Merasa Kerja di Ruang Kaca

Rabu, 28 Desember 2011 – 18:33 WIB
AKSI MEMBELA SUMIATI : Anggota DPR Rieke Diah Pitaloka saat berorasi bersama sejumlah Anggota dari Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia (ATKI) dan Migran Care melakukan aksi teatrikal di depan Gedung Kedutaan Besar Arab Saudi, Jakarta Timur, Jumat, 11 Nopember 2011. FOTO:RUNI/RAKYAT MERDEKA

SEBAGAI politisi perempuan, kiprah si Oneng cukup mewarnai dinamika perpolitikan tanah airPemilik nama lengkap Rieke Diah Pitaloka Intan Permatasari ini galak bersuara tentang isu-isu populis, mulai soal TKI/TKW, hingga saat perdebatan sengit pembahasan RUU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)

BACA JUGA: Masuk Main Sogok, Mental PNS Rusak



Belakangan, politisi PDI Perjuangan kelahiran Garut, Jawa Barat, 8 Januari 1974 itu, sudah ancang-ancang maju sebagai cagub Jabar
Entah apa lagi target anggota Komisi IX DPR yang dulu pernah dekat dengan Gus Dur itu.

Berikut petikan wawancara wartawan JPNN M

BACA JUGA: Kalau Punya Niat Harus Jadi

Kusdharmadi dengan Rieke Diah Pitaloka, Rabu (28/12).

Apa yang membuat anda tertarik terjun ke dunia politik?
Politik adalah hidup saya
Persentuhan pertama kali saya dengan dunia politik adalah lewat diskusi meja makan di rumah orang tua

BACA JUGA: Kematangan tak Ditentukan Usia

Kami punya kebiasaan makan bersamaOrang tua dan enam orang anakSaya anak ke enamLewat pendidikan politik di meja makan itulah  rasa cinta saya pada dunia politik ditanamkan.

Orang tua saya menanamkan keyakinan pada diri saya lewat cerita masalah-masalah sosial di sekitar kami, bahwa politik itu sejatinya adalah kerja bersama untuk kepentingan bersamaAyah saya seorang pengacara terutama untuk kasus-kasus pidana.
Kami anak-anaknya untuk kasus-kasus tertentu diajak melihat proses sidangSetelah saya dewasa saya baru sadar bahwa itu cara ayah menunjukan adanya ketidakadilan, yang legal belum tentu bermoral.

Selain orang tua, siapa guru politik Anda?
Persentuhan awal dengan  dunia politik juga saya dapatkan sejak kecil dari karya sastra, lewat puisi-puisi yang ibu bacakan sebagai pengantar tidur, seperti karya Sitor Situmorang, Toto Sudarto Bachtiar dan lewat karya-karya Pramoedya Ananta ToerSejak kelas 6 SD saya sudah membaca ‘Di Bawah Bendera Revolusi’ karya Bung Karno yang ada di perpustakaan pribadi ayah dan ibuIbu saya sampai akhir hayatnya adalah pekerja sosial yang sering mengajak saya mengunjungi mereka yang termarginalkanIngatan-ingatan terhadap peristiwa-peristiwa masa kecil itulah yang menuntun saya untuk mencintai dunia politikOrang tua secara tidak langsung mengajarkan bahwa kerja politik adalah sebuah kerja nyata, bukan pencitraan politis.

Bisa cerita perjalanan karir politik Anda?
Setelah aktif di gerakan mahasiswa 97-98 saya memutuskan masuk partai politik pada tahun 1999Saat itu saya memutuskan bergabung dengan PKB di bawah kepemimpinan Gus DurSaya memulainya dengan masuk sayap partai, satu-satunya perempuan, yang terlibat dalam pendirian Garda Bangsa, organisasi pemuda PKB.

Selama hampir sembilan tahun saya berproses politik di PKBSaya beruntung tidak hanya dianggap sebagai kader partai, tapi juga kawan seperjuangan oleh Gus DurLewat beliau saya belajar dalam politik untuk sebuah prinsip yang benar kita harus berani berbeda dengan orang lain, meski kita harus memerjuangkannya seorang diri.

Kok lantas ke PDI Perjuangan?
Pada 2007 atas pertimbangan Gus Dur karena persoalan ideologi yang tidak  diimplementasikan, saya disarankan untuk hijrah ke PDI PerjuanganMeski pada saat itu saya sudah menjabat Wasekjen DPP PKBLewat konsultasi dan perenungan yang saya lakukan, saya memutuskan untuk membuka komunikasi dengan PDI PerjuanganKebetulan saya cukup dekat dengan Mbak Ribka Ciptaning.

Komunikasi berulangkali saya lakukan dengan pimpinan-pimpinan partaiJadi, bukan PDI Perjuangan yang meminang saya, tapi saya yang memutuskan menjadi kader partai banteng moncong putih iniBagi saya, keputusan politis adalah hak privat saya sebagai manusiaTidak bisa karena sekedar dorongan atau ajakan orang lainTapi saya memutuskan masuk secara resmi sebagai kader PDI Perjuangan karena pertimbangan ideologi partai yang bisa saya perjuangkan dan implementasikan untuk rakyat.

Sejak 2008 saya resmi tercatat sebagai anggota PDI PerjuanganItu pun saya lakukan dengan proses bertahapMeski di PKB saya dulu sudah menjabat DPP, ketika masuk ‘rumah baru’ saya sadari betul saya harus memulainya dari awal lagiSaya menjadi pengurus sayap partai, sebagai Sekjen DPP Taruna Merah Putih.

Ada anggapan artis hanya dijadikan alat pendulang suara bagi partaiTanggapan Anda?
Bagi saya dalam politik yang  penting bukan bagaimana kita bisa punya kedudukan dan kekuasaanYang penting dalam politik, juga dalam politik formal justru bagaimana proses kita menjadi seorang politisiKontrak politik saya dengan PDI Perjuangan jelas, mereka meminta saya untuk menjadi kader partai yang siap menjalankan ideologi dan garis partaiSaya meminta PDI Perjuangan memerlakukan saya sebagai kader partai yang punya hak dan kewajiban yang sama dengan kader-kader lainSaya tidak ingin diposisikan sebagai entertainer dalam partaiTapi, sebagai petugas partai.

Atas dasar komitmen tersebut, saya memutuskan mencalonkan diri dalam pemilu legislatif 2009Dengan perjanjian, jika saya terpilih saya meminta untuk ditugaskan di komisi yang berhubungan dengan tenaga kerjaPartai pun menyetujui dan membuktikan janjinyaLatar belakang belakang profesi saya sebagai entertainer tidak sekedar diposisikan sebagai pencari suaraMeski pun saya orang baru saya diberi daerah yang merupakan basis partai (Jabar II Kab Bandung dan Kabupaten Bandung Barat) dengan nomor urut 2 dan satu dapil dengan Pak Taufik Kiemas yang dengan sabar memerkenalkan dan membimbing saya membangun komunikasi politik dengan struktur partai sampai tingkat ranting.

Janji partai kepada saya ditepatiSaat saya  terpilih saya ditugaskan di Komisi IX yang  membidangi masalah tenaga kerja dan kesehatanPolitik bukan sesuatu yang tiba-tiba dan instant bagi sayaKeputusan untuk bertugas di Komisi IX sudah saya rencanakan jauh-jauh hari bahkan sebelum saya mencalonkan diri di Pileg 2009Dengan dibantu jaringan buruh dalam negeri dan juga jaringan TKI, saya memersiapkan agenda-agenda  politik di DPR, termasuk legislasi yang harus diperjuangkan dan penanganan kasusJadi sebenarnya di Parlemen selain karena tentu saja dukungan partai, saya bisa kerja sejauh ini dengan beberapa pencapain dalam dua tahun menjadi wakil rakyat, karena dukungan dan support yang kuat dari ekstra parlemen.

Bagaimana dengan dunia keartisan Anda?
Hal lain yang juga penting adalah dalam kehidupan kita, tak mungkin kita lepas dari politikKetidakadilan, pemiskinan dan pembodohan datang akibat kebijakan politikLalu apa hubungannya dengan dunia seni? Jangankan dunia seni, harga cabe saja adalah hasil kebijakan poltikPetani bisa sejahtera pun tergantung kebijakan politikApalagi dunia seni.

Bagi saya seni dan politik adalah dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkanDalam proses saya sebagai pekerja seni, saya diberi pelajaran berharga, kerja seni pun sesungguhnya adalah kerja politikKarena produk-produk dari sebuah kerja seni dinikmati orang banyak, bahkan berpengaruh terhadap kehidupan publik.

Karena kesadaran itulah dalam proses saya berkesenian selanjutnya, saya termasuk artis yang pilih-pilih peranKesadaran politik membantu saya menjadi pekerja seni, bukan sebagai obyek seniBegitu pula dengan puisi-puisi yang saya tulisTuhan memertemukan saya dengan penyair Sitor Situmorang yang bersedia menjadi guru menulis puisi sayaPak Sitor bersedia saya repotkan seminggu sekali di rumahnyaBeruntung sekali, karena lewat beliau saya tidak hanya belajar teknis penulisan, tapi juga substansi karya seni termasuk puisi yang politis.

Pesan Pak Sitor, “Jangan hanya menulis tentang hidupmu, menulislah tentang hidup orang lain dalam  karyamu, sehingga mereka hidup dalam setiap kata yang kau tuliskan.” 

Lewat Pak Sitor dan karya-karya Wiji Thukul saya belajar bagaimana seni bisa ‘bekerja’ untuk kepentingan orang banyakDan itulah kerja politikLewat puisinya, wiji Thukul, meski tak hadir secara fisik, namun bisa menggerakan ribuan mahasiswa untuk menggulingkan rezim Orde BaruDan saya ada pada masa itu, membacakan puisi-puisi Thukul di panggung-panggung demonstrasiTanpa merasa digurui, sebuah karya seni yang  lahir dari empati dan hati mampu membuat sebuah perubahanItulah kenapa bagi saya politik butuh seniSupaya tidak kasar, supaya tidak rakus, supaya tidak alpa terhadap amanatPolitik harus berempati dan dekat dengan kisah mereka yang papa yang tertindas yang didzolimi, agar kebijakan poltik yang dihasilkan jelas arah dan tujuannya untuk siapa.

Apa lagi yang Anda impikan sebagai wakil rakyat?
Saya ingin kerja politik seorang politisi seperti yang diajarkan orang tua yakni kerja riil untuk rakyatJelas ideologi, agenda, langkah dan indikator-indikator suksesnyaYang lebih penting untuk pekerjaan di parlemen, saya selalu katakan politisi harus merasa kerja di ruang kacaSehingga merasa diawasi publik dan kerja betul-betul untuk publikRakyat yang harus mendiktekan apa yang mereka butuhkan, bukan sebaliknya***

BACA ARTIKEL LAINNYA... Saya Tak Pernah Pegang Baut Jembatan


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler