Kampoeng Ramadan Jogokariyan, Ikon Jogjakarta di Bulan Suci

Datangkan Imam dari Palestina, Satu Rakaat Baca Satu Juz

Minggu, 14 Agustus 2011 – 08:08 WIB

Jogjakarta memiliki ikon selama RamadanYakni, Kampoeng Ramadan Jogokariyan (KRJ) yang menjadi pusat kegiatan warga selama bulan suci ini

BACA JUGA: Saya dan Keluarga Menyadari Pekerjaan di KPK

Untuk menambah kental suasana Ramadan, panitia juga mendatangkan imam dari Palestina
Seperti apa?

AINUR ROHMAH, Jogjakarta

JARUM jam baru menunjukkan pukul 15.00 ketika Nur Janah, 35, tiba di Jalan Jogokariyan, tempat dia menjajakan dagangan selama bulan Ramadan

BACA JUGA: Wayan Coster Mimpi Lolos, Ibas Sewot

Dia bergegas menata kue yang sebagian besar berupa gorengan dan jajanan pasar

Ibu
satu anak itu bukan warga asli Jogokariyan

BACA JUGA: Keluarga Johan Budi Sempat Panik dengar Namanya Terseret

Tetapi, selama bulan suci, dia ikut berjualan di kampung tersebut”Jualan di sini enak, soalnya ramai,” ujarnya kepada Jogja Raya (JPNN Group)

Nur Janah adalah satu di antara 150-an pedagang yang tiap sore menjajar jualannya di sepanjang Jalan JogokariyanMereka menjajakan berbagai menu buka puasa, mulai menu tradisional, seperti kolak, sale, bajigur, getuk, sampai yang kebarat-baratan, seperti hamburger dan pizzaBahkan, baju Lebaran juga sudah jauh-jauh hari dijual di pasar tiban tersebutJalan yang sempit itu pun tidak hanya dibanjiri oleh penjual dan pembeli, tetapi juga berbagai kendaraan bermotor yang hilir mudik.

Kampung Jogokariyan berada di kawasan Jogjakarta SelatanWilayahnya berbatasan dengan Kampung Krapyak yang terkenal dengan Ponpes Al-MunawwirKampung itu juga berdekatan dengan Kampung ’’turis’’ Prawirotaman serta Kampung Muhammadiyah KarangkajenDi sebelah timur, ada jalan menuju kawasan wisata Pantai Parangtritis dan makam raja-raja Mataram di Imogiri.

Kampoeng Ramadan Jogokariyan (KRJ) dirintis sejak tujuh tahun lalu”Awalnya, kami ingin memberdayakan para pedagang makanan di sekitar masjidSoalnya, kalau bulan puasa, mereka tidak bisa berdagang,” kata Sekretaris Takmir Masjid Jogokariyan Ismail

Awalnya, kata Ismail, diselenggarakan pasar sore di sekitar kompleks Masjid JogokariyanTujuannya mewadahi para pedagang agar tetap bisa mencari nafkah sembari menjaga kekhusyukan bulan puasaTetapi, dari tahun ke tahun, jumlah pedagang bertambah dan akhirnya berjajar di jalan sepanjang 1 kilometer itu.

Untuk berjualan di tempat tersebut, para pedagang tidak dipungut biayaHanya beberapa produk yang sudah memiliki ”nama” yang diminta kontribusiUntuk biaya operasi, pengelola mendapatkan dana dari sumbangan warga, sponsor, dan dukungan APBD Kota Jogjakarta”Bagi Pemkot Jogja, Kampoeng Ramadan Jogokariyan dinilai dapat mendukung pariwisata,” kata Ismail.

Seiring waktu, konsep Kampoeng Ramadan mengalami perubahanPertimbangannya, jika hanya diisi dengan penjaja makanan, KRJ mungkin tidak akan jauh berbeda dengan pasar sore di tempat lainOleh karena itu, KRJ harus disiasati dengan menyelenggarakan berbagai even menjelang dan sesudah berbuka yang berpusat di Masjid Jogokariyan

Misalnya, untuk KRJ tahun ini dihelat taushiyah humor (1/8), dongeng anak (9/8), dan angkringan Ramadan bersama wali kota (10/8)Karena Agustus merupakan bulan peringatan kemerdekaan Indonesia, beberapa kegiatan bernuansa 17-an pun dilaksanakan, seperti lomba kor perjuangan dan lomba gapura KRJ.

