jpnn.com, JAKARTA - Kementerian Perdagangan RI menyatakan banyak kampanye negatif yang menimpa kelapa sawit Indonesia.
Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan (BP3) Kemendag menyampaikan maraknya kampanye negatif ditujukan untuk menekan daya saing Indonesia di pasar internasional.
BACA JUGA: Warga Sumbar Gali Potensi Lain Kelapa Sawit, Tak Disangka Mampu Mendongkrak Penghasilan Tambahan
Kampanye tersebut dilakukan lantaran tingginya produktivitas komoditas dalam negeri seperti sawit, yang menjadi ancaman bagi industri yang dihasilkan negara-negara di Uni Eropa.
“Sebenarnya, hambatan non tarif ini bagian persaingan dagang. Sawit, misalnya, ini head to head dengan minyak nabati lain di Eropa seperti minyak kedelai, minyak bunga matahari, dan kanola. Karena, minyak nabati non sawit ini kalah dari segi produktivitas dan harga. Akibatnya sawit terus diganggu dengan kampanye negatif,” kata Kasan lewat keterangannya di Jakarta, Selasa (27/7).
BACA JUGA: Tak Hanya Jambi, Harga CPO Riau Naik Tajam, Masih Bisa Berlanjut?
Kasan juga memaparkan bahwa kontribusi sawit terhadap ekspor non migas sebesar 13,6 persen sepanjang 2020. Capaian itu menunjukkan bahwa selama pandemi, industri sawit tetap tangguh, sebab, kelapa sawit menjadi bagian dari bahan baku produk sektor makanan, kebersihan, dan kesehatan.
Meski demikian, di pasar internasional ekspor sawit Indonesia masih terus menghadapi tantangan dari hambatan non tarif seperti isu lingkungan dan kesehatan yang dikampanyekan sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) internasional.
BACA JUGA: Harga CPO Jambi Naik Signifikan, Jadi Sebegini...
Saat ini, hambatan utama perdagangan sawit masih berasal dari kebijakan non-tarif terutama di Uni Eropa.
Sementar itu, Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI) Tungkot Sipayung menyampaikan bahwa hambatan non-tarif, seperti kampanye hitam, berpotensi mengganjal ekspor sawit dari Indonesia dalam jangka panjang.
“Saat ini, kelapa sawit dan kehutanan diserang kampanye hitam karena menggunakan isu yang mengada-ada dan berlebihan. Beragam isu tadi harus diwaspadai karena dapat menekan daya Indonesia di pasar internasional,” kata Tungkot.
Tungkot menjelaskan kampanye hitam kepada komoditas alam seperti sawit dan produk kehutanan di Indonesia sudah berlangsung semenjak 1980-an, ketika perkebunan dan kehutanan mulai berkembang.
Menurut dia, ada kekhawatiran para produsen minyak nabati non sawit, seperti minyak kedelai dan bunga matahari, sulit bersaing dengan produktivitas minyak sawit.
Bahkan, kata dia juga pola dan isu kampanye hitam berupaya mempengaruhi perilaku orang supaya tidak lagi menggunakan komoditas alam yang merupakan salah satu kekayaan alam Indonesia itu. Kampanye tersebut membidik negara-negara konsumen seperti di Eropa, Tiongkok, dan India.
"Untuk mengubah selera konsumen terhadap sawit misalnya, dimunculkan kampanye palm oil free (bebas minyak sawit) pada sejumlah produk makanan," katanya.
Kampanye hitam ini didukung beragam isu yang memojokkan kelapa sawit seperti merusak ekosistem lingkungan, pembakaran secara masif hingga isu eksploitasi masyarakat lokal.
“Memang, jangka pendek dampak kampanye ini belum dirasakan. Akan tetapi secara jangka panjang haruslah diwaspadai karena masyarakat berpotensi meninggalkan produk-produk alam nasional. Kalau produk sudah ditinggalkan, sangat sulit untuk mengajak orang kembali,” ujar Tungkot.
Berikutnya adalah biaya pokok produksi diprediksi akan meningkat sebagai dampak kampanye hitam.
Tungkot menguraikan bahwa sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) memaksakan tuntutan kepada perusahaan dengan kedok isu lingkungan dan sosial. Tuntutan itu dikemas rapi dengan alasan prinsip keberlanjutan. Padahal, kewajiban menjalankan tuntutan tersebut membuat biaya pokok produksi bertambah.
Tungkot meminta pemerintah dan pelaku industri mewaspadai efek jangka panjang kampanye hitam LSM ini.
"Lantaran, dampak kampanye sudah terlihat seperti penggunaan label ‘No Palm Oil’ di dalam negeri hingga usaha memberikan tekanan-tekanan kepada lembaga-lembaga sertifikasi nasional maupun internasional," kata Tungkot. (antara/jpnn)
Redaktur & Reporter : Elvi Robia