jpnn.com - Sejumlah lalat dimasukkan dalam kotak percobaan. Suhu dalam kotak itu 40 derajat celsius.
Beberapa lalat mati. Sejumlah lainnya hidup.
BACA JUGA: E-Money Tiga Izin
Mengapa ada yang mati? Mengapa ada yang hidup?
Daya tahan masing-masing lalat tidak sama. Lalat dengan cell yang kuat lebih bisa bertahan. Cell yang kuat memproduksi daya tahan lebih baik.
BACA JUGA: Perang Saat Lebaran
Demikian juga manusia. Dr. dr. Sony Wibisono terinspirasi oleh ujicoba di Jepang itu.
Sebagai ahli penyakit dalam, alumnus Unair ini ingin lebih jauh: menjadi sangat spesialis di bidang diabetes. Baru ada 100-an ahli diabetes di Indonesia. Untuk penderita yang bejibun: delapan persen dari jumlah penduduk yang 250 juta orang.
BACA JUGA: Lebaran di Rumah Sakit
Dr Sony bikin lemari bersuhu 40 derajat. Bukan untuk lalat. Cell tubuh manusialah yang dia masukkan.
Lemarinya ia desain sendiri. Ia bawa ke bengkel. Penelitian itu ada maksudnya: untuk meraih gelar doktor.
Ia ingin tahu ketahanan cell manusia. Ia panasi selama 10 menit. Sebagian cell ternyata mati. Sebagian besar lagi masih hidup.
Lalu ditambah 10 menit lagi. Lebih banyak yang mati. Tapi masih banyak yang hidup. Ditambah lagi 10 menit lagi. Bertambah banyak yang mati. Tapi tetap saja masih banyak yang bertahan.
Maka penting bagi manusia: memiliki cell yang kuat. Hanya saja Dr Sony belum tahu jawaban pertanyaan ini: mengapa banyak cell yang tidak tabah di dalam tubuh. Itu misteri yang harus diungkap.
Dr. dr. Purwati, ahli stemcell dari Unair Surabaya pernah mengatakan pada saya: itu akibat proses pembelahan cell yang tidak sempurna. Cell, katanya, selalu membelah diri. Untuk melangsungkan kehidupan.
Waktu membelah diri itulah terjadi kecelakaan. Tidak semua bisa membelah diri tepat menjadi dua: sama besar.
Pembelahan yang tidak sempurna itulah yang membuat cell tidak kuat. Bahkan cepat tua. Cepat mati. Bahkan jadi penyakit. Tidak mampu mendukung agar tubuh tetap sehat.
Pertanyaan Dr Sony lebih dalam dari itu: mengapa saat membelah diri itu tidak bisa sempurna. Dr Sony cenderung pada pendapat ini: faktor eksternal.
Maksudnya: gaya makan seseorang. Juga gaya hidupnya. Apa yang dimakan/diminum, jadwal makan, jumlah makanan/minuman mempengaruhinya. Tapi, untuk kepastiannya, harus ada penelitian lanjutan.
Apa hubungannya dengan diabetes?
Dr Sony ingin menghubungkannya dengan kesehatan pankreas: organ yang memproduksi insulin. Kalau cell-cell pankreas bagus tentu kemampuannya memproduksi insulin juga oke. Bukan saja jumlahnya. Juga kualitasnya.
Memang Dr Sony tahu: jumlah produksi insulin saja tidak menyelesaikan diabetes. Setelah diproduksi insulin itu harus bisa masuk sasaran.
Kadang yang disasar itu tidak welcome. Atau hanya menerimanya setengah hati. Akibatnya tidak bisa mengatasi diabetesnya.
Misalnya: orang gemuk. Pankreasnya mungkin mampu memproduksi insulin dengan baik. Tapi orang itu memiliki lemak yang banyak.
Insulin tersebut tidak bisa mencapai sasaran dengan effektif. ”Lemaknya orang gemuk itu warnanya putih,” kata Dr Sony.
Mengapa lemak orang gemuk warnanya putih? ”Karena sedikit mengandung mithocondria. Yang diperlukan sebagai sumber energi,” katanya.
”Sedang orang yang tidak gemuk warna lemaknya coklat. Karena banyak mengandung mithocondria,” tambahnya.
Oh… itu lah sebabnya orang gemuk justru kurang berenergi.
Sulitnya lagi: gara-gara sedikitnya insulin yang bisa diserap tubuh itu terjadilah disinformasi. Sistem informasi tubuh terdistorsi. Dikira jumlah insulinnya tidak cukup. Otak mengintruksikan pankreas agar memperbanyak prosuksi insulin.
Padahal: insulin sudah cukup. Tapi yang menerimanya tidak bisa memanfaatkan semua.
Dr Sony akhirnya lulus. Dua tahun lalu dilantik sebagai doktor. Ia juga menjabat Sekjen Persatuan Diabetes Indonesia.
Kecintaannya pada penelitian diwarisi dari ayahnya: yang seumur hidupnya tekun di labolatorium kesehatan.
Istrinya juga dokter gigi. Anaknya dua. Perempuan semua. Satu jadi dokter seperti ayahnya. Satu lagi jadi dokter gigi seperti ibunya.
Bertemu dengan dokter yang aktif di penelitian begini saya jadi ingat Prof. Dr. Shen Zhongyang. Yang 11 tahun lalu memimpin operasi ganti hati saya. Di RS khusus di Tianjin Tiongkok.
Ia juga seorang peneliti yang tangguh. Kini Prof Shen jadi orang penting di Beijing. Meski tetap memimpin rumah sakit yang ia dirikan itu.
Saya pernah punya masalah. Dua tahun setelah ganti hati. Tidak teratasi.
Akhirnya info itu sampai ke telinga Prof Shen: pimpinan tertinggi rumah sakit itu. Dokter-dokter dipanggil. Dimarahi.
Marahnya sangat mengesankan. Katanya: jadi dokter itu harus tetap jadi seorang scientist. Kalian ini sudah berhenti jadi ilmuwan. Sudah merosot sekedar jadi tukang.
”Jangan berhenti jadi ilmuwan,” katanya dalam bahasa mandarin. ”Temukan persoalan ini,” tambahnya.
Dr Sony tidak hanya tetap jadi ilmuwan. Juga konsekuen dengan ilmunya: tingginya 175, berat badannya 65 Kg. Olahraganya dulu tennis. Kini bersepeda.
Kalau tubuhnya dibedah mungkin lemaknya tidak coklat lagi. Jangan-jangan sudah kehitaman… (***)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Tiada Maaf Bagi TrumpKim
Redaktur : Tim Redaksi