Kapten Nurmantyo: Di Situ Terbakar Jiwa Korsa Saya

Minggu, 07 Mei 2017 – 07:18 WIB
Panglima TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo saat meresmikan produksi film TNI berjudul “Merah Putih Memanggil” di landasan Pangkalan Udara (Lanud) Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Jumat (28/4/2017). FOTO: Puspen TNI

jpnn.com, JAKARTA - Sang aktor dituntut berperan layaknya kesatria saat bermain di film bertema militer. Bukan hanya fisik prima, mental pun harus sekuat baja.

Maruli Tampubolon, Rio Dewanto, dan Rendy Kjaernett adalah tiga aktor yang pernah berperan sebagai tentara. Bagaimana pengalaman mereka?

BACA JUGA: PARAH! Satu Peleton TNI Terlibat Narkoba, Setengahnya Sudah Dipecat

Belakangan film-film bertema militer dan patriotisme meramaikan dunia perfilman tanah air. Terbaru, Merah Putih Memanggil saat ini sedang menjalani proses syuting. Salah seorang aktor yang bermain di dalamnya adalah Maruli Tampubolon.

Dalam film garapan TeBe Silalahi Pictures itu, pria kelahiran 26 Maret 1987 tersebut memerankan Kapten Nurmantyo.

BACA JUGA: Perwira Siswa Sesko TNI Harus Berpikir Kreatif dan Inovatif

Sang kapten memimpin para prajurit dari satuan elite TNI, yaitu Kopassus Angkatan Darat (AD), Marinir Angkatan Laut (AL), dan Paskhas Angkatan Udara (AU), dalam operasi pembebasan awak kapal Indonesia yang disandera teroris internasional.

Persiapannya tak main-main. Maruli beserta para aktor lainnya menjalani boot camp selama seminggu penuh di Mako Kopassus Cijantung dengan dipandu Satuan 81 Penanggulangan Teror. Selain training fisik, mereka dibekali pelatihan penggunaan senjata. Sebab, para aktor harus benar-benar menguasai skill prajurit.

BACA JUGA: Usia Kehamilan Masuk 7 Bulan, Atiqah dan Rio Kumpulkan Keluarga

”Bagaimana transisi penggunaan senjata, membidik sasaran, mengganti magazin tanpa melihat,” kata Maruli mencontohkan.

Proses syuting berlangsung mulai awal April. Pasukan elite TNI juga dilibatkan langsung dalam syuting, antara lain, Kopassus, Marinir, serta Kopaska (Komando Pasukan Katak).

Ada pula KRI Diponegoro dan KRI Nanggala (kapal selam) dari TNI-AL. Bahkan, skuadron pesawat tempur Sukhoi Su-30 dari TNI-AU ikut terlibat.

Maruli menuturkan, berbagai adegan berisiko dilakukan sendiri tanpa stuntman. Setiap hari mereka memanggul ransel seberat 20 kilogram naik turun bukit, bergumul dengan lumpur, dan melakoni aksi-aksi pertempuran. Terpeleset lumpur dan tergores ranting pohon sudah jadi ”menu” sehari-hari.

”Rappelling (turun menggunakan tali, Red) dari air terjun sampai terjun payung juga dilakukan sendiri,” ujarnya.

Secara fisik, ayah seorang putri itu mengaku energinya terkuras. Ditambah lagi, harus fokus 1.000 persen.

”Kita syutingnya bareng prajurit elite TNI di sekeliling, secara otomatis terbawa fokus dan kedisiplinan mereka. Jiwa korsa dalam diri terlecut,” imbuhnya.

Namun, pelatihan dan proses syuting yang berat itu dijalani dengan penuh kebanggaan. Maruli merasa cukup terbantu karena sudah terbiasa dengan olahraga berat. Dia rutin nge-gym dan menekuni IndoBarian yang melatih otot-ototnya.

”Sudah pasti yang ini level fisiknya lebih tinggi. Tapi, badan juga cepat beradaptasi,” ujar aktor yang sebelumnya bermain dalam film Terjebak Nostalgia dan Bukaan 8 itu.

Film Merah Putih Memanggil mengandung pesan persatuan. ”Adanya gonjang-ganjing stabilitas politik, di tengah keberagaman, kita harus bisa bersatu dan tidak terpengaruh provokasi. Saat ibu pertiwi memanggil, kita harus bersatu dan maju berjuang,” ucapnya.

”Lebih baik pulang nama daripada gagal di medan tugas!” serunya dalam salah satu adegan.

Bagi Maruli, dipercaya memerankan Kapten Nurmantyo dalam Merah Putih Memanggil merupakan kebanggaan besar.

Terlebih, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo serta jajaran petinggi TNI lainnya menyaksikan langsung salah satu scene di Lanud Halim Perdanakusuma akhir April lalu. ”Di situ terbakar jiwa korsa saya,” tuturnya.

Maruli menyatakan, syuting mengambil lokasi, antara lain, di Gunung Bunder, Bogor; Pantai Anyer; serta Lanud Halim Perdanakusuma.

Selama sekitar sebulan menjalani syuting di Gunung Bunder, Maruli menyatu dengan kehidupan prajurit. Tidur pun harus di barak bersama prajurit. ”Dalam sebulan itu hanya satu hingga dua kali pulang ke Jakarta,” ucapnya.

Aktor Rio Dewanto pun pernah menjalani peran sebagai anggota pasukan khusus Garuda, Kapten Satria, dalam film Pasukan Garuda: I Leave My Heart in Lebanon.

Film ini juga diproduksi TeBe Silalahi Pictures. Proses syuting dilakukan pada akhir 2016. Pada Juli 2016, Rio ikut pelatihan militer di Batalyon Infanteri 328 Cilodong. ”Sebagai persiapan, saya sering joging dan olahraga ringan secara rutin aja sih,” katanya.

Namun, saat tiba di lokasi pelatihan, Rio dihadapkan dengan latihan yang jauh lebih berat. Sejak turun dari truk, fisik sudah mulai ditempa.

”Kami disuruh jalan jongkok alias squat sampai ke tempat kumpul sambil diteriakin dan dibentak-bentak,” kata Rio mengenang. Alhasil, selain fisik, mental pun benar-benar di-push saat boot camp militer.

Latihan fisik lain pun sudah menunggu Rio. Setiap hari dia harus berlari sepanjang 7 hingga 10 kilometer sebanyak 3 kali. Dengan demikian, total sehari bisa 30 km. Tidak mengenakan workout gear, tapi dengan seragam militer dan atributnya yang berat.

”Kami pakai helm 3 kg dan bawa senjata beratnya 7 kg,” kata Rio. Bukannya mengenakan running shoes, Rio dan rekan-rekannya mengenakan army boots seberat 0,5 kg. Jadi, total beban yang dibawa mereka selama berlari adalah 10,5 kg.

Pull-up, sit-up, dan push-up menjadi salah satu latihan fisik. Biasanya, di rumah Rio melakukan ketiganya secara bertahap dengan istirahat di sela-sela.

”Tapi, waktu di boot camp militer, semuanya harus dilakukan kontinu dengan jumlah minimal 100 kali. Saya sempat kewalahan dan nggak sanggup 100 kali,” ujar Rio, lantas tertawa.

Selain itu, selama empat hari, Rio dilatih bela diri yang menuntutnya agar lebih tangkas, lincah, dan kuat. Refleksnya harus bagus demi menghindari serangan.

Rio juga belajar komunikasi ala tentara. Misalnya, komunikasi dalam bahasa sandi dan kode, menyampaikan laporan dengan suara tegas, serta telekomunikasi dengan handie-talkie.

Latihan-latihan berat itu dilakukan di bawah bentakan, cercaan, dan teriakan pelatih militer mereka. Jam istirahat atau tidur malam pun tidak lebih dari dua jam.

”Pokoknya, boot camp militer tersebut jauh berbeda dengan boot camp di pusat kebugaran walau sama-sama beratnya,” kata Rio yang juga pemilik kedai Filosofi Kopi itu.

Perlakuan yang diterima Rio selama latihan pun tidak istimewa. Jika salah, dia akan dibentak dan ditegur dengan keras walau selebriti. Suami Atiqah Hasiholan itu juga harus terbiasa untuk bergerak sigap.

”Misalnya, pas lagi tidur tiba-tiba ada sirene. Maka, kami semua harus segera berbaris di luar barak,” katanya.

Hal yang sama dialami Rendy Kjaernett. Pada 2015 aktor 28 tahun itu bermain dalam film berlatar perang Doea Tanda Cinta. Dalam film tersebut, Rendy berperan sebagai Mahesa, anggota TNI yang ikut dalam perang.

Karena tidak memiliki latar belakang militer, Rendy dan Fedi Nuril, aktor lain yang juga terlibat dalam Doea Tanda Cinta, akhirnya ikut pelatihan militer di Akademi Militer di Magelang.

Berbagai latihan berat pun dijalani Rendy dan Fedi. ”Saya nggak bisa menggambarkan beratnya. Pokoknya, saya kewalahan,” kata ayah satu anak itu. Mulai lari 6 km dengan atribut lengkap, tidur di barak, hingga uji ketahanan fisik dengan olahraga intens menjadi agenda sehari-hari Rendy dan Fedi saat berlatih di akademi militer.

Berlatih dengan senjata sungguhan juga dilakukan Rendy. Selama Akademi Militer, dia berlatih menembak dengan senapan berpeluru. ”Walaupun nembaknya itu di target, saya tetap saja deg-degan kayak mau nembak orang,” kata Rendy.

Saat memegang senapan pun, dia tidak rileks karena tidak terbiasa. Latihan melempar pisau juga dilakukan Rendy.

Ternyata, kata Rendy, melempar pisau tidak bisa dilakukan secara sembarangan. Ada berbagai perhitungan yang harus dilakukan sebelum melempar bilah. ”Salah sedikit bisa fatal akibatnya,” kata suami Lady Veronica itu.

Satu lagi, Rendy harus bisa berdialog dengan menggunakan dialek dan nada suara khas tentara. Hal tersebut dilakukan saat pengucapan sumpah atau janji tentara.

”Suara saya sama sekali bukan suara tentara. Saya harus latihan berkali-kali dulu sebelum lancar,” katanya, lantas tertawa. (nor/len/c10/owi)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Usia Kehamilan Sudah 7 Bulan, Atiqah Gelar Pengajian


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler