jpnn.com - Mereka sudah vaksinasi. Sudah dua kali. Namun, sembilan anggota DPRD Surabaya itu tertulari Covid-19.
Itu menambah kekhawatiran baru. Setelah apa yang terjadi di Bangkalan, di seberang Surabaya, menjadi sorotan nasional. Menyusul sorotan yang sama terhadap Kabupaten Kudus di Jateng.
BACA JUGA: Tekan Covid-19 di Bangkalan, Marsekal Hadi dan Jenderal Listyo Rangkul Tokoh Agama
Padahal, di beberapa negara sudah menunjukkan kabar gembira. Kegawatan di India sudah turun. Yang tertulari Covid-19 ''tinggal'' di bawah 90.000/hari. Dari 400.000/hari bulan lalu.
Di Amerika lebih menggembirakan lagi: sudah seminggu terakhir ''tinggal'' di bawah angka 10.000/hari. Jumat lalu, bahkan, tinggal di kisaran 5.000 sehari itu.
BACA JUGA: Prof Nasih Sampaikan Kabar Terbaru soal Spesimen Virus dari Bangkalan, Mutasi Baru atau Bukan?
Di Negara Bagian California sudah sebulan terakhir hampir selalu tidak ada kasus baru. Benar-benar melegakan.
Yang sebenarnya ada yang lebih menggembirakan: Australia.
BACA JUGA: Obat COVID-19 yang Dipelopori Moeldoko ini Mulai Disebar di Kudus
Sampai kemarin jumlah penderita di sana ''hanya'' 30.000. Yang meninggal tidak sampai 1.000.
Padahal, Australia berpenduduk 25 juta. Rekor terjeleknya hanya 8.000/hari. Itu pun tidak sampai satu minggu. Langsung turun drastis.
Sekarang giliran berita buruknya: Mongolia. Penduduknya hanya 3,5 juta orang.
Tiap kilometer persegi hanya dihuni dua orang. Itu lantaran saking besarnya wilayah dan sedikitnya penduduk. Separo penduduknya tinggal di ibu kota: Ulan Bator.
Rabu lalu Mongolia jadi seperti Kudus dan Bangkalan. Penderita barunya tiba-tiba melonjak. Mencapai 1.300 orang/hari. Itu setara dengan kalau di Indonesia enam juta/hari.
Ledakan baru itu membuat total penderita Covid di sana menjadi 70.000 orang.
Pertanyaannya: –seperti ditulis panjang lebar di New York Times– mengapa ledakan baru itu terjadi.
Padahal, 50 persen penduduknya sudah menjalani vaksinasi. Sudah dua kali. Mereka mendatangkan vaksin melebihi jumlah penduduknya: 4,5 juta vaksin. Lebih 4 juta dari Tiongkok: Sinopharm. Yang 400.000 lagi dari Rusia: Sputnik.
Ternyata penyebabnya satu: akan ada pilpres di sana. Hari-hari ini adalah puncak masa kampanye. Di sana masa jabatan presidennya baru saja diubah: hanya boleh satu periode, enam tahun. Ikut Filipina.
Mongolia pernah menjadi penguasa dunia –meski gagal meluaskan wilayah sampai Nusantara. Waktu itu Mongolia berhasil menguasai Tiongkok dan mendirikan Dinasti Yuan. Setelah dinasti itu runtuh, Tiongkok membangun tembok besar agar mereka tidak datang lagi.
Dalam hal Covid, Mongolia pernah jadi buah bibir: seperti kebal Covid. Ketika Covid sudah menyebar ke mana-mana, tidak ada yang ke Mongolia.
Seperti juga Vietnam: tidak ada kasus Covid, saat itu.
Mongolia dan Vietnam jadi buah bibir. Lebih baik daripada Taiwan yang begitu hebat dalam menaklukkan Covid. Tiga wilayah itu –Mongolia, Taiwan, dan Vietnam– berada di sekeliling pusat Covid: Wuhan di Tiongkok.
Akhirnya Vietnam jebol –meski tetap terkendali. Mongolia juga jebol –lebih parah. Taiwan sekarang ini juga agak mengkhawatirkan.
Saya pun menghubungi teman saya di Taipei kemarin. "Anda pasti sudah vaksinasi kan?" tanya saya kepada teman itu. "Belum," jawabnya.
