. Seperti budget office, ini sangat penting, karena DPR punya kekuasaan membahas dan mengesahkan. Membahas tapi tidak punya database, bagaimana membahasnya? Akhirnya ya jadilah seperti sekarang. Alokasi budget tidak jelas. Harusnya alokasi budgeting itu berdasarkan indikasi yang ada di daerah. Daerah kaya makin kaya, daerah tertinggal makin tertinggal, apa gunanya sebagai NKRI? Kalau budget office terbentuk kita punya analis yang cukup, orang DPR tidak punya banyak persoalan yang teknis.

Seorang Marzuki tentu punya cita-cita politik lain setelah 2104...

Saya tidak pernah berpikir itu. Kalau saya berpikir itu, saya lupa dengan kerjaan saya.

Tapi, perolehan suara kongres Partai Demokrat di Bandung lalu setidaknya sudah membuktikan kekuatan Anda?

Karena kedekatan dalam mengurus mereka. Saya mengurus mereka betul-betul mengurus. Saya tidak pernah menyakiti mereka kok. Boleh tanya kader se-Indonesia, pernah nggak saya meminta sesuatu, dalam kaitan pilkada mereka bawa calon pernah tidak saya minta kepada calon? Boleh dicek. Malah ada kader yang saya bantu, karena dia punya potensi maju dan menang di Pilkada. Ada beberapa.

Jadi, jangan dibilang kita minta, jauh panggang dari api. Ada kader kita yang mau kasih saya. Sudah saya bilang kamu gunakan buat kampanye, jangan pikirkan saya. Kalau kamu bakal menang, saya bantu. Kalau bakalan kalah tidak usah, ngapain ngabisin duit. Tanya deh kader seluruh Indonesia, ada tidak saya melakukan itu. Alhamdulillah saya jaga.

Ketika belum masuk DPR dengan sekarang menjadi Ketua DPR dengan protokoler, perbedaan paling nyata apa yang Anda rasakan?

Saya biasa-biasa saja. Saya tidak menganggap itu suatu hal yang istimewa. Karena saya tidak terlalulah protokoler. Awal-awal kalau mau naik pesawat kok saya dibawa ke ruangan  VIP. Tidak mau saya. Jalan biasa saja. Dulu selalu disambut Sekjen kalau pulang. Ngapain? Lama-lama mereka tahu akhirnya tidak lagi.

Orang ikut saya, kaget-kaget saja. Saya berpikir hidup biasa itu banyak kawan. Saya bilang, kalau kita menaikkan cara hidup kita, kita mengurangi sahabat. Kita kan lihat struktur kelompok masyarakat kita, yang banyakkan di struktur bawah. Kita berada pada posisi ini kawan kita banyak. Kalau kita menaikkan, sepi kawan kita.

Sejak menjadi Ketua DPR, adakah kegemaran Anda yang terampas?

Tidak ada yang terampas. Semuanya saya jalani. Cuma waktunya saja yang banyak habis terpakai. Dulu istirahat banyak, sekarang istirahat kurang. Berat badan dari dulu sampai sekarang 71 kg - 72 kg. Tidak ada yang berubah. Dari dulu gini-gini saja. Majelis taklim jalan terus. Tidak ada yang terampas. Apa yang berubah? Kehidupan, ya begini saja. Cuma waktunya saja. Cuma yang kayak gini (berkas di meja kerja yang harus ditandatangani) hari libur juga harus dikerjakan. Kalau terpaksa harus selesai besok, ya harus dikerjakan.  Mau tidak mau. Kadang saya bawa kemana saya jalan. Ini yang orang tidak lihat. Ini banyak makan waktu, karena harus dibaca, menyita pikiran.(boy/ara/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Merasa Kerja di Ruang Kaca


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler