Kampanye Mendidik dan Beretika

Oleh: Ferry Kurnia Rizkiyansyah*

Senin, 31 Maret 2014 – 15:51 WIB

jpnn.com - KAMPANYE rapat umum Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD sudah berlangsung selama 16 hari sejak dimulai pada 16 Maret 2014. Sejak awal, semua peserta pemilu sudah mendeklarasikan komitmen untuk melaksanakan kampanye yang berintegritas. Yakni melaksanakan kampanye sesuai dengan aturan yang sudah ditetapkan dengan mengedepankan nilai-nilai edukasi dan nondiskriminasi.

Nilai edukasi menjadi muatan utama dalam kampanye sebagaimana terkandung dalam Peraturan KPU Nomor 1 Tahun 2013 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Kampanye yang telah diubah menjadi Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2013. Secara teoritik, edukasi atau pendidikan politik memiliki tiga tujuan, yaitu membentuk kepribadian politik, kesadaran politik, dan kemampuan dalam berpartisipasi di bidang politik di mana individu dapat menjalankan partisipasi politik dalam bentuk yang positif.

BACA JUGA: Keadilan dalam Kepastian Hukum dan Kepastian Hukum dalam Keadilan

Pembentukan kepribadian politik dapat dilakukan melalui metode tidak langsung, yaitu sosialisasi dan pelatihan, serta metode yang bersifat langsung berupa pengajaran politik melalui institusi pendidikan.
Untuk menumbuhkan kesadaran politik ditempuh dengan dialog dan pengajaran instruktif. Sementara partisipasi politik dapat diwujudkan dalam keikutsertaan individu secara sukarela dalam kehidupan politik masyarakatnya.

Jika hal-hal tersebut dapat terbentuk dalam jiwa setiap warga negara yang ditegakkan dengan pilar-pilar ideologi, moral, agama dan intelektual, maka akan terbentuk bangsa yang berkarakter sebagai modal untuk mengantarkan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang maju dan besar.

Model kampanye yang tersedia seperti pertemuan terbatas, pertemuan tertutup dan kampanye rapat umum merupakan sarana yang dapat digunakan untuk menyampaikan visi, misi dan program partai kepada masyarakat secara luas. Karena itu, apapun bentuk kegiatan kampanye yang dilakukan, substansi kampanye harus diutamakan. Porsi penyampaian visi, misi dan program partai harus lebih dominan dibanding dengan kegiatan hiburan.

Sayangnya, di sejumlah kampanye, pelaksanaan kampanye rapat umum lebih banyak diisi dengan kegiatan hiburan. Bahkan di tempat tertentu, ada kegiatan kampanye yang berisi caci maki dan penghinaan terhadap perserta Pemilu yang lain dan akhirnya dihentikan oleh Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu). Padahal sudah jelas dan tegas disebutkan dalam pasal 32 ayat (c) Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2014 bahwa setiap partai politik dilarang menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon dan/atau peserta pemilu yang lain.

Inilah problem peserta pemilu kita hari ini. Kampanye belum diisi secara maksimal dengan kontestasi gagasan, tetapi masih lebih dominan kegiatan seremonial. Padahal hanya dengan pendidikan politik maka partisipasi politik masyarakat dapat diwujudkan dengan maksimal. Hanya masyarakat yang berpengetahuan dan memiliki kesadaran yang dapat menggunakan hak-hak politiknya, salah satunya menggunakan hak pilihnya secara cerdas, rasional dan mandiri pada tanggal 9 April 2014.

Selain untuk pendidikan politik, kampanye juga bertujuan untuk membangun komitmen antara warga negara dengan peserta pemilu dalam rangka menyakinkan pemilih untuk mendapatkan dukungan sebesar-besarnya dari masyarakat. Nah, bagaimana mungkin komitmen dapat dibangun dengan masyarakat, jika basis pengetahuan dan kesadaran mereka tidak ditumbuhkan terhadap politik dan sistem politik ideal yang hendak dibangun?

Memang, pendidikan politik tidak dapat diwujudkan hanya lewat kegiatan kampanye. Sejatinya pendidikan politik adalah kegiatan yang berkesinambungan dan berlangsung sepanjang hidup manusia. Namun,  seharusnya momentum kampanye menjadi pertanda sebuah komitmen peserta pemilu untuk melakukan pendidikan politik secara berkelanjutan dalam rangka mentransfer nilai-nilai dan ideologi politik ke setiap generasi penerus bangsa dalam rangka membentuk watak bangsa (national character building).

