English

 

BACA JUGA: Anak Diktator Legendaris Filipina Tak Terbendung di Pilpres, Sejarah Terulang

 

Australia bertetangga dengan 16 negara pulau di Pasifik — beberapa di antaranya berukuran sangat kecil— yang telah mendeklarasikan perubahan iklim sebagai ancaman terbesar bagi kawasan itu.

BACA JUGA: Jokowi Bertolak ke Amerika Serikat, Berencana Bertemu CEO Tesla untuk Diskusi Soal Nikel

Untuk segera bisa memahaminya: sebagian besar kawasan itu rentan dan terisolasi, di antaranya berupa gugusan pulau dan terumbu karang yang ketinggiannya tak sampai 1 meter dari permukaan laut, namun merupakan salah satu ekosistem keanekaragaman hayati terbesar di dunia. Sebagai perbandingan, Kota Lismore di Australia yang baru-baru ini diterjang banjir, berukuran 50 kali lebih besar.

Sudah beberapa dekade mereka mendesak dunia untuk mengambil tindakan. Di seantero Pasifik, perubahan iklim bukan lagi suatu pengandaian, tapi suatu peristiwa yang sedang terjadi. Sejumlah penduduk setempat telah terpaksa mengungsi ke daratan yang lebih tinggi.

BACA JUGA: Pemuka Agama Islam, Kristen dan Yahudi Satu Suara: Bank Harus Tinggalkan Praktik Ini!

Badan dunia International Panel of Climate Change (IPCC) memperingatkan bahwa kesempatan untuk bertindak semakin terbatas. Berikut ini dokumen yang menggambarkan situasi di garda terdepan, dan bagaimana penduduk di sana telah berusaha memperingatkan kita semua.

Walikota setempat, John Drollet, pada tahun 2021: "Kami tak ingin menjadi pengungsi lingkungan pertama Prancis, kami ingin anak keturunan kami tetap tinggal di tanah leluhurnya di sini."

Manajer proyek Climate Action Network Ralph Spring pada tahun 2022: "Secara mental kami tahu hal ini akan terjadi cepat atau lambat. Kami akan kehilangan tanah ini akibat perubahan iklim.” 

Pejabat Kementerian Luar Negeri pada tahun 2018: "Bila kami kehilangan daratan, apakah kami juga otomatis kehilangan wilayah maritim yang diukur dari daratan tersebut? Pertanyaan ini yang ingin kami pecahkan."

Mantan Perdana Menteri Toke Talagi pada tahun 2008: "Kita bicara tentang perubahan iklim seakan-akan hal ini hanya sebuah konsep yang terjadi di suatu tempat. Perubahan iklim telah berdampak pada masyarakat kita sekarang."

Mantan Perdana Menteri Tuilaepa Sailele Malielegaoi pada tahun 2018: "Kita semua menyadari permasalahan ini, serta solusinya. Yang perlu dilakukan hanya keberanian untuk menyampaikannya kepada masyarakat tentang kepastian datangnya bencana."

Tokoh LSM Siotame Drew Havea pada tahun 2022: “(Kenaikan permukaan laut) tak sama seperti badai angin topan yang mengakibatkan kita kehilangan bagian-bagian rumah kita. Yang ini, kita akan kehilangan segalanya."

Menteri Luar Negeri Simon Kofe pada tahun 2021: "Kami membayangkan skenario terburuk di mana kami terpaksa pindah. Kami menjajaki langkah hukum untuk tetap memegang kedaulatan atas wilayah maritim dan tetap diakui sebagai suatu negara menurut hukum internasional."(Area dalam foto ini sebelumnya merupakan daratan, sekarang sudah berada di bawah laut).

Murid SD Aiyanna Nacewa pada tahun 2021: "Saat badai angin topan menerjang, saya sangat takut karena saya pikir kilat akan menghantam rumah kami dan meninggalkan lubang menganga di atap."

Mantan Menlu Tony de Brum pada tahun 2014: "Kita harus segera bertindak. Mungkin akan lebih banyak lagi masalah bila membiarkan kerusakan saat ini untuk ditagani di kemudian hari."

Shaun Williams dari National Institute of Water and Atmospheric Research (NIWA) pada tahun 2022: "Berdasarkan pemodelan kenaikan permukaan laut antara 0,1 hingga 2 meter, kebanyakan populasi di negara ini akan berada dalam zona daratan yang tenggelam dalam beberapa dekade lagi."

Tanya Watsivi McGarry, anak berusia 9 tahun, pada tahun 2021: “Ketika badai angin topan kami semua berlindung berdesakan di kamar mandi. Kami bisa mendengar suara kaca yang pecah, bikin saya takut. Saya tak mau hidup di dunia yang penuh bencana akibat perubahan iklim."

Ketua Kongres Louis Mapou pada tahun 2021: "Sejak dahulu kala, llingkungan hidup kita di Pasifik terkait dengan lautan, pulau-pulau, dan keanekaragaman hayati."

Shannon Sogavare, seorang remaja, pada tahun 2021: "Salah satu hal yang menyedihkan saya karena tidak akan pernah bisa melihat seluruh pulau tempat ayah saya (perdana menteri) dibesarkan. Bagian tengahnya sekarang sudah tertutup oleh laut, membelahnya jadi dua pulau terpisah."

 

Presiden David Panuelo pada tahun 2021: “Ketidakamanan akibat naiknya permukaan laut, badai angin yang lebih ganas, curah hujan yang sulit diprediksi menyebabkan migrasi penduduk besar-besaran, menyulitkan kita semua. Sekarang tingkat pendaftaran sekolah sangat rendah."

 

Fotografer Darren James pada tahun 2018: “Masyarakat Tuluun telah tinggal di pulau ini selama lebih dari 200 tahun. Perubahan iklim dan masalah lain telah memaksa penduduk mempertimbangkan relokasi dan banyak yang telah melakukannya."

 

Presiden Surangel Whipps Jr pada tahun 2022: “Kita tidak boleh lumpuh akibat beratnya masalah ini. Hal ini tidak dapat dihindari. Tapi itulah kenyataan yang kita hadapi sebagai negara kepulauan.”

Berbeda dengan benua-benua raksasa tetangganya, negara-negara Kepulauan Pasifik terisolasi dan dikelilingi lautan luas, tanpa keamanan geografis, lingkungan, atau finansial yang disediakan oleh daratan yang luas dan kaya.

Banyak pihak khawatir hanya satu letusan gunung berapi, satu badai angin topan, atau kenaikan kecil permukaan laut akan menjadikan kawasan ini tidak dapat dihuni lagi.

Akibatnya bukan cuma kehilangan kedaulatan negara dan terjadi krisis pengungsi, namun juga kehilangan kawasan penting dan paling beragam di dunia - dengan ratusan bahasa dan budaya serta flora dan fauna asli.

Bagi negara-negara Kepulauan Pasifik, perubahan iklim bukan lagi suatu isu masa depan yang masih bisa diperdebatkan, melainkan kenyataan saat ini yang ujungnya hanya satu pertanyaan mendasar: 

"Dapatkah kita bersandar pada pandangan bahwa perubahan iklim bukanlah ancaman eksistensial yang mendesak, dan ternyata kita salah?"

Di garda terdepan ini, jawabannya tegas: Tidak. Kredit Riset, Laporan & Produksi:  &  Grafik, Layout & Desain: Fotografi: Darren James (PNG), AM Kanngieser (Nauru), Brant Cumming (Fiji),  Maxar Technologies (Tonga), the University of Queensland (Solomon Islands), AFP, Reuters, and NASA Riset, Laporan & Suntingan Tambahan: Tahlea Aualiitia, Jordan Fennell, Stephen Dziedzic, Prianka Srinivasan & Evan Wasuka Fakta & Informasi Tambahan: International Panel for Climate Change (IPCC), Pacific Islands Forum (PIF), United Nations, National Institute of Water and Atmospheric Research (NIWA), Fiji Meteorological Service (FMS), Refugees International, the Secretariat of the Pacific Regional Environment Program (SPREP), the National Aeronautics and Space Administration (NASA), dan the Multidisciplinary Digital Publishing Institute (MDPI). Penerjemah:  (Tok Pisin), (Chinese), and (Indonesian) Pemimpin Proyek & Penyunting:

*Catatan Editor: Informasi yang dikumpulkan untuk artikel ini mencakup laporan ABC selama 20 tahun tentang perubahan iklim di Pasifik yang diperbandingkan dengan penelitian dan pernyataan terbaru dari lembaga penelitian terkemuka. Beberapa wawancara memerlukan bantuan penerjemah dan juru bahasa, dan telah diedit dan dirangkum untuk memberi kejelasan dan konteks.

BACA ARTIKEL LAINNYA... Pemimpin Tiga Agama Ini Desak Bank Setop Mendanai Kegiatan Pemicu Perubahan Iklim

Berita Terkait