jpnn.com, JAKARTA - Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengakui bahwa lembaganya menggunakan diskresi yang bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998, saat menghadapi massa aksi di depan Bawaslu, Jakarta Pusat, pada 21 Mei 2019.
"Kami sendiri membuat diskresi yang sebetulnya, bertentangan dengan aturan tentang penyampaian pendapat dimuka umum," kata Tito ditemui di kantor Kemenko Polhukam, Jakarta Pusat, Selasa (28/5) ini.
BACA JUGA: 4 Tokoh Jadi Target Pembunuhan, Fadli Zon: Siapa yang Mau Melakukan?
Tito menerangkan, massa aksi memiliki batasan ketika menyampaikan pendapat di muka umum. Batasan itu tertuang dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.
Dalam pasal itu disebutkan, pengunjuk rasa tidak boleh mengganggu ketertiban publik atau umum. Massa aksi juga harus menghargai hak asasi orang lain saat menyampaikan pendapat di muka umum.
BACA JUGA: Foreder Apresiasi TNI - Polri Redam Kerusuhan 21-22 Mei
"Nah, kegiatan yang dilakukan di depan Bawaslu yang merupakan jalan umum protokol, itu pasti mengganggu ketertiban umum. Mengganggu ketertiban publik dan mengganggu hak asasi pengguna jalan lainnya," ucap Tito.
BACA JUGA: Dukung TNI/Polri Tindak Tegas Para Perusuh dan Provokator Aksi 21-22 Mei
BACA JUGA: Dukung TNI/Polri Tindak Tegas Para Perusuh dan Provokator Aksi 21-22 Mei
Kemudian, lanjut dia, polisi memiliki Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2008 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Pelayanan, Pengamanan dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum.
Dalam peraturan itu, tertuang batasan waktu bagi masyarakat ketika menyampaikan pendapat di muka umum. Di ruang terbuka misalnya, massa aksi bisa menyampaikan pendapat hingga pukul 18.00 waktu setempat dan di ruang tertutup hingga pukul 22.00 waktu setempat.
Sementara itu, ucap Tito, aksi di depan Bawaslu pada 21 Mei 2019 melewati batas waktu penyampaian pendapat di muka umum. Unjuk rasa disampaikan hingga pukul 21.00 waktu setempat.
"Itu pun kami berikan toleransi, karena apa? Kami berpikir positif. Kegiatan ini adalah kegiatan yang positifnya adalah keagamaan yaitu berbuka puasa bersama, dan kemudian melakukan salat bersama," ungkap dia. (mg10/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Muhammadiyah Dorong Polri Usut Dalang Kerusuhan Aksi 22 Mei
Redaktur & Reporter : Aristo Setiawan