Untuk menyelenggarakan KRJ selama sebulan penuh, dana yang dikeluarkan cukup fantastis, yakni mencapai Rp 256 jutaDana sebesar itu, antara lain, untuk acara pembukaan yang diisi parade beduk (Rp 23 juta), penyelenggaraan even (Rp 21 juta), dan sisanya untuk takjil serta mengadakan berbagai lomba”Untuk lomba gapura sendiri, kami menyubsidi tiap gapura Rp 250 ribuan,” tambah alumnus Universitas Islam Indonesia (UII) Jogjakarta itu.

Ternyata, kemeriahan pesta Ramadan sekaligus Agustusan itu tidak hanya diikuti oleh warga yang beragama IslamSalah satu even, yakni lomba kor lagu perjuangan dan islami, diikuti pula oleh warga nonmuslim”Ada ibu-ibu Nasrani jadi dirigen ketika grupnya menyanyikan lagu islamiDia ikut pakai jilbab,” kata Ismail, lantas tertawa

Oleh karena itu, tema yang diangkat dalam KRJ tahun ini dirasa cocok, yakni Kepahlawanan dan PersaudaraanMeski KRJ berlangsung sebulan penuh, warga kampung yang nonmuslim tidak merasa tergangguBahkan, mereka dengan senang hati ikut menyemarakkan”Justru ini yang menjadi pembuktian bahwa warga di sini rukun,” tutur bapak dua anak itu.

Selain itu, untuk memeriahkan KRJ, panitia mendatangkan imam salat Tarawih dari PalestinaYakni, Syekh Dr Adnan Hasan bin HuseinSelain memimpin Tarawih, syekh yang hafal Alquran 30 juz itu didaulat memberi ceramah”Saat diimami Syekh Adnan, tarawihnya lamaSoalnya, tiap rakaat bacaannya 1 juz,” tambahnya

Meski bisa membuat lutut bergetar, itu tidak menyurutkan niat jamaah untuk mengikuti Tarawih di Masjid JogokariyanMenurut cerita Ismail, itu disebabkan Dr Adnan membacakan ayat-ayat Alquran dengan sangat bagus”Rasane adem neng atiDadi ora kroso kesel (Rasanya nyaman di hatiJadi tidak terasa capek, Red),’’ kata Ismail

Bacaan ayat suci Alquran yang dilagukan Dr Adnan membuat Kampung Jogokariyan memiliki suasana layaknya MakkahBahkan, jamaah kadang menangis saat menyimak bacaannyaKetika ceramah, Dr Adnan lebih banyak menyerukan toleransi dan mengajak umat untuk berbuat kebaikan.

”Cara berpikirnya dapat kami terimaUstad yang berceramah di sini memang kami pilih yang bersih dari berbagai kepentingan,” jelas pria yang sehari-hari bertugas mengurusi administrasi Masjid Jogokariyan itu

Sayang, imam yang rencananya berada di Indonesia selama sebulan tersebut hanya bisa lima hari berada di JogjaYakni, 1–5 Agustus laluAda cerita menarik yang ditinggalkan sang imamSehari sebelum kepulangannya, salah seorang warga Jogokariyan meninggal duniaDia pun berinisiatif menyalati dan mendoakan jenazah perempuan ituDi luar perkiraan, Syekh Adnan juga menemui anak almarhumah

”Dr Adnan menepuk pundak anak itu, lalu bilang, ’Kesedihanmu adalah juga kesedihankuKita hanya tinggal sementara di duniaSemua milik Allah dan akan kembali kepada-NyaJadi, bersabarlah anakku,’.” Kontan, perkataan yang diartikan oleh penerjemah itu membuat para pelayat terharu.

Menurut Ismail, tidak mudah mengelola even sekali setahun ituTiga tahun pertama, penyelenggara yang juga pengurus Masjid Jogokariyan kesulitan mencari danaTetapi, semua hambatan tersebut bisa dilalui hingga tahun ketujuh iniItu bisa terlaksana karena dua pendukung utama, yakni tim kepanitiaan yang solid dan gotong royong masyarakat

Tiap tahun selalu ada regenerasi kepanitiaan dari pemuda masjid"Yang tua mengajari yang muda agar tahu bagaimana mengelola KRJ,” jelas Ismail

Sementara itu, peran masyarakat lebih penting lagi, yakni mendukung tiap acara, baik itu menghadiri maupun memberi sumbangan semampu merekaKini, KRJ menginspirasi daerah-daerah lain untuk membuat kegiatan yang samaYang sedang getol belajar tentang pasar sore adalah salah satu pasar klithikan di Solo
”Kalau kegiatan ini memang dianggap positif untuk daerah lain, kami dengan senang hati membagikan ilmu pengelolaannya,” ungkap Ismail(jpnn/c6/nw)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Kisah Orang Kaya Baru di Jimbaran, Bali, yang Kembali Miskin


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler