Kampung Puyut dan Dunia Hitam Lahad Datu

Rabu, 20 Maret 2013 – 09:16 WIB
"SIAPA ini Utuk?" ujar seorang pemuda gempal di ujung jalan menuju Kampung Puyut, Lahad Datu, sambil menunjuk muka Jawa Pos. Utuk adalah sapaan khas komunitas Tausug untuk menyebut saudara. Mirip mas di Jawa atau bang di Betawi.

"Bukan orang lain, saudara," kata Izzudin, kenalan yang membawa koran ini masuk ke dalam kampung.

Masyarakat Kampung Puyut memang sedang ekstracuriga kepada orang asing dari luar kampung sejak ada insiden di Kampung Tanduo. Sejak lama kampung itu dikenal sebagai basis komunitas Sulu di Lahad Datu. Sopir taksi pun tak berani membawa penumpang ke Kampung Puyut. Mereka mengistilahkannya senarai (kawasan) hitam.

Jalan masuk menuju kampung yang tak jauh dari Bandara Lahad Datu itu hanya satu. Semua mobil dan kendaraan diparkir di situ.

Setelah itu, seseorang masih harus berjalan kaki menyeberang jembatan kayu selebar 2 meter dan panjang 100 meter yang saat itu sedang direnovasi. Baru setelah itu masuk ke rumah-rumah yang semua didirikan di atas air. "Banyak baytak tak bunnal (banyak berita tidak benar, bahasa Sulu, Red) soal kami di sini," ungkap Izzudin.

Mereka mengakui bahwa di kampung tersebut banyak yang berprofesi ilegal. Namun, mereka mengaku setia dan loyal kepada pemerintah Malaysia. "Misalnya, sabu (narkoba) bisa mudah didapat di sini. Macam gula," ungkapnya sembari menunjukkan sekelompok pemuda yang stand by di sebuah gang.

Tangannya menepis Jawa Pos saat hendak mengambil kamera. "Bahaya," tegasnya sambil memberikan kode dengan tangan yang ditempelkan ke leher seperti gerakan menyembelih.

Dia mengungkapkan, hubungan warga Kampung Puyut dengan polisi Malaysia "harmonis" alias tahu sama tahu. Namun, sejak insiden di Kampung Tanduo, seluruh polisi yang menjadi beking mereka sudah ditangkap. "Yang terakhir kemarin Kopral HB (sengaja ditulis inisial). Dia langsung dibawa ke Bukit Aman (markas Polis Diraja Malaysia)," jelasnya.

Kopral HB hanya bergaji normal RM 3.000 (sekitar 9 juta). Namun, dia punya banyak rumah, sepeda motor sport, dan tanah di mana-mana. "Dia makan rasuah (suap)," ujarnya.

Tidak semua warga Kampung Puyut berprofesi ilegal. Banyak juga yang mencari nafkah halal seperti pedagang buah dan sayuran. "Kehidupan di sini sebelumnya normal saja. Semua saling menghargai dan memahami," katanya.

Hampir sama dengan Kampung Puyut, di Semporna ada Kampung Simunul. Di kampung itu, berlangsung baku tembak yang menewaskan enam polisi Malaysia. Namun, Kepala Kampung Simunul Ramlee Saraman memastikan bahwa mereka bukan warganya. "Kalau orang Simunul, kami pasti kenal semua," tegasnya Sabtu (9/3).

Ramlee mengaku, yang mendirikan Kampung Simunul adalah orang tuanya. Warga Simunul telah bersepakat untuk membantu polisi jika ada kejadian yang mengganggu keamanan. "Kalau ada pendatang yang gerak-geriknya mencurigakan, kami bisa tangkap. Kalau mereka mengacau keamanan, kami akan hadapi," tegasnya.

Muhammad Sholeh, Konsul RI untuk Tawau yang meliputi wilayah Lahad Datu, menyebutkan, hubungan warga Indonesia dengan masyarakat etnis Sulu sangat baik serta harmonis. "Selama ini tidak ada masalah apa pun. Kita bisa saling bekerja sama," jelasnya saat ditemui di kantornya di Tawau (13/3).

Dia juga memastikan bahwa warga Indonesia tidak bermasalah dengan polisi Malaysia. "Kami sudah punya kontak di masing-masing komunitas. Jadi, kalau ada anggota yang berbuat salah, ketuanya sendiri yang akan menghadirkannya di kantor polisi," ujarnya.

Diplomat alumnus FH Undip itu juga menyatakan sangat akrab dengan Kepala Polisi Lahad Datu Superintendent Samsuddin Mat. "Kami sangat akrab. Kalau saya ke sana, sudah seperti saudara. Jadi, praktis kondisi WNI kita juga aman," ungkapnya. (rdl/hen/c5/nw)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Hillary Clinton Dukung Pernikahan Sesama Jenis

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler