KaliCodefest, Komunitas Warga yang Ingin Menyejahterakan Kali Code

Bersihkan Sungai, lalu Bikin Wisata Air

Minggu, 03 Februari 2013 – 13:06 WIB
PEDULI: Ketua Divisi Network Kalicodefest Hernindya Wisnuadji ketika ditemui Jawa Pos Radar Jogja kemarin (2/2). FOTO: Jawa Pos
Kali Code, bagi masyarakat Jogjakarta, begitu berarti. Mendiang budayawan Y.B. Mangunwijaya bahkan pernah tinggal di tepi sungai itu bersama komunitas Anak-anak Girli (Pinggir Kali). Grup band beraliran SKA Shaggydog juga lahir tak jauh dari Kali Code. Masyarakat di bantaran sungai itu pun membentuk KaliCodefest untuk ’’menyejahterakan’’ Kali Code.

-----------------------------------------------
HEDITIA DAMANIK, Jogjakarta
-----------------------------------------------

Langit Kota Jogja masih tampak kelabu selepas hujan, kemarin (2/2) sore. Meski begitu, sejumlah anak-anak terlihat asyik bermain layang-layang di jalan setapak pinggir Kali Code, tepatnya di utara Jembatan Amarto. Di bawah jalan setapak yang dibatasi bronjong itu ada sebuah warung kecil dengan tumpukan kursi dan meja yang belum buka.

’’Di angkringan (warung kopi, Red) kecil ini biasanya teman-teman KaliCodefest ngumpul,’’ ujar Ketua Divisi Network Kalicodefest Hernindya Wisnuadji ketika ditemui Jawa Pos Radar Jogja kemarin.

KaliCodefest merupakan komunitas masyarakat bantaran Kali Code yang peduli terhadap lingkungan sungai legendaris itu. Pendiriannya diinisiasi anak-anak muda yang lahir dan besar di ledok kali itu. Khususnya di RW 11 Kampung Jogoyudan Jetis.

Menurut Adji --begitu Hernindya Wisnuadji kerap disapa--  diskusi-diskusi tentang persoalan lingkungan Kali Code sudah mereka adakan  sejak dua tahun lalu. Tapi, baru bisa dimanifestasikan dalam sebuah komunitas pada November 2012.

’’Ya kami kecil di sini. Walaupun waktu gedenya berpencar-pencar, tapi kami punya niat yang sama untuk bisa berbuat sesuatu bagi lingkungan Kali Code yang lebih baik,’’ tuturnya.

Salah satu upaya yang dilakukan komunitas ini adalah menjadikan Kali Code sebagai salah satu objek wisata air di tengah kota melalui program inovasi kampung. Hari ini (3/2), mereka akan mulai membuka transportasi kayak, sejenis sampan kecil untuk berwisata air melintasi Kali Code sepanjang 100 meter.

Kali Code, kata Adji, memang tidak terlalu dalam. Tapi masih bisa digunakan untuk dinaiki kayak. Untuk meramaikan aktivitas itu, KaliCodefest menggandeng Kayaking Jogja, komunitas para pencinta kayak di Kota Gudeg. ’’Kami akan mulai mencoba besok (hari ini),’’ kata dia.

Keberadaan wisata dengan berkayak di Kali Code bisa menumbuhkan geliat ekonomi di kalangan warga sekitar. Warga bisa berjualan makanan, membuka lahan parkir, dan memasarkan merchandise. Para ibu di Kampung Jogoyudan, misalnya, akan berjualan bakmi kopyok, makanan berbahan utama bakmi yang tidak ditemui di tempat lain. Tak ketinggalan, para remajanya menjajakan aneka kerajinan buatan sendiri.

Tapi, kata Adji, yang paling penting, aktivitas ini bisa menyentil warga tentang pentingnya memelihara lingkungan dengan tidak membuang sampah di Kali Code. Warga juga diajak untuk menjaga kebersihan dan kelestarian lingkungan di sekitarnya.

’’Aktivitas warga membuang sampah di Kali Code sekarang sudah berkurang banyak dibanding ketika saya kecil dulu pada tahun 1980-an,’’ ujar relawan di LSM Idea tersebut.

Tak hanya untuk orang dewasa, anak-anak juga bebas beraktivitas. Pada tahun baru lalu, misalnya,  KaliCodefest menggelar acara penerbangan ribuan balon harapan anak-anak Kali Code. Balon aneka warna itu ditulisi nama anak-anak dan harapan mereka tentang masa depan, lingkungan, pendidikan, dan pemimpin kota ini. Penerbangan balon itu untuk melambangkan bahwa anak-anak perlu menggantungkan cita-cita mereka setinggi langit.

Dalam waktu dekat anak-anak akan diajari menggambar sketsa di pinggir kali. Kegiatan ini merangkul para aktivis Sketching Jogja, komunitas sketsa Jogja.

’’Tapi tidak hanya menggambar sketsa saja, dalam kegiatan itu juga disisipkan nilai-nilai  cinta lingkungan. Jadi ada pesan yang diselipkan,’’ sambung pria yang pernah belajar audit sosial di India tersebut.

Tidak hanya itu, KaliCodefest ikut serta dalam mengakurasi data warga di Kampung Jogoyudan melalui sistem informasi kampung (SIK). Ketua RT 44 Jogoyudan Joko sering mengeluhkan data warga yang tidak rapi karena dibuat secara manual. Dari situlah kemudian terpikir untuk membuat SIK yang memuat data warga di tiap-tiap RT yang langsung di-online-kan dengan data based di kelurahan maupun kecamatan. SIK ini sendiri diluncurkan pada 16 Desember 2012.

Menurut Joko, pengurus kampung sering kesulitan saat menerima corporate social responsibility (CSR) perusahaan karena tidak adanya data warga yang akurat.

’’Pernah ada perusahaan yang memberi CSR ke kampung ini tapi peruntukannya sangat spesifik, yakni untuk anak-anak SMP. Ketua RT saat itu kesulitan untuk mencari sejumlah anak SMP di sini karena tidak adanya data yang lengkap dan update. Dengan SIK ini kami tinggal search saja. Data juga bisa di-update setiap waktu,” terang dia.

Namun perubahan untuk kampung yang lebih baik, kata Adji, harus didorong oleh pengetahuan warga yang mumpuni. Karena itu, KaliCodefest membuka sekolah kampung, sebuah media diskusi warga namun memiliki tema yang tersusun. Di situ mereka akan memperbincangkan persoalan-persoalan yang terjadi di bantaran Kali Code.

Misalnya, persoalan PP 38 tahun 2011 tentang sungai. Dalam PP itu diamanatkan bahwa sejauh 10 meter dari bibir sungai harus bebas dari permukiman warga. Bagi warga pinggir bantaran, hal ini menjadi peraturan yang dilematis. Sebab, bila bantaran Kali Code harus dikosongkan, ribuan KK (kepala keluarga) harus pindah.

’’Tapi, kalau tidak, rumah warga akan rentan terkena bencana banjir atau lahar dingin Merapi,’’ jelas pria kelahiran 19 Agustus 1975 itu.
Selama ini warga kecewa dengan kebijakan pemerintah yang sering tidak melibatkan warga kampong setempat dalam pengambilan keputusan. Misalnya, saat ini di setiap 700 meter sepanjang Kali Code ada petugas dari Badan Lingkungan Hidup (BLH) Jogja yang setiap hari memantau dan memastikan kebersihan kali.

Tapi, penurunan petugas BLH itu tidak menyertakan warga dalam pembahasannya. Kebijakan untuk setiap kampung juga kerap disamakan. Padahal kebutuhan warga kampong di pinggir Kali Code dengan warga di kampung lain, berbeda.

’’Kebijakan-kebijakan seperti itu kami bicarakan di sini. Harapannya bisa diangkat dalam musrenbang (musyawarah perencanaan pembangunan) sektoral 16 kelurahan di bantaran Kali Code dan disampaikan kepada pemerintah,’’ tandasnya. (*/ari)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Karyawan Telantar, Refund Tak Pasti

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler