Menurut Hanny, kondisi itu pula yang perlu diantisipasi dalam program Kampung Deret atau penataan pemukiman di pinggiran kali yang dicetuskan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo. Menurut Hanny, program kampung deret juga perlu memertimbangkan faktor psikologis agar warga yang tinggal di dalamnya juga betah.
“Hingga saat ini, peraturan terkait rumah susun masih terfokus pada aspek pembiayaan. Padahal yang tak kalah penting adalah turut memerhatikan aspek psikologi masyarakat dan sosio-kultural yang ada. Sehingga program itu dapat berjalan secara berkelanjutan,” kata Hanny saat memertahankan disertasi doktoralnya berjudul 'Model Harmoni Lingkungan Rumah Susun Menuju Komunitas Berkelanjutan' di sidang terbuka Senat Guru Besar Universitas Indonesia (UI) Jakarta, Sabtu (24/11).
Hanny mengambil contoh penghuni rusun Kemayoran. Ternyata saat ini hampir 50 persen dari semua unit yang ada, tidak lagi dihuni kelompok sasaran yang direncanakan. Mereka digantikan penghuni baru yang biasanya berpendapatan lebih tinggi dari penghuni rusun. Penyebabnya, karena tidak ada harmoni individu, harmoni sosial, dan harmoni unsur lingkungan dalam komunitas rusun yang baru terbentuk.
"Jadi idealnya, komunitas rusun yang terbentuk harus berkelanjutan. Oleh karena itu, pembentukannya perlu mendapat perhatian yang serius. Karena keberlanjutan komunitas perkotaan akan turut berpengaruh pada keberlanjutan lingkungan perkotaan,” katanya.
Selain itu, pembangunan rusun dalam upaya penataan wilayah perkotaan, selama ini juga ternyata turut memutus ikatan-ikatan sosiologis yang terbentuk dalam komunitas lama, sebelum warga dipindah ke rusun. Baik itu ikatan ketetanggaan, pertemanan, maupun ikatan persahabatan.
"Jadi ke depan, pembangunan rusun di DKI sebaiknya memertimbangkan aspek harmoni lingkungan, harmoni individu, dan harmoni sosial para calon penghuni rusun agar berjalan efektif,” katanya.(gir/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Hujan Deras, Hindari Beberapa Ruas Jalan di Jakarta Timur
Redaktur : Tim Redaksi