"Hah? Kapan dapat giliran?" "Belum tahu juga," jawabnya.
Taiwan memang termasuk tertinggal dalam vaksinasi. Maka, ketika belakangan kasus Covidnya melonjak menjadi kisaran 300/hari, hebohnya bukan main. Heboh tercampur khawatir.
Sampai kemarin baru 700.000 orang yang divaksinasi di Taiwan. Awalnya mereka hanya bisa menggunakan AstraZeneca. Baru belakangan ditambah Moderna.
Tentu tidak ada Sinovac maupun Sinopharm di Taiwan. Dia menolak menggunakan vaksin Tiongkok itu. Alasannya: politik.
Padahal, Tiongkok terus mendorong Taiwan untuk mau menerima vaksin dari daratan. "Tidak adakah Pfizer?" tanya saya lagi.
"Anda tahu sendirilah," jawabnya, lantas tertawa.
Ya, saya memang tahu. Tiongkok secara tidak langsung menghalangi pengiriman vaksin dari Amerika itu ke Taiwan. Agen tunggal Pfizer untuk Asia-Pasifik dipegang perusahaan Shanghai.
Minggu lalu Presiden Joe Biden mengirim 400.000 vaksin ke Taiwan. Bersamaan dengan kedatangan tiga anggota Kongres Amerika ke Taipei. Dua dari Partai Demokrat, satu dari Republik.
Biden lebih ''sopan'' daripada Presiden Donald Trump. Yang datang ke Taiwan bukan orang pemerintahan. Kalau toh ada yang dari pemerintahan, dipilihkan yang sudah pensiun. Sedangkan Trump dulu sengaja mengirim pejabat tinggi aktif ke Taiwan –yang oleh Tiongkok dianggap sebagai salah satu provinsinya.
Taiwan kelihatannya pilih terus melawan Tiongkok. Pun di tengah pandemi. Taiwan terus mencari akal. Di tengah jepitan itu, Taiwan mengusahakan untuk punya vaksin sendiri. Caranya: membeli hasil penelitian yang ditemukan di Amerika.
Sudah ada dua calon vaksin yang kini dimiliki Taiwan. Dengan kekuatan ekonominya, Taiwan mampu membeli perusahaan vaksin tersebut.
Maka, meski itu bikinan Amerika, tetapi karena perusahaannya milik Taiwan, tidak bisa dihalangi siapa pun. Direksinya juga orang Taiwan.
Vaksin itu sudah melewati uji coba klinis fase dua. Menjelang fase tiga. Dua bulan lagi BPOM-nya Taiwan sudah akan mengeluarkan EUA (emergency use authorization) –izin penggunaan secara darurat.
Kabarnya dua vaksin itu sudah pula mulai mengurus izin untuk bisa masuk ke Indonesia.
Vaksin yang pertama disebut MVC. Itu dikembangkan sebuah perusahaan vaksin di Emeryville, di seberang San Francisco. Pengembangnya adalah Dynavax Technologies.
Itu perusahaan kecil untuk ukuran Amerika. Perusahaan itu pernah berhasil menciptakan vaksin untuk hepatitis B. Nama vaksinnya: Heplisav-B.
Sedang vaksin satunya lagi disebut juga Covaxx. BPOM-nya Amerika sudah mengeluarkan izin EUA untuk Covaxx.
"Mungkin Agustus nanti saya dapat giliran vaksinasi dengan vaksinnya Taiwan sendiri," ujar teman saya tadi.
Amerika, Australia, dan India sudah begitu menggembirakan. Mongolia dan Taiwan di sisi yang berbeda. Mongolia kelihatan tetap tergantung pada dua negara yang menjepitnya. Taiwan pilih cari jalan sendiri.
Dan Indonesia memasuki golongan yang mengkhawatirkan itu. Data Worldometer Jumat lalu mencatat angka Indonesia kembali ke level nyaris 9.000. Tepatnya: 8.892. Sudah mengalahkan data penderita Amerika yang hari itu ''tinggal'' 8.875.
Kudus dan Bangkalan telah menaikkan kewaspadaan baru. Dengan cara lama. (*)
Video Terpopuler Hari ini:
Redaktur & Reporter : Tim Redaksi