Kampanye rapat umum hanya tersisa tujuh hari lagi. Peserta pemilu kita harapkan dapat mengubah model kampanya rapat umum menjadi kegiatan yang lebih mendidik dan beretika. Sudah semestinya mengedepankan substansi dengan mengkomunikasikan semaksimal mungkin visi, misi dan program partai kepada masyarakat, sekaligus menjauhkan diri dari kampanye yang diskriminatif, menghujat, memfitnah dan menebar kebencian.

Kegiatan kampanye juga tidak boleh mengganggu kohesivitas sosial masyarakat. Partai politik bertanggung jawab untuk memastikan semua kader dan simpatisannya tidak bertindak agresif baik dalam bentuk keagresifan verbal, apalagi tindakan agresif secara fisik. Menurut Dominic Ifanta dalam buku Argumentativeness and Verbal Agressivness (1996), keagresifan verbal yang biasanya disertai dengan taktik penghinaan, kata-kata ancaman dan ledekan emosional hanya akan menghasilkan kemarahan, keadaan memalukan, menyakiti perasaan dan reaksi negatif lainnya.

Tensi politik yang semakin tinggi menjelang masa tenang dan hari pemungutan suara 9 April 2014 pun sangat mungkin memicu keagresifan verbal lewat orasi-orasi politik para petinggi partai. Pertarungan kata-kata jika berlangsung secara terus menerus akan mengguncang emosi dan stabilitas. Dampaknya, pertarungan kata-kata dapat termanifestasi dalam bentrokan antar-pendukung partai dan kandidat.

Partai juga diharapkan menghindar dari isu-isu primordial. Jangan sampai bangunan masyarakat Indonesia yang multikulturalis dan pluralis yang tadinya hidup berdampingan dengan damai tercabik-cabik karena kampanye. Sebab, sentimen primordial hanya akan merusak rasionalitas pemilih. Akibatnya pemilih menjatuhkan pilihan pada orang yang memiliki ikatan primordial dengan mereka tanpa melihat kapasitas, kredibilitas dan integritas dari sang kandidat. Padahal, tantangan bangsa ke depan makin berat.

Pemimpin yang visioner dan transformatif tidak akan ditemukan dari proses pemilu yang diisi dengan kampanye primordialis. Jika partai membiarkan dirinya terjebak dalam kampanye hitam, menjelekkan pihak lain bahkan berupaya membunuh karakter kompetitor, maka otomatis cita-cita kelahiran partai politik dalam kerangka menjaga persatuan dan kesatuan bangsa tidak akan dapat tercapai.

Malahan yang terjadi kohesivitas sosial kita semakin keropos, modal sosial kita untuk membangun semakin tergerus dan mentalitas masyarakat kita semakin rusak. Karenanya partai harus memastikan semua anggota, pengurus dan caleg-calegnya berkampanye dengan menjunjung tinggi etika.

Partai harus menyadari bahwa keberadaannya hari ini tidak dapat lepas dari keberadaan orang lain, termasuk keberadaan partai lain. Partai juga harus berpikir bahwa dirinya tidak akan dapat membangun bangsa ini tanpa dukungan partai lain.

Emmanual Levinas, seorang filsuf asal Lithuania mendasarkan etika pada klaim the self (diri sendiri) dan
the others (orang lain), mengatakan bahwa tanggung jawab itu bukan pilihan, tetapi fakta tak terhindarkan tentang hubungan kita dengan orang lain. Kita terbentuk dalam dan oleh hubungan kita dengan orang lain. Kita tidak dapat bebas dari eksistensi orang lain, atau dari dampak orang lain terhadap keberadaan kira sendiri. Lebih ekstrimnya, sebelum kita mencintai diri sendiri maka kita harus terlebih dulu mencintai orang lain.

Begitu juga ketika kita akan menyakiti orang lain baik secara verbal maupun fisik maka harus kita pikirkan sendainya yang mengalami itu adalah diri kita. Kalau akan terasa sakit maka sebaiknya jangan menyakiti orang lain. Kesadaran etis inilah yang harus dimiliki oleh para politisi sehingga tidak melakukan cara-cara yang curang, kasar dan tidak etis untuk mendapatkan dukungan masyarakat.(###)

*Penulis adalah Komisioner Komisi Pemilihan Umum


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler